Kesibukan Harsa

Harsa menyerahkan kwitansi pembelian paving block beserta batu kerakal kepada si pembeli. Di sampingnya, berdiri orang kepercayaan yang bertugas membantu mengelola pabrik—namanya Jaka. Si pembeli beranjak, berjabat tangan lalu pamit pergi.

Setelah mengantar keluar, Jaka membawakan satu proposal permintaan dari sebuah perumahan yang baru dibangun. Meminta kerja sama dalam jangka panjang, serta pasokan yang memadai hingga dua tahun ke depan.

"Kapan datangnya?" tanyanya kepada Jaka, mengenai kedatangan proposal yang dibaca.

"Dua hari yang lalu, Pak." Jaka memperlihatkan satu lembar lagi catatan. "Ini ada lagi, Pak. Pembelian untuk beberapa petak tempat parkir kafe, kalau yang kafe ini, kemarin orangnya baru saja ke sini."

Harsa mengamati dua catatan yang ditulis Jaka selama dirinya tidak datang ke pabrik. Dia memang tidak setiap hari berada di pabrik, sebab lokasinya berada di kota sebelah tempatnya tinggal. Butuh waktu dua jam untuk sampai ke pabrik, begitu juga dengan pulangnya.

Selain mengurus pabrik, dia memiliki kesibukan lain sebagai pemasok bahan makanan untuk beberapa rumah makan terkenal. Usahanya memang tidak main-main. Belum lagi soal lahan kosong yang baru dibelinya di dekat stasiun, dia harus memikirkan matang-matang segalanya.

Jaka mendengarkan instruksi Harsa dalam rangka pengiriman batu kerakal yang harus sampai di kota lain sampai batas waktu nanti malam, disertai batako dan hebel yang jumlah pengirimannya tidak terlalu banyak hari ini.

Selesai dengan penjelasan panjang lebar, Jaka undur diri untuk memanggil para pekerja yang bertugas sebagai bagian dari pengiriman.

Harsa masih duduk di kursinya, mengamati denah perumahan yang meminta kerja sama darinya. Saat itu, ada satu pesan masuk dari nomor yang tak disimpan, tapi Harsa mengetahui milik siapa itu.

Hanya melihat dari bar notifikasi, Harsa kembali berkutat dalam pekerjaannya. Jelas sekali, seseorang yang mengirimkan pesan agaknya cukup mengganggu.

Waktunya salat Zuhur, Harsa menyudahi kesibukan yang membuatnya tetap di tempat selama beberapa jam. Begitu keluar dari ruang kerjanya, Jaka duduk di balik meja, menyusun laporan pembelian pekan lalu seperti biasa.

"Ayo, Jak! Yang lain sekalian," ajak Harsa dalam balutan kemeja putih dan celana kainnya. Jasnya sudah disampirkan di ruang kerja, sebab hendak melaksanakan salat berjamaah di masjid dekat pabrik.

Usai bercengkerama dengan Rabb-nya, Harsa mendapatkan panggilan dari salah satu anak buahnya yang mengurusi perihal pasokan bahan makanan untuk rumah makan baru.

Inilah yang menyebabkan Harsa tidak bisa menetap di suatu tempat selama sehari penuh. Ada banyak keperluan yang menyerangnya, hingga mengharuskan diri lari dari satu tempat ke tempat lainnya.

Harsa memberi arahan singkat pada Jaka, sekaligus mempercayakan beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan sampai besok siang. Dalam kecepatan sedang, Harsa memacu mobilnya—berharap sampai tujuan pada waktu yang telah disepakati.

•••••

Nakula menutup mulutnya menggunakan kedua tangan. Dia sedang menguap lebar. Beberapa menit lagi, kelas berakhir, lalu dia bisa lekas pulang untuk mengistirahatkan diri sejenak.

Selama kelas berlangsung, Nakula menerapkan sikap bodo amatnya lagi, sebab Romeo enggan melepas lirikan tajam darinya barang sedetik. Dia heran, apa mata laki-laki itu tidak sakit ya?

Resha yang sempat membela Nakula, sekarang tak berbalik sedikitpun. Jujur saja, dia agak senang mendapatkan pembelaan dari cewek yang jauh dari kata feminim itu. Resha berambut sebahu, romannya tak pernah ramah kepada para lelaki entah karena apa.

Namun satu yang dia tau soal cewek itu, Resha dekat dengan sepupunya yang berkuliah di sini juga. Teman dekat Resha, bisa dibilang hanya sepupunya itu.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Kelas berakhir lebih cepat dari yang dibayangkan, sebab Pak Dosen sudah diwanti-wanti kedatangannya oleh seseorang.

Nakula melirik Romeo. Musuh sebelah tangannya itu sudah berdiri bersama dua temannya, lantas keluar dari kelas tanpa mengganggu. Nakula mendengus lega. Tak perlu menahan emosi hanya demi cowok menyebalkan yang satu itu.

"Lo ada masalah apa sih sama Romeo?" tanya Resha tiba-tiba—membuat Nakula terlonjak.

"Kaget, Sha."

Resha memutar bola matanya malas, bersedekap. Nakula pikir, Resha akan melenggang pergi. Akan tetapi, cewek itu malah menunggunya. "Tumben. Ada apa nih?"

