Lamaran.

Malam harinya di kamar rawat inap VVIP, Kenan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Di sebelahnya ada Sri yang terus mengelus rambutnya. Sementara di bangku ada Tito duduk sambil menatap tajam ke arah pemuda itu.

"Kenapa kamu bisa melakukan hal seperti itu, Kenan? Apakah kamu tidak bisa menahan hasrat mu itu? Kenapa kamu jadi bejat seperti ini, Kenan!" bentakan Tito membuat Sri ketakutan. Beliau menangis terisak.

"Papah dan Mamah tidak pernah menyangka kamu akan melakukan hal seperti itu! Kamu benar-benar membuat kami kecewa, Kenan!"

Pria itu masih terdiam. Wajahnya babak belur karena di hajar warga. Tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya sejak sadar dari pingsan.

...*****...

Di kamar rawat inap lain, rambut Ayana terus di usap lembut oleh Dewi. Mata beliau begitu sembab karena menangis. Sungguh, tidak menyangka kejadian keji itu menimpa putrinya.

"Maafkan Ibu ya, sayang? Maaf karena kamu mengalami seperti ini ...."

Ayana menatap sang ibu. Ia menggelengkan kepalanya lemah. Air mata terus turun dari mata cantik nya.

"Sekarang kamu istirahat. Ibu mau belikan minum dulu di kantin, oke?"

Setelah bangun terlihat Herman berdiri ingin menghampiri.

"Saya mau lihat keadaan Ayana."

"Silahkan Mas, dia gak tidur. Tolong jaga Ayana. Saya mau ke kantin sebentar."

"Baik."

Dewi pun pergi. Kini tersisa Herman dan Ayana yang ketakutan. Benar saja, sang ayah langsung mencengkeram dagu anaknya begitu kuat.

"Kamu harus mau menikah! Awas aja kamu mengatakan yang sebenarnya sama mereka!" ancam Herman.

"Tapi, dia gak bersalah ...."

"Saya gak peduli! Orang-orang berpikir kalau pria itu bersalah! Kalau sampai pernikahan kamu di batalkan, lihat saja saya akan berbuat sesuatu sama ibu kesayangan kamu itu! Paham!"

Ayana mengangguk cepat. Ia tahu semua perkataan ayah nya tidak main-main. Dewi pun kembali, Herman berpura-pura menghapus air mata Ayana.

"Sepertinya Ayana masih trauma."

Dewi yang percaya langsung memeluk sang anak sambil mencium kening nya.

"Kamu gak usah takut. Ibu akan selalu ada buat kamu."

Herman tersenyum tipis. Sangat gampang mengelabui anak itu. Cukup di ancam dengan keselamatan sang ibu, ia akan menuruti semua keinginannya.

...*****...

Seminggu kemudian, keluarga Kenan pun berkunjung ke rumah Ayana untuk lamaran. Di dalam kamar gadis itu menatap dirinya di cermin. Terlihat genangan air mata bersiap keluar dari pelupuk matanya.

Dari belakang Dewi mengelus rambutnya lembut di selingi senyuman tipis. Beliau tidak menyangka kalau anaknya akan menikah secepat ini.

"Ibu, gak nyangka kamu sudah mau jadi istri saja."

Ayana langsung memeluknya erat sambil menangis. Genangan air mata itu pun meluncur bebas.

"Jangan nangis, sebentar lagi keluarga Nak Kenan akan datang. Masa mau ketemu calon suami matanya sembab gitu."

Godaan Dewi membuat bibir Ayana cemberut sebal. Beliau terkekeh kecil melihatnya.

"Sudah, jangan nangis. Hapus air matamu. Tidak enak jika terlihat calon mertua mu."

"Ibu!"

"Iya, gak di goda lagi. Makannya hapus dulu." Ayana menghapus air matanya. Tak lama Herman datang.

"Dewi! Keluarga Kenan sudah datang. Ayo cepetan kita sambut!"

"Baik. Ibu kedepan dulu."

Ayana menghembuskan napasnya pelan. Hatinya merasa bersalah kepada pria itu karena memfitnah nya. Ingin sekali ia meminta maaf secara langsung. Namun, ia juga takut kalau pria itu memarahi nya.

Dewi kembali dan menyuruhnya keluar. Di temani oleh ibunya secara perlahan ia pun keluar untuk menemui keluarga Kenan. Tito dan Sri tersenyum melihat penampilan Ayana yang begitu cantik. Walaupun hanya dengan gaun sederhana milik Dewi. Sedangkan Kenan hanya terdiam.

Ayana dengan perasaan tegang menggelengkan kepalanya karena Dewi menyuruhnya untuk duduk di sebelah Kenan.  Sri yang melihatnya tersenyum tipis.

"Duduk aja, Kenan gak akan gigit."

Perkataan Sri sedikit menghilangkan rasa ketegangan di antara dua pihak. Saat Ayana duduk Kenan sedikit bergeser. Mungkin bagi Kenan biasa. Namun, bagi Ayana pria itu marah padanya.

Pembahasan lamaran pun di mulai. Tito menjelaskan kalau setelah menikah Ayana harus ikut ke rumahnya karena sepasang suami istri itu kesepian jika tidak ada Kenan. Herman tentu saja setuju.

Tapi, Ayana juga tidak bisa meninggalkan ibunya sendirian. Ia takut jika ayahnya berbuat macam-macam. Menyadari diam nya Ayana, Tito pun bertanya

"Nak Ayana, setuju tidak kalau kamu tinggal di rumah kami setelah menikah?"

Tak mau menggagalkan rencana, Herman yang langsung menjawab.

"Tenang saja, Ayana setuju kok. Karena jika menikah istri harus ikut suami nya kemana pun, bukan?"

"Benar. Jadi Nak Ayana akan ikut dengan kita."

"Syukurlah. Mamah jadi ada teman, Pah."

"Lihat, istri saya senang mendengar nya."

Tawa pun terdengar. Namun, kedua pasangan itu hanya diam saja. Pernikahan akan di adakan seminggu lagi.

"Oh iya, saya lupa bertanya. Ayana sekolah di mana?" tanya Sri.

"Di sekolah SMA Permata Bu. Tapi, bisa masuk kesana karena jalur beasiswa," ucap Dewi.

"SMA Permata? Itu sekolah milik kami."

Mendengar penjelasan Sri membuat ketiganya terkejut. Jadi sekolah elit itu milik keluarga Kenan. Herman semakin yakin untuk menguras harta mereka lewat Ayana.

"Berarti Ayana sangat pintar. Saya bangga mempunyai menantu seperti nya. Beberapa kali memang kami mendengar ada seorang murid dari beasiswa selalu memenangkan lomba. Jangan-jangan itu kamu?"

"Iya Tante. Alhamdulillah, saya selalu memenangkan lomba."

"Terima kasih karena kamu nama sekolah jadi baik. Kamu tenang aja, kamu tetap di izinkan sekolah walaupun sudah menikah. Biarkan kami mengurus semuanya nanti."

Ayana tersenyum bahagia. Ketakutan terbesar nya setelah menikah adalah berhenti sekolah. Namun, kini semuanya telah sirna tak perlu di khawatir kan.

"Tentang mahar, kamu mau apa Ayana? Kamu sebutkan saja."

Perkataan Sri semakin membuat Herman kesenangan. Saat Ayana mau buka suara terdengar suara lain berucap.

"Ayana memerlukan semua yang biasa di berikan calon pria kepada calon wanita nya. Hanya saja nominal kemungkinan akan besar."

"Tak apa Pak Herman, sebutkan saja. Kenan akan berikan."

Sedari tadi pria itu hanya diam memperhatikan tanpa membuka suara. Lagi-lagi perkataan Sri memberikan semangat buat Herman.

"Ayana ... meminta uang mahar sebesar lima puluh juta."

Sungguh. Ayana tidak pernah minta di berikan mahar sebanyak itu. Ia baru ingin mengatakan kalau mahar nya cukup seperangkat alat sholat saja.

"Bagaimana, Kenan? Kamu siap berikan?" tanya Sri ke arah anaknya.

"Akan ku lebihkan jadi seratus juta," jawabnya setelah lama terdiam.

Herman mendengar begitu bahagia. Uang itu akan ia ambil paksa dari Ayana.

"Baiklah. Pernikahan akan di adakan seminggu lagi. Tapi, bolehkah kami mengatakan sesuatu?" tanya Tito pelan.

"Tentu saja," kata Herman.

"Mohon maaf pernikahan keduanya tidak bisa di bikin acara besar. Jadi, mereka hanya menikah secara diam-diam tanpa mengundang orang lain."

Ucapan Sri membuat Dewi merasa sedih. Padahal ia ingin mengundang para warga agar datang ke pesta pernikahan putri satu-satunya.

"Aku gak apa-apa Tante. Lagian aku juga masih sekolah takutnya nanti ketahuan. Aku juga mau bilang, bolehkah aku merahasiakan kalau sudah menikah?"

"Boleh saja sayang, kami tidak keberatan kamu mau menutupi nya. Yang terpenting kamu merasa nyaman."

"Terima kasih."

Di sepakati bahwa pernikahan antara Kenan dan Ayana di adakan secara rahasia di rumah Kenan. Sebab jika di rumah Ayana terlalu sempit.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!