"Besok kita ke toko buku ya?"
Vanilla hanya mengangguk lalu memasukkan bindernya ke dalam tas. Hari ini hanya ada dua mata kuliah. Kuliah dimulai pukul lima sore dan selesai pukul delapan malam.
"Jangan lupa, Vanilla! Tugas kita lumayan sulit. Jadi harus mencari referensi yang lebih lengkap,"
Vanilla berdecak kemudian menampilkan senyumnya.
"Iya, Joana. Aku mengerti,"
"Tepat waktu ya datangnya. Nanti aku sudah sampai sana, kamu malah belum datang,"
"Iya, Aku akan berusaha tepat waktu,"
Joana teman yang duduk di sebelahnya terkekeh lalu memiting wajah Vanilla karena gemas. Dulu Ia tidak berani melakukannya karena aura Vanilla yang menakutkan. Sekarang, pertemanan mereka malah lebih dari yang Ia bayangkan sebelumnya. Biasanya Vanilla akan membentak kalau diperingatkan dalam hal positif salah satunya kedisiplinan. Sekarang, gadis itu benar-benar berubah.
"Aku pulang dulu ya. Sudah malam, kakakku juga menunggu,"
"Okay, hati-hati ya,"
Mereka saling melambai. Vanilla lupa kalau Ia butuh seseorang untuk membantunya menghubungi Devan. Ia buta, tidak bisa mencari mencari nama Devan di ponselnya. Begitu mengingat itu, Vanilla kembali berbalik ingin menghampiri Joana. Ia merutuki diri sendiri yang bisa-bisanya lupa dengan keadaannya. Biasanya Joana yang membantu Vanilla untuk menghubungi supir pribadinya untuk menjemput.
Vanilla tidak sengaja menubruk seseorang hingga Ia merasa sesuatu yang kokoh menyentuh dahinya. Dan juga sepasang tangan yang melingkupi pinggangnya.
"Maaf aku tidak sengaja," ujar Vanilla yang masih terkejut. Ia berusaha melepaskan diri dari orang yang masih memeluk tubuhnya itu.
"Ini aku Renald,"
Vanilla langsung mengangkat wajahnya. Ia berusaha meyakinkan apa yang didengarnya. Tangan Vanilla terjulur untuk menyentuh wajah lelaki yang baru saja berbisik itu.
"Kamu memangnya tidak ingat dengan aroma tubuhku?" Renald terdengar merajuk hingga membuat Vanilla terkekeh.
Renald kesal karena Vanilla masih saja merasa asing dengannya. Seharusnya Ia hafal dengan suara Renald, itu hal paling minimal yang sangat diinginkan Renald.
"Ingat, tapi takut salah orang,"
Vanilla masuk ke dalam pelukan Renald, menghirup dalam-dalam aroma parfum yang begitu jantan milik lelaki itu.
Renald mengusap kepala belakang Vanilla. Kemudian menghidu rambut Vanilla yang pastinya membuat gadis itu membeku.
Sungguh, inilah yang Ia inginkan. Perlakuan lembut penuh penghargaan bukan penghinaan karena dirinya buta.
Renald sudah baik seperti ini padanya. Apakah Ia bisa mengatakan sesuatu yang menyakitkan itu sementara waktu terus berjalan.
Seperti kata Raihan semalam. Vanilla dan Jhico akan menikah tiga minggu ke depan. Sehingga Raihan meminta Vanilla untuk secepatnya jujur pada Renald sebelum terlalu dalam menyakiti lelaki itu.
"Kamu sudah pulang juga?"
"Iya, mengepel kelas di sebelahmu adalah pekerjaan terakhirku berdasarkan jadwal. Tadinya aku akan mengepel kelasmu juga. Agar besok pagi pekerjaanku berkurang. Tapi karena aku sudah begitu merindukanmu, maka sekarang kita pulang bersama,"
Vanilla yang mendengar itu langsung merasakan kehadiran letupan bahagia di hatinya.
"Sebelum pulang, kita makan roti dulu mau? Aku membawanya tadi,"
Vanilla menggenggam tangan Renald berharap lelaki itu mau menurutinya. Vanilla begitu merindukan Renald. Jadi biarkan dia melupakan sebentar penantian Devan di Cafetaria. Ia yakin kakaknya tidak akan marah kalau Ia hanya terlambat sedikit.
