NovelToon NovelToon

Keluarga Botan

Pengantar Paket

"Lha, nanti kalau ada masjid, belok ke barat—nah! Kalau ketemu rumah paling besar di kompleks ini yang ada banyak bunga botannya, itu rumahnya Pak Harsa."

"Ah, yang paling besar ya? Ada bunga apa tadi? Botan? Terima kasih atas arahannya ya, Pak!"

"Sama-sama! Kalian ada urusan sama Pak Harsa ya?"

"Ah! Ini sih, Pak. Mau mengantarkan paket dari rekan kerjanya Pak Harsa, katanya Pak Harsa ini habis buka cabang di kota sebelah. Saya sama teman saya ini bertugas buat memberikan hadiah kecil-kecilan, Pak."

"Oh, ya sudah. Sana! Sebelum Pak Harsanya keluar, kalian harus ketemu."

"Baik, Pak. Terima kasih!"

"Terima kasih, Pak!"

Dua pemuda yang bertugas mengantarkan paket dari atasan mereka itu mengikuti arahan yang diberikan oleh bapak yang berjaga di toko kelontong tadi. Mereka menemukan masjid yang cukup besar, tampak asri dengan taman berisikan bermacam bunga di depan pagar. Motor tersebut berbelok ke barat, mencari rumah paling besar yang disinyalir memiliki banyak bunga botan di sekelilingnya.

"Itu bukan?" tanya si pengemudi kepada temannya yang memegang paket entah berisikan apa.

"Banyak banget bunganya," pemuda berambut ikal itu turun dari motor, lalu menghampiri rumah tersebut. Pagarnya setinggi delapan kaki yang di sisi-sisinya terdapat begitu banyak aneka bunga. "Tapi ini bukan bunga botan deh,"

"Ya coba aja, Bro! Bapaknya tadi bilang, pokok yang ada banyak bunganya kan? Kalau dipikir-pikir, nggak ada rumah yang bagian depannya ada bunga sebanyak ini."

Pemuda berambut ikal itu mengangguk. Dicarinya bel atau nomor rumah pada salah satu tembok. "Eh, nomornya bener, nomor empat belas." Baru saja hendak memencet bel, pagar itu terbuka pelan. Pemuda itu terdiam, menanti sosok yang akan keluar.

Seorang remaja mengenakan seragam SMA sambil memeluk dua buah buku paket. Tangan kanannya merogoh saku celana setelah berhasil mendorong pelan pagar rumah tersebut. Menyadari ada sepasang kaki yang menyapa pandangan, remaja itu mendongak pelan. Anak SMA dan pemuda pengantar paket itu saling bertatapan canggung.

"Ca-cari siapa?" tanya remaja itu nyaris seperti bisikan.

"Ah," sang pemuda tersadar akan tujuannya ke sini. "Di sini rumahnya Pak Harsa bukan? Ini, saya mau mengantarkan paket dari atasan saya buat Pak Harsa."

"Oh, cari Papa?" Remaja itu membuka kembali pagar rumahnya agak lebar. "Silakan, masuk! Mohon dimaklumi ya, agak berantakan, soalnya belum sempat bersih-bersih."

"Oh, nggak apa-apa ini saya masuk?"

"Kalau nggak mau masuk, tunggu di sini aja sampai ada yang dengar," celetuk remaja tersebut.

"Eh?" Tak mau menunggu sampai lumutan, pemuda itu memilih untuk masuk. Remaja tadi fokus pada ponselnya, tidak kunjung berangkat sekolah, padahal sudah hampir jam tujuh pagi.

Begitu melewati pagar, si pemuda menganga. Takjub akan keindahan taman atas rumah yang dikunjunginya ini. Halaman yang luasnya melebihi rumahnya sendiri ini, dipenuhi oleh bermacam-macam bunga yang kelewat indah. Mengitari seluruh halaman, pot-pot besar berisikan bugenvil disertai euforbia menjadi pelindung atas bunga-bunga lain yang tumbuh di bagian dalam taman.

