Sahal dan Pak Wawan—tukang kebun keluarga—sibuk menyiram tanaman serta mengganti bunga botan yang lama dengan yang baru. Dikarenakan semua berada dalam kesibukan masing-masing, hanya tersisa Sahal yang bisa melakukan tugas perkebunan.
Arjuna memiliki shift pagi, Hamdan juga sudah berangkat sekolah. Masalahnya, masih ada Bekti dan Hilda yang duduk-duduk santai di teras rumahnya. Bekti sibuk mengabari followers-nya, mengeklaim Sahal sebagai satu dari sekian banyaknya tukang kebun di rumah menantunya.
Karena orang tua, ya Sahal tidak mau berbicara banyak-banyak. Terserah mereka mau bagaimana. Namanya saja sudah tua—jangan terlalu macam-macam, biarlah mereka bahagia dengan cara mereka sendiri, meski yang dipamerkan bukan milik sendiri.
Bi Rumi mengantarkan dua cangkir teh pada Bekti dan Hilda. Mereka langsung meminumnya, berlagak seperti tuan dan nyonya besar kerajaan yang elegan dan berkelas.
Pak Wawan menyenggol lengan Sahal, "Mereka kapan pulangnya, Mas Sahal?"
Sahal mengendikkan bahu. "Nggak tau, Pak. Tapi biarin ajalah! Nanti kalau capek juga pulang sendiri—biasanya juga gitu kan?"
"Hayo! Itu ngapain kalian berdua bisik-bisik di depan saya? Pasti ngomongin saya ya?!" Seru Hilda tepat sasaran.
Dengan tenang, Sahal berbalik dan menyuguhkan seutas senyum. "Cuma membicarakan bunga baru kok, Oma. Silakan dinikmati lagi tehnya!"
Hilda mengerjap-ngerjapkan matanya, kembali bersantai ria. Jika dari anak-anak angkat Harsa yang paling ingin ditukar ialah Sadewa, maka beda lagi dengan Sahal—satu-satunya anak yang paling dewasa dan pembawaannya tenang.
Ramah, punya sopan santun, tidak pernah berkata yang aneh-aneh sejenis sindir-menyindir. Hilda memandang punggung Sahal tanpa berkedip. Terlintas satu cara baru yang bisa ditempuh Hilda dan anaknya agar dapat mencuri hati Harsa.
"Kenapa nggak coba buat baik-baikin si Sahal ya?" gumam Hilda sembari memikirkan rencana berikutnya.
•••••
Harsa memberhentikan mobilnya di salah satu lahan kosong dekat alun-alun kota, yang bahkan cukup luas untuk dijadikan suatu minimarket.
"Bener di sini, Pa?" tanya Nakula, masih setia membersamai sang papa. Pemuda itu keluar dari mobil sambil menenteng segelas kopi dingin. Padahal masih pagi, tapi sudah minum yang dingin-dingin.
Sementara itu, Laura berlari kecil agar dapat berdiri di samping Harsa. Perempuan itu senang bukan main saat tiba di sisi sang pujaan hati.
Nakula hanya mampu mendengus. Dia tidak bisa menggandakan dirinya untuk berada di posisi Laura. Untuk saat ini, dia akan membiarkan tantenya yang satu itu bertingkah sepuasnya.
Harsa mengedar pandang seraya menghubungi seseorang yang disinyalir sebagai pemilik lahan tersebut. Mereka sudah berjanji untuk bertemu pagi ini, namun belum ada tanda-tanda si pemilik akan datang.
Bertepatan saat itu, ada sebuah mobil yang terparkir tepat di belakang mobilnya. Panggilannya tidak tersambung, namun Harsa mempunyai firasat, yang berada dalam mobil tersebut ialah orang yang akan ditemuinya.
Keluarlah seorang perempuan berhijab biru tua dengan map plastik yang berisikan lembaran-lembaran tak dimengerti. Perempuan itu menghampiri Harsa, menundukkan pandangan sekaligus memberi salam.
"Bapaknya ini yang punya CV di kota sebelah itu kan?" tanya perempuan itu memastikan.
Harsa mengangguk, "Benar. Dengan Ibunya yang mengajukan proposal?"
"Oh, bukan, Pak!" Perempuan itu menggeleng. "Itu bukan saya, tapi kakak saya. Qadarullah, kakak saya ada halangan, jadi nggak bisa ikutan survei tempat. Tapi, saya dibawakan denahnya dan disuruh memberitahu ke Bapaknya—Pak Harsa kan?"
"Betul. Kalau begitu, boleh saya lihat ukuran pastinya?"
Harsa dan perempuan yang diyakini bernama Azrina itu maju beberapa langkah untuk melihat lebih dekat di bagian mana saja yang membutuhkan paving block. Tersisa Nakula dan Laura yang bersisian tanpa keduanya sadari.