"Gue cuma penasaran, sebenarnya kenapa Romeo selalu cari gara-gara sama lo sih?" Resha memiringkan kepala, berpikir. "Lo ada salah yang nggak disadari ke dia atau gimana?"

"Sejelas-jelasnya ingatan gue—nggak ada tuh salah apapun yang gue perbuat ke dia. Pas ditanyain, dia jawab juga enggak." Balas Nakula. Keduanya berjalan beriringan.

"Kok bisa kayak gitu ya?"

"Nah, gue sendiri juga nggak tau deh," tak ada obrolan lagi, namun keduanya memiliki tujuan yang sama—yaitu tempat parkir.

Pikirnya, perjalanan pulangnya akan lancar-lancar saja. Ketika Nakula dan Resha berada di tempat parkir, langkah keduanya terhenti karena keberadaan tiga orang yang duduk di atas motor Nakula.

Nakula mengernyit heran. "Garangan mau ngapain lagi ini?"

•••••

Harsa sampai di tujuan, yaitu lahan kosong yang rencananya dibangun sebagai minimarket dan kompleks pertokoan yang akan sangat berguna bagi penduduk sekitar stasiun untuk menyambung hidup. Bukan hanya menyewa, Harsa akan memberikan lahan kosong bagi mereka yang berjualan menggunakan gerobak dan semacamnya.

Semestinya dia menuju rumah makan baru yang meminta kerja sama. Namun dalam perjalanan tadi, si pemilik mengabari untuk bertemu menjelang petang.

Salah satu orang kepercayaannya datang, memberitahu material yang perlu dibeli lagi. Dalam pembahasan serius itu, sebuah mobil yang tak asing dalam pandangan, menepi tepat di belakangnya.

Harsa menghela napas. Entah kerusuhan macam apa lagi yang akan dialaminya. Pintu mobil terbuka, memperlihatkan penumpang yang ada di dalamnya,

"Pak ...?" anak buah Harsa merasakan suasana tidak menyenangkan.

Harsa tersenyum kalem. "Nggak apa-apa, kamu lanjut kerja, oke! Bilang sama kokonya, uangnya saya transfer setelah berhadapan sama keluarganya istri saya."

Laki-laki itu mengangguk kikuk, kemudian menghampiri rekannya yang lain untuk pergi ke toko bangunan. "Bro, hawanya mulai nggak enak nih,"

Si pengemudi mengamati Harsa yang menghampiri Paman, Bibi, serta anak perempuan mereka yang bernama Laura. "Biasa tuh, mau pamer kekayaannya Pak Harsa. Padahal Pak Harsa bukan menantu mereka."

"Ck! Udahlah! Ayo ke toko bangunan, lapor sama Koh Lim."

Keduanya, Asep dan Bagas, menuju toko bangunan terbesar di kota ini. Di sana, mereka bertemu Sahal yang sibuk dengan mesin tinting cat.

"Mas Sahal!" Sapa Bagas.

Sahal menoleh, "Oh, ada apa ke sini, Mas? Beli material tambahan ya?"

Bagas mengangguk, turut menyapa dua pelanggan Sahal yang duduk manis menunggu hasil cat pesanan mereka. "Oh ya, Mas Sahal. Tadi pas saya ke sini, Paman sama Bibinya Nyonya Sekar datang ke pertokoan."

Sahal mengerjap-ngerjapkan matanya. "Sama Tante Laura juga?"

"Ya jelas dong, Mas Sahal!" Bagas sempat mencari keberadaan Asep. Begitu melihat rekannya itu sudah bercakap dengan Koh Lim, Bagas merasa aman untuk mengobrol sebentar dengan Sahal.

"Sebentar ya, Pak, Bu, saya ambilkan dasarannya lagi untuk warna tambahan yang baru tadi." Ucap Sahal ramah, tak lupa memberi tanda bagi Bagas untuk menunggu sebentar.

"Masnya kenal sama Mas Sahal tadi ini ya? Kayaknya akrab," tanya ibu dengan riasan agak menor.

"Ehehe, iya kenal, Bu. Kebetulan, Mas Sahal ini anaknya bos saya." Bagas nyengir.

"Ha? Anaknya bos? Memangnya orangtuanya Mas Sahal itu kerja jadi apa sih?"

Manusia dengan jiwa-jiwa kepo yang mengakar. Baru saja membuka mulut, kehadiran Sahal mengenyahkan keinginannya untuk menjawab pertanyaan ibu-ibu tadi.

"Terus, sekarang Papa di mana, Mas?" tanya Sahal tanpa menengok.

"Pak Harsa baru aja datang dari pabrik, terus ya gitu, tadi pas saya tinggal, mereka mulai bicara. Saya nggak tau mereka ngomong apaan, Mas Sahal."

Sahal mengangguk seraya memandang layar komputer yang menunjukkan proses tinting. Paman, Bibi, dan Tante Laura. Tiga manusia yang selama ini merupakan penghalang kedamaian dalam hidup keluarga Gulzar.

"Semoga mereka nggak minta yang macam-macam lagi sama Papa."

•••••

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!