Sudah seperti taman bunga yang sering dilihat di tempat wisata keluarga. Semuanya tertata rapi. Dari jenis bunga sampai warna yang mendominasi. Kupu-kupu yang berterbangan menambah kesan bahwa dia tengah berada di antara taman bunga paling indah yang pernah ada.

Omong-omong, tidak ada kekacauan sama sekali—seperti yang dikatakan anak SMA tadi. "Eh? Sampek lupa!" Tungkainya bergerak melewati taman bunga yang menyuguhkan aroma menenangkan.

Dari arah pagar, dia mendengar suara motor yang baru saja dimatikan. Pemuda itu berbalik, mengira-ngira siapa yang baru saja berhenti di depan rumah indah ini.

"Yoi! Hati-hati, Ham! Jangan ngebut lo! Luka lo baru sembuh itu!" Seru seorang pemuda yang kini menutup pagar. "Eh? Siapa ya?"

Pemuda berambut ikal meringis, "Cari Pak Harsa, Mas."

"Oh, cari Papa? Masuk! Sini!"

Si rambut ikal mengekori langkah salah satu anak Pak Harsa itu. Dari yang dia tau, anaknya Pak Harsa itu memang banyak, ada lima. Dia tidak tau, yang berseragam SMA maupun yang baru datang ini bernama siapa saja. Dia cuma tau, semuanya ganteng-ganteng dan salah satunya pernah memenangi olimpiade matematika sampai ke luar negeri.

"Maaf berantakan ya, Mas,"

Yang tadinya sudah terkejut, kini makin terkejut saat mendapati rumah yang luar biasa luas itu. Dari tempatnya berdiri, sudah terlihat jelas seluruh perabotannya merupakan perabotan mahal. Namun yang membuat terperangah, ialah adanya vas-vas berisikan bunga botan atau peony yang tampaknya ada di setiap sudut ruangan.

Pemuda berambut ikal itu mencari di mana letak 'berantakan' yang dimaksud oleh dua anak Pak Harsa tadi. Dia kebingungan, bagian mana yang berantakan?

"Biasanya bunganya udah pada diganti, cuma Pak Reno belum kirim bunga baru ke sini." Ujar sosok di sebelahnya.

"Ha? Bunga baru?"

"Iya, maaf ya, bunganya itu mulai layu, tapi masih belum diganti. Jadinya kelihatan aneh dan berantakan, tolong dimaklumi ya, Mas. Sebentar, saya panggilkan Papa saya dulu, Masnya duduk dulu nggak apa-apa. Mau minum apa?" tawarnya.

"Ah, nggak usah, Mas. Saya habis ini ada kerjaan lagi kok!"

"Oke! Kalau gitu saya panggilkan dulu,"

Ditinggal sendiri di ruang tamu yang sangat luas itu, si rambut ikal mengedar pandang. Menilik tiap benda yang sangat menarik perhatian. Mulai dari bermacam-macam kaktus yang berjejer di tengah-tengah ruangan dengan air mancur kecilnya, sampai foto-foto keluarga.

Foto keluarga paling besar berada di sisi lain ruang tamu yang di bawahnya terdapat setengah lingkaran bunga botan. Foto tersebut berisikan enam laki-laki. Dua di antaranya merupakan dua anak yang ditemuinya tadi, sedangkan empat sisanya dia tidak tau siapa.

"Fotonya Pak Harsa yang mana?" pemuda itu kembali mengedar pandang untuk mencari sekiranya terdapat foto bapak-bapak yang lebih tua, tapi nihil. Tidak terdapat banyak foto di ruang tamu ini.

"Cari saya?"

Ha?

Pemuda berambut ikal itu tanpa sadar membuka mulut lebar-lebar. Pria bertubuh jangkung dengan sepasang lesung pipi tersenyum ke arahnya. Setelan jas mahal yang dikenakan menambah kadar ketampanan pria itu terlihat pas dan menawan. Senyumnya manis sekali, kalau boleh berkomentar. Postur tubuhnya bagus pula, tegap dan sehat. Sebuah peci hitam pekat menyelimuti rambut hitam yang entah berpotongan macam apa.