Laura bersedekap, menatap tajam sosok Azrina yang menjelaskan sesuatu pada Harsa. Nakula merasakan tatapan menghunus dari tantenya, lantas menggeleng. "Matanya kenapa kayak gitu, Tan?"
"Tante sedang memantau Papa kamu dari ular berbisa, Nakula. Tenang aja," Laura tersenyum dimanis-maniskan. "Kamu nggak bakal kecewa sama kinerja Tante."
Nakula terkekeh. Ada-ada aja Tante Laura ini—yang dimaksud ular berbisa itu siapa sebenernya? Apa perlu gue tarik ke mobil buat ngaca dulu?
Dalam waktu yang berlalu, Laura enggan beranjak lantas melepas pandang dari sosok Harsa dan Azrina. Sedangkan Nakula memutuskan untuk bersantai di mobil dan bertukar pesan dengan Arjuna meski tidak langsung dibalas.
•••••
Selesai dengan bunga-bunga di rumah, Sahal pamit pergi bekerja. Bekti dan Hilda mengulurkan tangan saat Sahal hendak bersalaman. Mereka akui, Sahal idaman sekali. Berbeda dari empat anak angkat yang lain.
Pukul sebelas menjelang Zuhur, Sahal tiba di toko bangunan. Semestinya dia datang pukul satu siang nanti, akan tetapi rekannya meminta izin untuk mengunjungi anggota keluarga yang berada di rumah sakit.
Dikarenakan alasan kemanusiaan semacam itu, Sahal mana tega menolak permintaan rekan kerjanya. Kini Sahal tengah merapikan contoh-contoh warna cat yang sebelumnya digunakan oleh salah satu pembeli.
Menilik buku pembelian, sudah ada delapan orang yang membeli cat beserta sample warnanya. Dia meneruskan pekerjaan sebab ada dua pembeli yang datang secara bersamaan.
Sahal mondar-mandir dari area cat dasar ke mejanya untuk tinting. Sampai tidak terasa, azan Zuhur berkumandang dari masjid yang letaknya hanya seratus meter dengan toko bangunan.
Melirik jam tangan, Sahal menyelesaikan pembelian terakhir sebelum dia istirahat sebentar untuk melaksanakan salat. Akan tetapi, kala itu dua orang datang ke mejanya.
Sahal mendongak, bertemu tatap dengan pasangan suami-istri yang pernah membeli cat tempo hari. Iya, si istri yang penasaran bertanya tentang Sahal melalui Bagas yang berkunjung kemarin.
"Selamat pagi menjelang siang, Pak, Bu," Sahal mempersiapkan kursi bagi keduanya. "Mau tambah cat yang kemarin atau warna lain?"
"Tambah warna hijau muda sama tua kemaren itu, sama warna putih." Ujar si istri.
"Baik, Bu. Ini berbagai contoh warna putihnya ya, Bu." Sahal menyerahkan sample warna putih kepada wanita tersebut. "Untuk hijau tua sama hijau mudanya butuh berapa ya?"
Pria berusia lima puluhan itu mengira-ngira jumlah galon cat yang dibutuhkan untuk ruangan yang belum direnovasi. Sedang terlibat obrolan menyenangkan, seseorang datang tergesa-gesa dengan buncahan kemarahan dari pintu masuk setelah bertanya pada salah satu karyawan yang berjaga—mengenai tempat tinting cat merek A.
Tanpa aba-aba, orang tersebut melemparkan tutup wadah cat ke kepala Sahal. "Astaghfirullah!"
Mereka menjadi pusat perhatian. Sahal mengelus kepalanya yang terkena lemparan tutup cat, lalu mendongak untuk melihat siapa yang melemparinya. Pasangan suami-istri di hadapan Sahal pun tersentak, si istri ingin sekali mengelus kepala Sahal.
"Kamu ini kerja kok tapi nggak becus!" Pekik wanita berambut pendek yang terlihat berumur tiga puluhan. "Kenapa warnanya nggak sama kayak yang sebelumnya?! Kamu ini bisa ngelihat dengan benar nggak sih?! Lihat tuh!"
Wanita itu menunjukkan satu contoh warna lagi pada Sahal yang masih mencerna situasi. "Warna kuning dua ini—yang satunya saya lempar ke kamu itu, di struk pembelian, nama kuningnya sama jenisnya, tapi pas dicat di rumah saya, kenapa beda?! Kalau nggak becus tinting cat, ya jangan di sini! Memangnya kamu bisa tanggung jawab kalau rumah saya warnanya ngawur semua, hah?!"
"Bu?" Salah satu rekan kerja Sahal datang, menengahi. "Boleh saya tanya, ada masalah apa ya?"
"Mana bos kamu? Mana Koh Lim? Saya mau minta pertanggungjawaban ke masnya ini karena ngasih warna yang nggak sesuai sama pesanan saya!"
"Ha?"
Gue salah ngeracik warna?
•••••
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments