"Terus? Sahal nggak ngatain balik?" tanya Arjuna setelah mendengar cerita Nakula mengenai kesalahpahaman yang menyerang Sahal di toko bangunan tadi.
"Ck!" Nakula meletakkan roti isi srikayanya. "Memangnya Bang Sahal kayak elo, Bang?"
Arjuna mau melempar sesuatu ke arah Nakula. Namun teringat adiknya itu masih dalam masa penyembuhan, Arjuna cuma bisa menggerutu.
Menjelang petang, keduanya duduk santai di teras depan rumah sembari menatap bunga-bunga yang mulai layu karena musim penghujan. Dijejali air terus-menerus membuat kebanyakan entitas indah itu menyerah untuk tetap mekar. Saat-saat seperti ini, biasanya Harsa akan sedih sekali. Memandang dari balkon kamar dengan sendu dan teringat almarhumah Mama Sekar.
Bertepatan saat itu, pintu pagar terbuka, menyembulkan satu kepala bersama kendaraan yang membawa sampai tujuan. Hamdan. Baru pulang, selesai dengan ekstrakurikuler basket. Peluh masih membasahi kepalanya. Kalau tidak cepat-cepat mandi, bisa dipastikan aroma tubuhnya akan tercium sampai beberapa meter jauhnya.
"Ham!" Panggil Arjuna.
Hamdan menoleh.
"Tadi Nakula beli donat, lo ambil sendiri yang mana topping kesukaan lo!" Kata Arjuna.
Nakula menyambung, "Ada di rak makanan di dapur, Ham. Lo pasti laper kan? Kurang baik hati apa gue? Ehehehe~"
"Heleh! Padahal yang beli bukan elo, tapi Papa." Arjuna kembali memandang Hamdan. "Tapi kayaknya lo butuh mandi, Ham. Gue pingsan kalau lo gini terus,"
Hamdan tersenyum tipis usai mengucap salam. Lantas melewati dua abangnya dan menuju kamar secepat kilat.
Arjuna dan Nakula melempar pandang. Nakula meminum americano yang sempat dibeli Arjuna. "Bang, lo ngerasa nggak sih? Belakangan ini kayaknya Hamdan jadi sering ngelamun deh. Terus kalau nanggapin omongannya kita-kita, dia nggak seantusias biasanya. Padahal, ya lo tau sendirilah gimana semangatnya dia kalau ada berita baru."
Arjuna mengangguk, "Biasanya dia juga ikutan kita nongkrong kan ya? Iya sih dia mau mandi dulu karena keringatnya udah kayak gitu, tapi, kemaren-kemaren kita di sini juga dia biasa aja."
"Kira-kira Hamdan lagi mikirin apa ya? Utang negara?" gumam Nakula. "Ck! Malah pusing gue jadinya. Astaghfirullah, Bang!"
Arjuna tersentak, "Kenapa?"
"Belum zikir petang!" Nakula beranjak secepat kilat, menuju ruang perpustakaan di rumahnya untuk mengambil buku zikir petang sebab dia belum hafal. Sedangkan Arjuna tetap duduk di tempatnya, mendalami hafalan zikir petangnya yang masih tersendat-sendat—setidaknya dia sudah hafal.
•••••
Ketika azan Magrib berkumandang, kelima anak Harsa bergegas menuju masjid. Biasanya, Sadewa sudah menunggu santai di salah satu pilar dan memandang remeh para abangnya yang selalu datang terlambat. Namun kali ini, dikarenakan dia sibuk membereskan buku-buku baru, dia jadi lupa waktu untuk datang ke masjid sepuluh menit sebelum azan.
"Papa kapan ke masjidnya? Kok gue nggak tau?" tanya Arjuna tersengal-sengal. Omong-omong, suara sang muazin yang menyapa pendengaran mereka ialah suara Harsa. Padahal tadi sore, papa mereka yang satu itu masih berada halaman belakang sambil menilik laporan-laporan terbaru yang dikirim oleh Jaka.
Tau-tau saja, sosok Harsa sudah tidak ada di rumah saat mereka bersiap pergi ke masjid. Arjuna yang sesorean ini berada di teras saja sampai tidak tau. Dia berjalan paling depan, diikuti Sahal dan Nakula yang berebutan tempat untuk menyalip. Lalu ada Sadewa dan Hamdan yang melangkah santai.
Sadewa melirik Hamdan. Kalau yang membersamainya dalam langkah pelan ialah sosok Sahal, Sadewa tidak akan heran. Masalahnya, yang berada di sampingnya malah si bungsu. Biasanya Hamdan sudah menyalip para abangnya dan sampai duluan di masjid. Iya, memang kekanakan, tapi itulah yang diingat dari tingkah masing-masing individu.
"Tumben nggak ikutan lari, Ham?" tanya Sadewa sekenanya.
Hamdan mengembuskan napas. "Capek, Bang. Lo tau sendiri gue baru pulang kan?"