Renald mengangguk antusias. Ia membawa Vanilla ke bangku yang tak jauh dari gerbang kampus. Vanilla terlalu sibuk bersama dengan Renald sampai Joana keluar dari kampus pun Ia tidak menyadarinya.
Joana yang melihat kedekatan Vanilla dengan Renald yang semakin terjalin erat pun mulai meyakini prasangkanya. Vanilla dan Renald memiliki hubungan khusus. Tapi yang Ia tak habis pikir kenapa Vanilla bisa melabuhkan hati pada cleaning service kampus mereka? Padahal dulu, Vanilla selalu menendang jauh-jauh orang seperti Renald.
"Semalam aku telepon kenapa tidak aktif?"
Vanilla menelan ludahnya kasar. Ia meneguk minumnya seraya berpikir mencari jawaban yang akan Ia keluarkan untuk menimpali pertanyaan Renald.
Ia tidak mungkin mengatakan kalau Ia sedang sibuk makan malam bersama Jicho dan keluarganya. Itu terlalu berbahaya untuk kelangsungan hubungan mereka yang sudah berada di tahap ini. Vanilla masih menantikan pernyataan Renald atas kepemilikannya. Andai saja Renald berani memintanya pada Raihan, apakah Papanya itu akan berubah pikiran?
"Aku tidur lebih cepat dari biasanya. Dan ponselku mati karena habis baterai. Maaf, ya."
Vanilla meringis dalam hati. Ia juga tak henti meminta maaf pada Renald walaupun lelaki itu tidak mendengarnya. Vanilla tidak tahu sampai mana kebohongan ini akan berlanjut. Renald terlalu baik untuk Ia sakiti. Dan Vanilla mencintai lelaki baik itu. Lelaki yang menerima dengan lapang dada ketika Vanilla memintanya untuk mengganti baju Vanilla yang basah karena ulahnya yang tidak disengaja. Vanilla tahu kalau untuk mengganti baju mahalnya, Renald harus menguras seluruh tabungan hingga penghasilannya pada bulan itu.
"Besok jangan begitu lagi ya. Aku khawatir kalau kamu tidak menjawab panggilanku,"
Vanilla tersenyum dan mencari wajah Renald untuk disentuhnya. Renald menangkap tangan gadis itu lalu diletakkan tepat di wajahnya.
"Iya, Renald. Maafkan aku sudah membuatmu khawatir,"
******
Sejak hari pertama Denaya bekerja di rumah sakit yang sama dengan Jhico, mereka selalu bertatap muka. Jadwal jaga di ruang gawat darurat pun terkadang bersamaan.
Namun layaknya orang yang baru saling mengenal, keduanya fokus menjalankan tugas dan hanya berkomunikasi seperlunya.
Saat Jhico sedang berjaga di ruang gawat darurat, tiba-tiba datang seorang pasien paruh baya serta beberapa orang yang mengantarnya.
"Tadi mengeluh nyeri kepala, lalu muntah dan tidak sadarkan diri,"
Setelah diperiksa lebih lanjut olehnya, diagnosis Jhico mengarah pada stroke hemoragik (pendarahan otak).
Jhico memanggil orang-orang yang mengantar pasien. Lalu menatap mereka dengan serius.
"Keluarganya dimana?"
Jhico bertanya demikian karena Ia butuh persetujuan keluarga (Informed consent) untuk melakukan beberapa tindakan.
Mereka semua menggeleng pelan. Sebelum akhirnya menjawab dengan jujur, "Anak dan istrinya meninggalkan beliau beserta harta benda yang dimiliknya, Dok. Ia tinggal sendiri sekarang,"
Jhico bertanya banyak hal. Ternyata mereka semua bukan keluarga pasien. Hanya sebatas orang lain yang tinggal berdekatan. Namun tahu betul bagaimana keseharian lelaki itu.
Jhico memutuskan untuk mencari kontak keluarga pasien yang bisa dihubungi. Mereka semua malah mengatakan sesuatu yang membuat hati Jhico teriris. Mengaku sebagai saudara angkat dan tidak ada urusannya sama sekali dengan pasien sehingga tidak bisa bertanggung jawab atas apapun yang terjadi.
Hal seperti ini kerap terjadi. Dan Jhico selalu menyayangkan orang-orang seperti mereka yang tidak punya hati.
Dunia memang kejam. Di saat seseorang dikerubungi dengan kekayaan, kesuksesan, banyak orang berlomba-lomba untuk mendekati, lalu berperan layaknya seorang penjilat. Setelah mereka yang sukses merasa terjatuh dan kesulitan untuk bangkit, tidak sedikit yang meninggalkan. Bahkan memilih untuk berpura-pura tidak mengenali.
Pelajaran seperti inilah yang membuat Jhico sangat nyaman dengan pekerjaannya. Jhico banyak belajar dari pengalaman yang dirasakan oleh pasien-pasien yang pernah ditanganinya. Ia selalu bersyukur karena kehidupannya jauh lebih baik.
*****
Deni menggenggam tangan istrinya memasuki sebuah kafe. Begitu memesan kopi yang diinginkannya, Ia segera berlalu dan meninggalkan Keynie yang tengah memilih donat.
Deni memicing saat melihat pahatan wajah Devan di sudut kafe. Ia berjalan cepat lalu berseru menyapa Devan seraya menepuk bahunya.
"Tidak disangka kita bertemu di sini,"
"Sibuk sekali kau. Honeymoon kah sampai-sampai tidak pernah datang lagi ke mansion?"
"Hei! aku masih sering datang ke sana. Kau saja yang tidak tahu,"
Devan mengangguk pelan. Ia tinggal di rumahnya, dan mungkin apa yang dikatakan Deni memang benar. Devan hanya sesekali datang ke mansion.
"Sedang apa di sini?"
"Menunggu,"
"Ck! menunggu siapa? perempuan lain lagi, heh?"
"Aku tidak salah dengar? bukannya kau yang sering bertemu perempuan lain?"
Deni berdecak kesal. Dan mengangkat mug kopi milik Devan. Namun Tidak jadi mengguyur karena mata Devan sudah berkilat tajam. Deni selalu kalah bila disandingkan dengan Devan.
"Kenapa harus adikku yang menjadi perempuan lain itu?"
"Deniele..."
Devan tersenyum miring menatap seseorang di belakang Deni. Ia berdehem dan mengisyaratkan orang itu untuk duduk, bergabung bersama keduanya.
"Dia nakal di belakangku ya?" Keynie menatap penasaran pada Devan. Ia tidak mendengar terlalu banyak, dan berpikir kalau mereka hanya sedang bersenda gurau.
"Perkenalkan aku Devan. Kau Istrinya?" Devan memilih untuk mengalihkan pembicaraan ditengah kegugupan temannya itu.
"Iya, aku Keynie. Oh kau Devan? Deniele sering bercerita tentang persahabatan kalian,"
Keynie tersenyum hangat. Rupanya seperti ini wujud asli Devan, yang selama ini selalu dikaitkan Deni bila lelaki itu sedang bercerita mengenai persahabatan mereka yang sudah seperti saudara.
"Deni sudah bercerita sejauh apa?"
"hm? aku hanya tahu kalian sangat dekat, bahkan seperti saudara,"
Devan mengangguk pelan. "Ya, itu kami,"
"Deniele juga sering pulang terlambat katanya akan bertemu denganmu. Aku salut, kalian benar-benar selalu menghabiskan waktu bersama,"
Devan menatap Deni dengan mata memicing. Sial! dia dijadikan benteng sekarang. Deni berbohong dengan membawa-bawa namanya. Berani sekali dia mencari masalah dengan Devan.
"Oh bukan bertemu denganku. Tapi adikku, Vanilla. Kau kenal bukan? aku rasa Deni tidak hanya menceritakan persahabatan kami,"
----------
HELAWW GIMANA KABAR HATI SEKARANG? SEMOGA MSH SETERONG NUNGGU KEPASTIAN KAYAK SI VANILLA😝🤣🤣
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 441 Episodes
Comments
Hesti Sulistianingrum
jujur bangets ms Devan 😅
2021-02-28
0
ARSY ALFAZZA
🐾🐾🌸🌸🌸🌸
2020-10-23
0
Seriani Yap
Aahh devan..
Hahaha
2020-09-07
0