"Pak Harsa?"

"Iya, dengan saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?"

"Wah!" Pemuda itu menganga lagi. Ini Pak Harsa? Yang anaknya lima itu? Kok muda banget?

"Wah?" ulang Harsa tak mengerti.

"Oh, maaf, Pak. Ini, saya cuma mau memberikan hadiah dari atasan saya, Pak Bima. Selamat atas pembukaan cabang yang baru, kata beliau begitu."

"Terima kasih ya," Harsa menerima kotak tersebut dengan senang hati.

"Kalau begitu saya pamit—"

"Tunggu dulu! Masnya ke sini sendiri?"

"Sa-saya? Sama teman saya, Pak. Ada apa ya, Pak?"

"Ajak temannya buat masuk, sekalian sarapan bareng, oke?"

"Eh? Ta-tapi—"

"Saya tunggu di ruang makan, tolong diterima balasan kecil saya yang nggak seberapa ini ya?"

Pemuda berambut ikal itu cuma bisa menganga dan menemui temannya untuk sarapan bersama di dalam. Tidak sampai di situ saja, rupanya dua pemuda pengantar paket itu diberi uang saku masing-masing berupa dua lembar uang berwarna merah.

Keluar dari sana, keduanya berpandangan.

"Memang ya, yang namanya rezeki itu datang dari arah yang tidak disangka-sangka," kata pemuda yang mengemudikan motor.

Si rambut ikal mengangguk, tak lupa bersyukur sudah diperkenankan untuk bertamu di rumah penuh bunga yang pemiliknya merupakan orang kelewat baik. "Alhamdulillaah, ini sih bisa dipakai buat beli beras di rumah."

"Besok-besok, kalau disuruh Bos ke sini, gue sih siap aja!"

"Jangan ngelunjak, Bro! Orang baik jangan lo jadiin target penipuan diri."

"Tapi baik banget Pak Harsa ini. Mana masih muda lagi," si pengemudi menghidupkan mesin motornya. "Anak-anaknya kok nggak ikut sarapan ya? Eh, cuma satu ding, siapa tadi namanya? Sahal?"

"Udah-udah! Lo apaan sih, ngurusin anak-anaknya ikutan sarapan atau enggak? Udah, ayo balik kantor aja!"

"Oke oke!"

Dua pemuda itu melenggang pergi. Seseorang berdiri di salah satu balkon kamar yang berada di lantai dua memandang kepergian para pengantar tersebut. Melihat senyum yang terpeta pada dua manusia tadi, lelaki itu turut tersenyum.

"Walah! Pagi-pagi udah ada tamu aja," gumamnya. "Memang ya, Papa sibuk banget hidupnya."

•••••

Keluarga Gulzar

Harsa Gulzar Alfarizqi, duda beranak lima yang punya usaha di bidang pembangunan. Kesehariannya tidak jauh dari menilik pabrik paving block di luar kota, atau bergelut atas lahan kosong yang baru dibelinya untuk dijadikan perumahan kecil-kecilan dekat Gedung Olahraga.

Duda yang satu ini tidak tua-tua amat. Usianya baru menginjak 37 tahun. Tidak jarang, dia jadi incaran banyak perempuan di luar sana—dari yang masih gadis sampai yang sudah janda.

Harsa mempunyai lima anak angkat yang dibesarkan dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tak lupa bimbingan akhirat yang senantiasa dia bantu tanamkan dalam hati masing-masing kepala.

Asal mulanya mengangkat lima anak tersebut, dikarenakan almarhumah istrinya dulu tidak bisa mengandung dan memutuskan untuk mengangkat anak dari panti asuhan yang berbeda. Tidak hanya satu atau dua, almarhumah istrinya memilih lima anak sekaligus.

Harsa tidak masalah. Apapun yang istrinya inginkan sebelum meninggalkan dunia, pria itu akan mengabulkannya tanpa banyak bicara. Harsa sangat mencintai almarhumah istrinya, sehingga saat wanita yang paling dicintainya itu berpulang, Harsa tetap menjalankan petuah sang istri untuk membesarkan lima anak angkat mereka seperti anak sendiri.

Namun tanpa berdasarkan petuah tersebut, Harsa sudah menyayangi anak angkat mereka tanpa syarat. Dia menganggap kelima anak tersebut merupakan anak kandungnya sendiri—buah hati yang terjalin antara dirinya dengan almarhumah sang istri.

Mari kita berkenalan dengan lima anak angkat Harsa yang ganteng-ganteng itu;

Arjuna. Paling tua dari lima bersaudara, tapi paling narsis dan kesadaran dirinya nyaris tidak ada. Bekerja part-time sebagai barista di salah satu kafe terkenal yang ada di kota. Supel sekali sehingga mempunyai teman dari berbagai jurusan. Dia tengah menunggu upacara kelulusan saja. Soal pekerjaan mendatang, Harsa sudah mem-booking anaknya yang paling tua ini untuk membantu dan meneruskan pabrik kavling.

Hobinya cekrek sana-cekrek sini. Memang giat menjaga pandangan supaya tidak melihat yang bukan mahram. Tetapi, dia sendiri suka tebar pesona. Sengaja sekali mencari perhatian kaum Hawa yang rawan akan kegantengan duniawi. Biarpun narsis begini, dia sedang mengusahakan diri untuk menamatkan hafalan surah Al Qiyamah-nya. Belum apa-apa, suka merinding sendiri tiap membaca transliterasinya. Memang sedahsyat itu.

Kedua, berjarak beberapa bulan saja dari Arjuna—namanya Sahal. Paling pendiam. Orangnya cinta damai, tidak suka memancing emosi. Anak kedua yang cukup waras. Pemuda yang satu ini sedang memperjuangkan pendidikannya di semester terakhir. Dia juga bekerja part-time sebagai kasir di sebuah toko bangunan.

Selain pekerja keras, Sahal dikenal sebagai anak yang menguarkan hawa tenang dan adem ayem saat melihatnya. Akhir bulan kemarin, dia baru saja menamatkan hafalan di juz 26. Cita-citanya jadi arsitek, semoga saja keturutan. Omong-omong, Sahal sering diincar ibu-ibu di Perumahan Seroja karena menantu material sekali. Jadi jangan kaget kalau pagi-pagi melihat pemandangan berupa Sahal yang disapa begitu ramah oleh ibu-ibu yang berpapasan dengannya.

Anak tengah, yang paling usil luar biasa. Emosinya meledak-ledak, dibarengi kesabaran setipis tisu. Biang onar. Suka mengganggu saudaranya yang lain. Panggil saja, Nakula. Anggota BEM yang suka sok yes. Herannya, banyak sekali gadis yang klepek-klepek.

Nakula yang sebelas dua belas dengan Arjuna, sama-sama senang tebar pesona. Jaga pandangan juga lancar. Jaga emosi yang tersendat dari tahun kapan, tidak bisa! Kata si bungsu, "Kalau mau ngetes kesabaran, tes aja sama Bang Nakula. Kalau lo ikutan emosi, ya dosa ditanggung si penantang."

Beralih ke anak paling waras, diberkahi kepandaian yang meluber-luber, sosok Sadewa merupakan jawabannya. Jarang ikut nge-reog, sebab hobi membacanya mengambil alih. Anak yang pertama kali menamatkan bacaan Al Qur'an, begitu pula 30 juz yang melekat dalam otak hanya dalam dua tahun saja.

Sadewa memang jenius, namun kerap membuat ulah dengan melontarkan sarkasme kepada para kakaknya yang ajaib-ajaib itu, atau menyombongkan kepandaiannya terutama di hadapan Nakula. Padahal Harsa sudah mewanti-wanti Sadewa untuk tidak termakan sifat sombong, tapi namanya manusia yang berusaha istikamah, kadang tergelincir sampai ketiban pohon pula.