Sadewa mengangguk. Namun selelah-lelahnya Hamdan usai pulang sekolah, adiknya yang satu itu tidak akan pernah sesantai ini. Hamdan itu tukang kompor, sisi positifnya menjadi penyemangat nomor satu.
"Kayaknya lo lagi banyak tugas ya, Ham? Gue lihat-lihat nih, lo ngelamun terus. Apalagi kalau makan bareng tuh! Lo langsung cepet-cepetan makan supaya bisa balik kamar lagi."
Hamdan tersenyum timpang. "Gue kelihatan kayak gitu, Bang?"
"Hm. Bukan cuma di mata gue, tapi di mata abang lo yang lain dan Papa."
Raut Hamdan sedikit mengeras. "Papa?"
Sadewa penasaran, apa yang tengah dipikirkan Hamdan saat ini atau pada hari sebelumnya. Ketika jarak yang ditempuh hanya seratus meter lagi, Hamdan membuka suara. Melayangkan satu pertanyaan yang membuat Sadewa terheran.
"Menurut lo nih, Bang, misalkan kita nggak diangkat sama Papa, apakah kita bakal ketemu sama keluarga asli kita suatu hari nanti?"
Sadewa menghentikan langkah. "Lo ketemu sama keluarga asli lo, Ham?"
Hamdan menggeleng sembari terkekeh. "Bukan, Bang! Gue cuma tanya karena belakangan ini gue tau nasib salah satu temen gue yang ternyata dianiaya sama keluarganya sendiri."
"Terus?"
"Gue jadi mikir gini, Bang. Kalau gue nggak dilarikan ke panti, mungkin gue bakalan sama kayak temen gue itukan? Karena nggak diharapkan, jadi cuma bisa ditaruh di panti. Terus hilang dari kehidupan mereka."
Sadewa menangkap kegetiran yang teramat sangat dalam nada bicara Hamdan. Bila memikirkan mereka semua berasal dari panti asuhan—dibuang oleh orang tua asli, rasanya pedih juga. Dunia sekejam itu.
"Tapi kita udah punya Papa, Ham. Mama juga, ngelihat kita semua dari atas sana. Lo boleh mengenang masa lalu kita, tapi nggak seharusnya terlalu larut sampai nggak punya semangat hidup gitu, Ham."
Hamdan terdiam. Mereka telah memasuki halaman luar masjid yang dipenuhi oleh bunga sumbangan dari Harsa.
"Gue cuma heran sama orang tua kandung gue, Bang. Kenapa mereka memilih buat mengusir gue dari kehidupan mereka, padahal selama sembilan bulan, gue pasti ada di perut seorang ibu kan? Ibu kandung yang entah gimana suara dan wajahnya."
Sadewa juga sama herannya. Bukan! Bukan dia saja. Sebenarnya baik dirinya maupun keempat saudaranya memikirkan hal yang sama pada suatu waktu. Di balik kebahagiaan yang terbentuk karena kebaikan Harsa dan almarhumah Mama Sekar, pastinya tetap bertanya-tanya tentang awal dari kehidupan masing-masing kepala.
Untuk menyingkirkan suasana yang ada, Sadewa menyampaikan pesan Harsa ketika keduanya berada di dapur tadi sore. "Besok malam, Papa mau ajak kita ke HaveFun."
"HaveFun? Ada acara apa? Diundang sama Pak Ronal atau gimana?" Hamdan memastikan. Sebab bukan pertama kali papa mereka itu bertandang ke suatu tempat wisata karena undangan dari rekan bisnis.
"Kayaknya enggak deh, murni mau ngajak kita jalan-jalan refreshing bentar. Sebagai seorang Papa yang udah membersamai kita sampai sebesar ini, kayaknya Papa tau kalau anak-anaknya dapat banyak pikiran baru."
"Kadang gue ngerasa bersalah karena udah dimanja terus sama Papa, Bang." Sambung Hamdan.
"Papa nggak manjain kita, Ham. Lo tau sendiri gimana nyereminnya Papa kalau lagi marah kan? Menurut gue, Papa berusaha jadi orang tua yang baik, yang mau mengajarkan sikap-sikap bijaksana ke kita semua—anak-anaknya."
Keduanya telah memasuki pelataran masjid, lantas menuju tempat wudu laki-laki yang berada di sisi Selatan.
Anak-anaknya.
Hamdan mengulang kata tersebut dalam hati. Mau bagaimana masa lalu yang membuatnya berakhir di panti asuhan dan bertemu pasangan Harsa-Sekar, sekarang semuanya sudah berubah. Dia anak mereka.
Akan tetapi, perkara utamanya bukan pada apa yang dibeberkan pada Sadewa. Semua lamunan Hamdan disebabkan oleh surat yang diterimanya tempo hari dari Indra—yang merupakan titipan dari seseorang.
Sebuah surat penuh tanda tanya.
•••••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments