Sedikit kilau dari matahari dan kicau burung yang bersahut-sahutan menyambut terbukanya salah satu jendela di hotel mewah Manhattan ini. Vanilla mengerjap saat dahinya diusap lembut. Ia berdecak dan memunggungi penyebab Ia terganggu.
"Nillaku, sudah pagi. Kamu harus sarapan,"
Jhico ingat betul gadis itu tidak makan apapun yang berarti semalam. Ia terlalu sibuk menyesali takdirnya yang saat ini menjadi istri Jhico. Diperintahkan agar makan oleh Ia dan Raihan sekalipun tidak membuat Vanilla bergerak dari egonya.
"Nilla, bangun. Ini sudah pagi,"
Vanilla melenguh saat sentuhan Jhico di rambutnya semakin terasa. Ia mengubah posisi lalu mengerjap kemudian menatap langit-langit kamar. Dan saat itu selalu menjadi waktunya untuk berharap. Ada kalimat 'Andai pagi ini aku bisa melihat lagi,' yang selalu Vanilla ucapkan di dalam hatinya. Namun saat ini belum berubah. Semuanya masih sama. Gelap dan kosong.
Jhico membantu Istrinya untuk bangkit dan Vanilla tidak menolak. Ia meraih mug berisi air putih lalu mengangsurkan itu pada Vanilla.
"Segera cuci muka, lalu kita sarapan bersama,"
"Kamu saja yang sarapan. Aku tidak," Mata Jhico memicing pada Vanilla. Ia tahu alasannya tapi menurut Jhico itu bukanlah bentuk dari sikap kedewasaan. Vanilla pasti menghindarinya. Bila Ia datang untuk sarapan sendiri tanpa Vanilla, apa tanggapan keluarga mereka?
"Kenapa? kamu sedang menjalani program diet?"
"Anggap saja begitu,"
Kaki Vanilla menyentuh marmer yang cukup dingin. Ia merendahkan tubuh untuk mencari tongkat yang tadi malam Ia letakkan di bawah ranjang. Sekarang tidak ada. Ia menegakkan tubuh seraya mengingat kembali.
Jhico berjalan mendekati pintu lalu meraih benda yang dicari Vanilla. Ia sudah menyiapkan itu untuk Vanilla keluar.
"Aku tunggu di sini. Tidak ada penolakan, Vanilla," Jhico sampai mengubah panggilannya untuk memutus dengan tegas keinginan Vanilla yang lebih memilih untuk berdiam diri di kamar.
*****
Restoran yang terletak di lobi hotel itu sudah diisi dengan beberapa tamu hotel. Termasuk keluarga besar Vanilla dan Jhico. Mereka menikmati breakfast buffet seraya bertukar cerita yang tidak jauh dari acara semalam. Seolah topiknya tidak pernah habis walaupun acara sudah selesai. Sorak kebahagiaan masih begitu terasa.
"Dimana Aunty Vanilla? sebentar lagi kita bermain di taman tapi Aunty belum datang juga,"
"Sedang sibuk, Sayang." Hawra, nenek Jhico menjawab Adrian dengan senyum hangat yang terpatri di wajah senjanya.
Mereka sudah berada di sana sejak tadi. Restoran milik hotel ini buka untuk dua puluh empat jam. Sehingga datang pagi pun tidak masalah, justru suasananya belum terlalu ramai.
"Sibuk apa? biasanya Aunty bangun pagi,"
"Aunty tidak pernah bangun pagi. Kamu mengarang saja,"
Adrian merengut saat Rena menggodanya. Anak itu kembali sibuk dengan sarapannya yang terdiri dari susu sebagai beverage, pancake lengkap dengan sirupnya, dan sereal.
"Adrian, sebentar lagi aku sekolah,"
"Aku yang sudah sekolah saja tidak sombong," jawabnya dengan datar. Anak itu meneguk susu dengan perasaan kesal pada Vanilla yang belum apa-apa sudah tidak bisa lagi menjadi teman bermainnya.
Ia tidak peduli lagi dengan sepupunya yang masih terus mengajak bicara. Sampai saat dimana Kayla mengayun lengannya, Ia tidak mampu menyembunyikan decak malasnya.
Jhon sebagai sepupu Devan dan orangtua Kayla langsung menegur anak bungsu mereka itu.
"Kayla, jangan mengganggu orang yang sedang ditinggalkan,"
Jhon yang memang begitu jahil melebih-lebihkan agar Adrian semakin kesal. Zio, sepupunya pun menambahi.
"Cari istri, Adrian. Biar tidak kesepian. Jadi Vanilla memiliki suami, kamu memiliki Istri. Kalau mau bermain, ajak istrimu saja,"
Devan hampir melempar sendok di depannya ke arah wajah Zio, sepupu menyebalkan yang masih hidup hingga sekarang. Mulutnya benar-benar tidak bisa dijaga sejak dulu.
"Masih kecil, tidak boleh. Iya, Mom?"
Lovi mengangguk dengan cepat. Tentu saja tidak boleh. Adrian harus menjadi seseorang yang patut untuk menjadi pasangan terlebih dahulu, barulah Ia diizinkan untuk menikah. Dan sekarang usianya belum lima tahun! dimana otak Zio sampai berbicara hal semacam itu pada Adrian?
"Sudah mengerti. Pintar kamu,"
Adrian menepuk dadanya dengan gaya congkak setelah mendengar pujian Thanatan. Sedetik kemudian Jhico dan Vanilla bergabung di tengah-tengah mereka.
Tidak ada keceriaan seperti pengantin baru pada umumnya. Vanilla duduk setelah Jhico menarik salah satu kursi yang kosong. Rautnya sangat datar berbeda dengan Jhico yang sekarang berusaha untuk menutupi.
"Kamu--"
"Aku tidak mau sarapan. Yang terpenting aku di sini dan tidak membuatmu malu bukan? silahkan kamu sarapan sendiri," Vanilla menelan suara kencangnya begitu ingat posisi mereka saat ini. Ia berbisik pada Jhico ketika tahu apa yang akan dikatakan suaminya itu.
****
Tempat pertama yang dijadikan Vanilla dan Jhico untuk menginap setelah pulang dari hotel adalah mansion Vanilla.
Sambutan begitu luar biasa didapatkan oleh Jhico. Para pelayan tidak menyangka kalau lelaki inilah yang akan menjadi pelabuhan terakhir seorang putri bungsu Raihan Vidyatmaka. Bukan Renald, yang dua kali terlihat menyambangi mansion, yang begitu mumpuni dalam menghadirkan senyum di wajah cantik Vanilla.
"Kita selamanya di sini, Dad?"
"Oh tidak, Sayang. Kamu memiliki rumah sendiri. Kita di sini hanya sampai Auris sedikit besar,"
Jhico tersenyum seraya mengusap kepala Adrian yang kini mengerucutkan bibirnya. Suasana di dalam keluarga itu terasa begitu hangat. Berbeda sekali dengan apa yang terjadi di dalam keluarganya.
Bahkan sikap mereka terhadap Jhico seperti bukan pada orang baru. Dan Jhico bersyukur akan hal itu. Semuanya menyambut kehadiran Ia di hidup Vanilla dengan begitu baik.
"Kalian bisa istirahat di kamar Vanilla, ya."
Jhico mengangguk saat Rena berbicara padanya. Wanita itu meninggalkan mereka di ruang keluarga. Vanilla memanggil Rena untuk meminta bantuan pada Mamanya itu.
"Tolong antar aku ke kamar, Ma."
"Denganku saja,"
Vanilla menghela napas kesal. Kalau Jhico yang membawanya ke dalam kamar, Ia pasti tidak akan keluar lagi. Dan kecanggungan di kamar hotel pun akan kembali terulang. Vanilla tidak suka dengan hidupnya yang seperti ini.
Rena benar-benar pergi dan membiarkan Jhico yang membantu putrinya. Ia berjalan menuju kamar Lovi untuk melihat kondisi Auristella yang tadi mual.
******
"Setelah dari sana, menginap lah di rumah Mama dan Papa. Biar Vanilla juga bisa merasakan tinggal di sini,"
Jhico menoleh dengan ponsel yang masih melekat di telinganya saat Vanilla keluar dari kamar mandi dan berbaring di sebelahnya dengan posisi berbaring memunggungi dirinya.
Ia berdehem dan kembali fokus pada pembicaraannya dengan Thanatan yang tidak ingin kalah dengan Raihan. Ia ingin menantunya juga menginap di sana.
"Untuk apa? kalian sibuk dan akan membuat Vanilla tidak nyaman,"
Vanilla menutup matanya berusaha tidak peduli dengan lelaki di sebelahnya. Ia menarik selimut ke atas agar lebih menenggelamkan tubuh kecilnya. Hal itu tidak luput dari ekor mata Jhico.
"Jangan bicara seperti itu, Jhico. Papa sudah berusaha berbaik hati padamu. Kamu tidak bisa berhenti untuk mencari masalah? huh?"
"Aku melakukan apa? mencari masalah? bahkan aku tidak pernah mengganggu hidup Papa dan Mama lagi,"
Vanilla membuka matanya. Kalimat mereka terdengar begitu ganjil dan aneh untuk diucapkan dalam hubungan anak dan orangtua. Apakah mereka sedingin itu? dan Vanilla belum tahu bagaimana kondisi internal dalam keluarga Jhico.
"Kalau tidak mau membawa istrimu ke sini, ya sudah. Papa tidak akan memaksa. Sampai kapanpun kamu akan tetap seperti ini. Keras kepala dan selalu menutup diri. Memang kesalahan kami sebesar itu?"
Jhico mematikan sambungannya secara sepihak. Ini hari pertama yang seharusnya dilimpahkan dengan kebahagiaan. Thanatan sudah mencari masalah di dua puluh empat jam Jhico melepas masa kesendiriannya.
Jhico bahagia saat di hari pernikahannya kemarin Thanatan dan Karina peduli padanya. Mungkin itu untuk terakhir kalinya. Karena setelah ini, mereka akan semakin menjauh. Alasan klasik yang mungkin akan mereka gunakan 'Jhico sudah menikah'. Sehingga kebersamaan pun akan semakin jarang terjadi. Jhico membiarkan hal itu. Ia sudah biasa hidup sendiri. Dan sekarang ada Vanilla. Sehingga dinomor duakan oleh orangtua bukan menjadi hal yang besar untuknya. Ia sudah melewati masa pahit itu sejak kecil.
"Besok aku mau menginap di rumahmu,"
Vanilla berbalik dan menemukan Jhico yang berbaring menatap punggungnya. Lelaki itu tampak terkejut saat Vanilla dalam posisi yang saling berhadapan dengannya.
Ucapannya tadi pun membuat Jhico mengerinyit dalam. Alisnya terangkat kemudian menggeleng.
"Tidak, kita langsung ke apartemenmu saja,"
"Kenapa? aku tidak boleh ke sana?"
"Ya, kamu akan merasa kesepian di sana," seraya berbicara, tangan Jhico mulai terjulur untuk mengusap bagian bawah wajah Vanilla.
"Kita berdua ke sana,"
"Mulai besok aku akan kembali bekerja, Nillaku. Di sana memang banyak orang tapi kamu akan merasa sendiri. Itu benar-benar tidak nyaman. Lebih baik benar-benar tinggal sendiri di apartemen daripada tinggal dengan banyak orang tapi tidak dipedulikan,"
Saat ini Vanilla mengerti bahwa apa yang dilihatnya selama ini tidaklah semanis yang Ia pikirkan. Hubungan kekeluargaan mereka tidak seharmonis bayangan Vanilla ketika bertemu dengan kedua orangtua Jhico untuk pertama kalinya di mansion ini dimana dengan penuh kasih sayang mereka membantu Jhico dalam meminta Vanilla menjadi pendamping hidupnya kepada Raihan dan Rena. Ketika itu mereka terlihat begitu mengayomi Jhico. Ia kira Jhico hidup dalam bergelimangan kasih sayang dan perhatian sehingga apapun yang diinginkannya harus dipenuhi oleh Thanatan dan Karina termasuk dalam menginginkan Vanilla sebagai istri padahal pertemuan mereka terbilang cukup singkat.
"Ada Nenek Hawra bukan?"
Jhico mengangguk namun tetap menolak tegas. Vanilla tidak mengerti bagaimana rasanya berada di tengah-tengah keluarga seperti itu. Hawra memang berbeda dengan kedua orangtuanya. Namun Jhico tetap khawatir. Ini belum saatnya Vanilla masuk terlalu dalam di kehidupan keluarganya. Masih ada banyak waktu untuk mengenal, menerima, lalu menyesuaikan diri.
"Semua yang ada di dalam pikiranmu saat ini benar. Kami tidak baik-baik saja, Nilla."
---------
Selamat malam semua pembacakuu🤗NILLAKU up, merapat, baca, lalu beri dukungan yaaa. Terima kasih untuk semua partisipasi kalian💙
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 441 Episodes
Comments
Hesti Sulistianingrum
semoga rasa iba nilla.. seiring waktu berubh mnjd rasa cinta...
2021-02-28
0
ARSY ALFAZZA
✔️🌻
2020-10-31
0
Seriani Yap
Semangat thor
2020-09-08
0