Lalu si bungsu yang tahun ini menempuh tahap terakhir pada masa putih abu-abu, panggil saja dia Hamdan. Agak pemalu saat bertemu orang asing, tapi kalau sudah kenal, tingkahnya tidak berbeda jauh dari para kakaknya yang heboh luar biasa.

Satu hal menarik soal Hamdan ini, diam-diam dia pengamat yang sangat baik dan jeli. Jika ada masalah, dia diam—tapi langsung mengompori kalau ada kesalahan yang tertangkap mata elangnya. Tidak heran, dia jagonya panahan.

Lima anak angkat yang hidup di bawah atap kediaman Gulzar ini memiliki perangai berbeda. Masalah tak terelakkan kerap terjadi, namun satu yang mereka yakini; mereka sangat bersyukur sudah dipertemukan dengan Harsa dan almarhumah istrinya yang kelewat baik itu.

Tahun ini, genap dua belas tahun mereka bersama. Begitu banyak kenangan yang terukir sejak mereka menjejakkan diri di kediaman Gulzar yang dulu tidak sebesar sekarang.

Di dalam kamarnya, Sahal mengembuskan napas setelah puas memandangi foto almarhumah Mama Sekar. Memang bukan ibu kandungnya, tapi dia sangat merindukan wanita itu.

Hanya dua tahun, mereka merasakan kasih sayang utuh dari sebuah keluarga. Meski sebentar, tapi mereka semua bisa merasakan kehangatan yang menyelimuti hampanya hati setelah tak pernah menjumpai istilah 'keluarga'.

Kelembutan serta perhatian yang diberikan Mama Sekar sukses membuat kelima-limanya menganggap beliau sebagai ibu paling baik sealam semesta. Menjelang kepergian Mama Sekar, tak ada yang hendak beranjak meninggalkan wanita itu di kamar sendirian. Terutama Sahal dan Hamdan yang memang paling dekat dengan beliau.

Sahal beranjak, bersiap untuk pergi ke toko bangunan tempatnya bekerja sebelum pergi ke kampus. Menuruni anak tangga, Sahal mendapati Nakula yang menunjukkan sesuatu kepada Papa Harsa.

"Ini lho, Pa! Ikutan ya?"

Sahal mendekat, melihat layar ponsel Nakula. "Berkuda? Bukannya lo nggak suka berkuda? Bulan kemaren aja lo masih nolak."

"Diam ya kamu, wahai Abangku yang ngeselin! Gue lagi bicara sama Papa ini," Nakula kembali melayangkan seutas senyum. "Pa? Emangnya Papa nggak kangen buat berkuda lagi?"

Papa Harsa mendengus. Diletakkannya secangkir kopi yang baru diseruput itu, lalu menoleh ke arah Nakula. "Bulan lalu kita udah berkuda, Nakula. Bener kata Abangmu, bukannya kamu sendiri pernah bilang kalau nggak mau berkuda? Kenapa sekarang berubah pikiran?"

"Halah, Pa! Uangnya Papa kan banyak, berkuda lagi nggak apa-apa dong!" Timpal Nakula, belum menyerah.

"Lo pikir dapet duit tinggal ngambil daun di taman, La?" Si sulung—Arjuna—datang, baru selesai mandi. "Jadwal berkuda kita nunggu dua bulan lagi, Nakula. Jangan ngelunjak dong! Lo mau naik kuda sekarang? Gue beliin deh, kuda-kudaan dari kayu yang ada di toko mainan."

Tingkat kesabaran sebesar lima persen sudah habis. Maka tanpa ragu, Nakula melempar satu bantal sofa ke arah Arjuna. Dengan cepat, Arjuna mengelak. Lekas berdiri di belakang papa mereka yang sibuk membaca buku Tafsir Ibnu Katsir jilid ke-9.

Merasa bujukannya sia-sia, Nakula melenggang pergi begitu saja. Papa Harsa, Arjuna, dan Sahal memandang kepergiannya dengan kening berkerut.

"Adek lo kenapa, Hal?" Celetuk Arjuna.

"Adek lo juga tuh, Bang."

"Biarin ajalah! Nanti juga baik sendiri," Arjuna duduk di samping Papa Harsa. "Pa, yang jilid tiga dipinjam siapa? Juna udah selesai yang jilid duanya."

"Papa nggak tau, Jun. Hamdan bukannya kemaren baca yang jilid dua? Coba tanya dia kalau udah pulang nanti."

Arjuna mengangguk, lalu memutuskan untuk menonton televisi saja—itupun kalau ada yang menarik. Kalau tidak, ya dia bisa membaca komik dulu.

"Kalau gitu, Sahal berangkat dulu, Pa." Sahal berdiri, menyalami papa dan abangnya.

"Ke toko atau kampus dulu?" tanya Papa Harsa memastikan.

"Ke toko bangunan dulu, Pa. Ke kampus masih nanti. Pergi dulu, Pa, Bang! Assalamualaikum!"

"Wa'alaikumussalam."

•••••

Para Penggemar Papa

Jika keadaan di kediaman Gulzar penuh ketenangan dan ketenteraman, maka berbeda dengan apa yang Hamdan hadapi begitu tiba di sekolah. Memasuki kelasnya, eksistensi Hamdan dianggap sebagai jalan pintas bagi para gadis.

"Ham! Ke sini naik apa?" tanya salah satu gadis yang menjabat sebagai ketua kelas.

Hamdan meletakkan tasnya, menghela napas. "Ya naik motor sendirilah! Emangnya mau naik apa lagi?"

"Ya kan lo bisa nebeng sama Om Harsa kikikik~"

"Heleh! Nggak jelas,"

Hamdan beserta para laki-laki di kelas hanya mampu menggelengkan kepala. Tidak heran. Sejak mengetahui bagaimana rupa Papa Harsa saat mengambil rapor, banyak sekali perempuan yang kepincut akan ketampanan, harta, serta keramahan pria itu.

Bukan cuma gadis satu angkatan, bahkan ibu dari beberapa temannya seringkali mencegat Hamdan di gerbang utama hanya untuk meminta informasi pribadi Papa Harsa.

Tentu saja, Hamdan tidak memberikan informasi—nihil. Dia tidak bisa membayangkan Papanya itu dekat dengan wanita lain selain almarhumah Mama Sekar.

Terlebih, para kakaknya saja sudah membuat pusing. Jangan ditambah dengan perempuan asing yang mau enaknya sajalah! Hamdan takkan menyetujui wanita-wanita yang secara sukarela mau menjadi ibu sambungnya itu.

"Nanti sore aman?" tanya teman Hamdan yang bernama Indra.

"Hm," Hamdan mengangguk. "Tapi tunggu gue selesai ngaji dulu, Ndra. Terus kalau Bang Nakula santai, gue ajakin sekalian."

"Mau ke mana nanti sore?" tanya salah satu teman gadisnya yang bernama Miya. "Nanti harus lihat anak-anak Rohis yang baru, jangan kabur lo, Ham!"

Hamdan tersadar. Sebagai salah satu anggota Rohis yang aktifnya kebangetan, dia lupa kalau harus melihat anak kelas sepuluh yang baru saja bergabung. Apalagi, sebentar lagi dia akan keluar dari ekstrakulikuler yang satu itu karena sudah berada di tingkat akhir.

"Iya ya, sorry, Ndra. Gue harus ngelihat anak Rohis yang baru."

Indra mengangguk santai, "Nggak masalah, Ham. Oh iya, tadi ada anak kelas sebelah yang titip surat ke elo, Ham."

"Surat?"

Indra menyerahkan sebuah surat yang dimaksud. "Nih! Nggak tau dari siapa, orangnya pakai jaket, mukanya ditutupin pakai tudungnya."

Hamdan menerima ragu-ragu. Biasanya, yang kerap mengirim surat seperti ini antara gadis-gadis satu angkatan yang naksir Papa Harsa, dan bisa pula guru perempuan yang suka mencari perhatian alias restu darinya.

Miya mengernyit, "Nggak lo buka, Ham?"

Hamdan menggeleng, lalu menyimpannya di dalam tas. "Nanti aja gue buka sendiri. Gue juga butuh privasi kali ah!"

"Tapi mungkin nggak sih, salah satu penggemarnya Om Harsa?" terka Indra.

"Gue buang aja kali ya?" gumam Hamdan. "Eh, tapi siapa tau aja penting kan ya,"

Mereka bertiga kembali bercakap, tanpa tau, seseorang tengah mengamati dari jendela paling belakang.

•••••

Perpustakaan atau masjid, merupakan tempat di mana orang-orang bisa menemukan Sadewa tanpa ribet. Pada jam makan siang seperti ini, Sahal menuju masjid untuk melaksanakan salat Dhuhur, sekaligus mencari keberadaan Sadewa. Semalam, dia sudah berjanji untuk membelikan Sadewa makan siang.

"Udah salat, Wa?" tanya Sahal, didapatinya Sadewa duduk manis bersandarkan salah satu pilar.

Semula memejamkan mata, Sadewa hanya melirik Sahal lantas mengangguk. Bagi orang lain, sikap Sadewa tergolong menyebalkan dan minta ditimpuk. Namun bagi Sahal dan anggota keluarga Gulzar yang lain, mereka sudah terbiasa menanggapi keketusan Sadewa.

"Aduh!"

"Jangan dorong-dorong dong!"

"Woy! Jangan berisik!"

"Lo kali ah yang berisik!"

Sahal memandang Sadewa. Adiknya itu terlihat menahan kesal, tapi sudah diredakan dengan; astagfirullaah. Kadang, Sahal takjub dengan cara Sadewa meredam emosinya.

"Siapa?!"

Seruan Sadewa menghentikan gumaman para gadis yang bersembunyi di balik pilar gerbang utama memasuki masjid. Sahal dan Sadewa mengerutkan kening saat mendapati empat gadis yang berjalan cengegesan.

Sadewa mengenali salah satunya. Sintiya, teman satu jurusannya. Mengembuskan napas, Sadewa melayangkan tatapan menghunus. Bergeming, membiarkan empat gadis itu salah tingkah sendiri.

"Ada apa?" tanya Sadewa agak kalem.

Bahu Sintiya didorong oleh salah satu temannya. Gadis itu meringis, merapikan rambut sebahunya. "I-ini," Sintiya meletakkan sebuah kotak bekal di atas ubin masjid. "Bu-buat Om Harsa."

Sahal dan Sadewa menganga. Sahal membuka suara lebih dulu, "Kalian ke sini—ke masjid cuma mau begitu?"

Empat gadis itu mengangguk polos. Lagi-lagi, Sadewa beristigfar. Terlalu banyak hal merepotkan di dunia yang semestinya bukan urusannya. Namun jika perkaranya merupakan sang papa, mau tak mau dia harus menahan gadis-gadis itu untuk tidak mendekat selangkah.

"Pergi! Bawa pulang!"

"Ha?"Sintiya berdecak kesal, "Kok gitu sih? Buat Om Harsa ini, Wa! Kasihkan dong! Gue udah titip secara baik-baik lho,"

"Bodo amat!" Tangan Sadewa memberikan gerakan mengusir. "Pergilah! Gue bacain Ayat Kursi nanti kalian kepanasan lho!"

"Hih! Kurang ajar!" Dengan berat hati bercampur kesal, Sintiya mengambil kotak bekal yang diletakkan tadi. "Emangnya kita setan?"

Sahal menoleh ke arah adiknya. "Emangnya barusan lo ngatain mereka setan, Wa?"

Sadewa menggeleng, "Enggak tuh! Mereka ngerasa sendiri."

"Hih!" Sintiya mengepalkan tangannya. "Awas ya! Kalau gue jadi ibu tiri lo, gue bakalan nyuruh lo terus-terusan!"

Usai berkata demikian, Sintiya beserta tiga temannya melenggang pergi. Sahal mendengus lelah. "Heran deh gue sama temen-temen lo, Wa. Sukanya deketin Papa mulu. Lagian ya, Papa juga belum tentu bakalan suka sama perempuan lagi."

Sadewa memiringkan kepala, berpikir. "Lo mikir kayak gitu? Papa nggak bakalan suka sama perempuan lain? Dapat kisi-kisi dari mana itu, hah?!"

"Santai aja kali, Wa. Firasat gue kayak gitu, karena ya lo tau sendirilah—agak nggak mungkin Papa jatuh cinta lagi. Memang belum tua-tua amat. Pesonanya aja masih mempan ke cewek-cewek seumuran kita. Tapi misalkan Papa naksir perempuan lagi sih ... kayaknya gue yang nggak siap deh!"

Sadewa menengadah, memandang permadani langit yang memamerkan pesona birunya. "Gue juga, Bang. Kayaknya nggak bakalan siap buat nerima Mama baru di antara kita semua. Apalagi elo, Bang. Lo kan deket banget sama Mama."

"Gue emang deket, tapi nggak seberapa. Hamdan di urutan pertama, Wa." Sahal berbalik menuju tempat wudu. Dia harus segera salat, lantas mengisi perutnya yang minta diisi.

Memandang punggung Sahal, Sadewa menghela napas. Ditiliknya area masjid kampus yang cukup ramai oleh para mahasiswa.

"Ma," bisiknya pada angin yang berembus pelan. "Dewa kangen Mama."

•••••

"Lo kenapa?" tanya Arjuna yang berdiri di ambang pintu kamar Nakula. Sebagai saudara yang paling dekat dengan Nakula, sudah sewajarnya Arjuna mengajukan diri untuk menggali jawaban atas keanehan Nakula pagi ini.

Nakula melengos. Pemuda yang satu itu kembali menonton siaran ulang pertandingan basket dari luar negeri yang sangat dikaguminya. Arjuna mendengus malas.

"Pergi ajalah, Bang! Mumpung gue lagi pengin kalem nih," ujar Nakula tanpa melihat ke arah sang kakak.

"Gue lagi berbaik hati mau menghibur hati lo yang kesepian lho, La. Jangan dicuekin ah!" Arjuna malah membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur Nakula. "Bunga barunya udah dateng, La."

"Terus? Lo mau gue bantuin gitu, Bang?" tanya Nakula sambil lalu.

"Heh! Lo kan tau sendiri seberapa banyak vas bunga botan di rumah kita," Arjuna mendekati Nakula, lalu tanpa aba-aba mematikan laptop adiknya. "Ayo! Nggak usah sok-sokan ngambek lo! Gue aduin Mama baru tau rasa,"

Nakula meredam emosi dengan menggertakkan gigi. Hanya di hadapan Arjuna, dia bisa sedikit melunak. Mungkin karena mereka pernah bertemu di rumah sakit yang sama saat pihak panti asuhan memeriksakan kesehatan keduanya.

Arjuna dan Nakula sudah bertemu duluan tanpa orang-orang ketahui. Dua tahun setelah pertemuan tersebut, mereka bersatu menjadi keluarga baru yang tidak diduga-duga.

"Ayo! Nanti Mama marah kalau bunganya layu semua," Arjuna menarik lengan Nakula, membawa pemuda tersebut keluar dari kamar guna menyambut kiriman bunga botan yang baru datang.

Nakula melihat kehadiran Papa Harsa yang mulai mengganti bunga baru di ruang keluarga. Sorot matanya beralih pada sebuah figura berisikan seorang wanita yang tersenyum manis ke arah kamera. Cantik sekali. Itulah Mamanya. Bunga paling indah yang ada di rumah ini.

•••••

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!