Adrian dan Andrean sudah menunggu Devan menjemput mereka sejak tadi. Hari ini yang menjemput keduanya adalah Devan karena Lovi harus ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan rutin terhadap dirinya dan Auristella yang sudah empat hari berada di mansion.
"Lama-lama aku pulang sendiri ini," Adrian tidak henti menggerutu kesal. Ia pikir Devan pasti lupa dengan janjinya tadi pagi.
Biasanya Devan tidak seperti ini. Ia selalu menjemput kedua anaknya tepat waktu. Bahkan terkadang sudah datang jauh sebelum waktunya.
"Kita pulang sendiri saja, Andrean. Ayo!"
"Asal sekali kamu bicara. Memang kamu punya uang? berani naik angkutan umum?"
Adrian mengacak rambutnya. Otak cerdiknya itu berpikir keras. Mencari cara untuk cepat sampai di rumah lalu setelah bertemu Devan nanti, Ia akan memberi pelajaran untuk Daddy-nya itu. Ia dibuat menunggu. Benar-benar menyebalkan!
"Tidak ada penjaga lagi di sekitar kita. Ini semua karena kamu,"
"Kenapa aku yang salah?!"
Mereka malah berdebat di sebuah kursi tunggu untuk anak-anak yang belum dijemput.
"Kamu yang meminta pada Daddy untuk melarang pengawal mengikut kita. Sekarang kalau ada orang jahat bagaimana? sebentar lagi sekolah kosong, Adrian."
Adrian menghela napas pelan. Ia baru ingat kalau beberapa hari yang lalu Devan diperintahkannya untuk menghentikan pekerjaan pengawal dalam mengikuti mereka kemanapun. Adrian mengatakan bahwa Ia tidak nyaman, sudah besar, dan tidak perlu lagi diikuti seperti itu.
"Adrian sudah besar. Punya privasi, Dad."
Itu alasan yang paling menggelikan bagi Devan. Pintar sekali mulutnya itu berbicara hal-hal yang tidak seharusnya dipikirkan oleh seorang anak kecil.
"Tidak boleh ada pengawal lagi. Adrian tidak mau!"
Devan mengangguk pelan. Sekalipun para pengawal itu tidak mengikuti mereka, penjagaan tetap berada di sekeliling keduanya. Walaupun bila terjadi apa-apa, mereka akan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelematkan Adrian dan Andrean.
******
"Dan, kau dimana?"
"Nanti aku datang ke rumah sakit saja. Kau tidak perlu menghampiriku,"
Jhico berdecak sebelum menjawab sahabatnya yang saat ini sedang tersabung melalui telepon.
"Aku sudah di jalan. Jadi kau tidak perlu lagi ke rumah sakit,"
"Aku sedang menunggu keponakanku pulang, Co. Kau bisa ke sini?"
Jhico melajukan mobilnya kembali setelah lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Ia melirik jam tangannya sekilas.
"Ke sekolah keponakanmu?"
"Iya, nanti aku kirim alamatnya,"
Jhico memutus sambungan telepon itu. Ia dan Dante akan pergi ke sebuah cafe untuk merayakan pesta ulang tahun Tiano. Riyon langsung beranjak dari rumah sakit menuju cafe. Sementara Dante mengajak Jhico untuk berangkat bersama. Mereka adalah sahabat yang begitu dekat bahkan layaknya saudara. Sesibuk apapun pasti akan ada waktu luang untuk salah satunya yang sedang merasa bahagia ataupun bersedih.
*****
"Tanggal berapa pernikahanmu?"
Vanilla mengangkat bahunya sebagai jawaban. Ia kembali menyeruput tiramisu milkshake -nya dengan tenang. Tidak terganggu sama sekali dengan pertanyaan Richard yang tampak begitu penasaran setelah Jane mengatakan bahwa sebentar lagi Ia akan menikah, Jane memintanya untuk datang.
"Tidak tahu? kau mau menikah tapi kenapa malah--"
"Bukan keinginanku. Untuk apa aku mengetahuinya?"
"**** Vanilla! itu pernikahanmu. Kamu akan menjadi milik orang lain, kalian akan sehidup semati. Kamu harus tahu akan hal itu. Kalau selalu tidak peduli, bagaimana kehidupan pernikahan kalian nantinya?"
Vanilla berdecak dan bersandar pada kursi. Jane selalu menasihatinya. Sampai Vanilla merasa bosan. Bagaimana caranya Ia menghadirkan rasa peduli itu? sementara ini semua bukan keinginannya. Masuk akal bukan? haruskah Ia berteriak pada mereka semua yang mengomentari sikap egois Vanilla bahwa Ia melakukan ini karena sebuah pemaksaan dan kebutuhan. Vanilla ingin hidup normal lagi, dan Ia tidak bisa mengelak dari apa yang diperintahkan Raihan.
Richard mengusap punggung tangan Jane yang tampak emosi dengan sepupunya. Wajar saja Jane memberi peringatan seperti itu. Karena pernikahan bukan untuk beberapa hari saja. Vanilla dan Jhico akan menjadi sepasang suami istri yang harus menyatukan dua kepala yang berisi dua ego, dua pikiran, dua ekspektasi, dan dua keinginan dimana saling menghargai dan peduli sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan pernikahan tersebut.
"Kalau aku mau menikah dengannya, penglihatanku akan normal kembali, Jane. Aku hanya ingin itu,"
Jane membulatkan matanya terkejut. Richard menatap Vanilla yang kini berkaca seraya menunduk, mengaduk minumannya dengan asal.
"Dia menjanjikan itu padamu?"
"Ya, aku menikah dengannya karena aku ingin melihat lagi,"
"Dia begitu baik, bodoh!"
"Tidak, dia jahat. Seorang dokter seharusnya membantu dengan suka rela. Bukan meminta bayaran berupa sebuah pernikahan seperti ini. Kau tahu, dia benar-benar brengs*k,"
Richard menggeleng tidak setuju. Ia berdehem untuk mendinginkan suasana yang tiba-tiba saja memanas. Jane menatap sepupunya sangat tajam. Vanilla terlalu dibutakan oleh ketidak sukaannya dengan sosok Jhico sehingga tidak tahu apa yang dirasakan lelaki itu. Dia terjebak dalam argumennya sendiri.
"Dia mencintai kamu, Vanilla. Alasan itu hanya untuk menjadikanmu sebagai istrinya. Sebenarnya tanpa pernikahan pun Ia bisa mendapatkan kornea untukmu. Tapi karena dia sangat mencintai kamu, jadi apapun caranya pasti dilakukan agar kalian bisa bersatu atas nama Tuhan. Coba kamu pikir lebih jauh lagi,"
Jane mengangguk seraya memukul meja dengan pelan. Itu maksudnya, semoga Vanilla mengerti.
"Kalau kamu bukan perempuan yang dicintainya, sudah pasti dia akan membantumu untuk melihat lagi tanpa memaksamu untuk menikah dengannya. Tapi kamu berbeda dengan pasiennya yang lain. Karena cinta, dia terpaksa menjadi dokter yang jahat seperti apa katamu tadi,"
Richard dan Jane yakin kalau ucapan mereka tadi adalah sebuah kebenaran. Jhico tidak mungkin menjebak seorang perempuan dalam sebuah pernikahan dengan alasan 'aku akan memberikanmu mata' kalau dia tidak memiliki perasaan lebih pada Vanilla. Caranya memang salah, bahkan sangat salah karena dengan begitu semua orang pasti akan menilai Jhico sama seperti halnya Vanilla menilai lelaki itu. Mereka tidak tahu seberapa besar keinginan Jhico untuk hidup berdua bersama Vanilla sampai maut memisahkan.
*****
"Kenapa lama sekali baru pulang?"
Dante mengikuti arah yang ditunjuk keponakannya. Di sana ada dua anak yang wajahnya sangat mirip sedang menunduk, dan kaki salah satunya sedang berayun seperti sedang kebingungan.
"Menemani Adrian dan Andrean, Uncle. Mereka belum dijemput. Bagaimana kalau kita tunggu mereka dijemput dulu baru setelahnya kita pulang?"
Dante berpikir sejenak. Ia dan Jhico akan beranjak ke cafe secepat mungkin. Karena acara pun tidak lama lagi pasti dimulai.
Jhico menghentikan mobilnya tepat di depan gerbang sebuah sekolah. Ia berseru pada Dante yang sedang kebingungan sementara di dekatnya ada seorang anak laki-laki yang tengah menatap Dante.
Revin menunggu jawaban Dante. Ia berharap Dante menuruti keinginannya. Karena Andrean dan Adrian adalah sahabatnya. Kedua anak kembar itu kerap sekali menemani Revin bila teman-teman yang lain lebih memilih untuk sibuk sendiri dengan kegiatannya.
"Dan, keponakanmu sudah pulang?"
Dante menoleh terkejut. Ia mengangguk namun melirik Revin. Jhico tidak mengerti sehingga Ia memutuskan untuk turun dari mobilnya.
"Kalau begitu tunggu apa lagi? bisa kita berangkat sekarang? keponakanmu dibawa juga?"
"Uncle, mau pergi kemana?"
Jhico segera mengalihkan tatapannya pada Revin. Ia tersenyum hangat lalu mengacak pelan rambut anak laki-laki itu.
"Mau ke pesta. Kamu ikut?"
Revin menggeleng cepat. Ia memperhatikan wajah Jhico dengan seksama. Sepertinya Jhico tidak akan marah apa bila Ia meminta untuk ditunggu sebentar agar bisa menemani Andrean dan Adrian.
"Uncle, aku mau menemani kedua temanku yang belum dijemput. Bisa tunggu sebentar tidak? atau kalau kalian tidak bisa menunda, bagaimana kalau aku di sini saja bersama mereka..."
Jhico ikut memperhatikan kedua anak kembar itu setelah Revin menunjuknya.
"Nanti setelah selesai dengan urusan itu, segera jemput aku ya."
Jhico dan Dante tampak berpikir sebentar. Lalu tiba-tiba saja Jhico membawa Revin dalam gendongannya dan menghampiri kedua teman Revin. Dante mengikuti Jhico dari belakang.
"Kalian belum dijemput?"
Keduanya serentak mengangkat kepala. Dengan wajah suntuknya Adrian mengangguk. Sementara Andrean tampak waspada. Takut orang di depannya saat ini adalah penjahat. Tapi kenapa bersama dengan Revin?
"Bagaimana kalau Uncle antar ke rumah kalian? di sini sudah sepi. Takut terjadi hal yang tidak diinginkan,"
"Tidak, kami akan menunggu sampai Daddy datang,"
Adrian menatap tajam kakaknya. Ia sudah mengangguk tapi jawabannya ternyata tidak selaras dengan sang kakak.
"Lebih baik kita diantar Uncle ini saja. Kamu mau sendirian di sekolah? Hih, nanti ada hantu kamu lari terbirit,"
"Namaku Jhico dan ini Dante. Atau kalian sudah mengenal Dante?"
"Oh belum, Uncle. Revin punya dua uncle ya?"
Revin menggeleng polos. Karena Jhico bukanlah uncle-nya. Mereka baru kali ini bertemu. Mungkin karena keduanya terlihat dekat, jadi mereka menganggap bahwa Revin dan Jhico adalah Uncle dan keponakan.
"Ayo pulang. Aku bisa menjamin kalian sampai rumah dengan aman. Aku dan Dante bukan penjahat,"
*****
"Sudah berapa distro yang kamu datangi, Jane? kakiku sampai mau lepas rasanya,"
Richard mengeluh kesal. Seperti lelaki pada umumnya, Ia paling tidak suka bila diajak belanja seperti ini. Vanilla juga sama seperti Jane. Tidak kenal lelah dalam menjelajahi mall.
Sesekali Vanilla akan meminta pendapat Jane. Apakah baju yang di nilainya melalui indera peraba itu terlihat pas di tubuhnya.
"Kamu tidak sabaran sekali sih?! aku butuh waktu untuk berbelanja,"
Richard menghela napas kasar. Diberi tahu malah marah-marah. Butuh waktu katanya? hei, ini sudah hampir empat jam mereka pergi. Apakah masih kurang? perjanjiannya hanya untuk makan di sebuah restoran yang ada di mall. Dan itu hanya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam. Lebih banyak waktu untuk shopping daripada makan.
"Ya sudah kita pulang saja, Jane. Kasihan kekasihmu. Bisa buntung nanti,"
"Bukan hanya buntung kaki tapi buntung juga dompetku," seloroh Richard yang mengundang pukulan manja dari Jane. Ini hari jadi mereka sehingga Richard yang menanggung semua belanjaan Jane. Sementara Vanilla menolak untuk itu. Ia tidak berhak untuk menerimanya karena Richard bukanlah siapa-siapa.
---------
Gilsss 1.500 word nih. Mayan byk khaann? jangan pelit dukungan dungs ;)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 441 Episodes
Comments
Hesti Sulistianingrum
next..
2021-02-28
1
Sri Lestari
sesuai judulnya nilaku berarti jhico
2021-01-28
3
ARSY ALFAZZA
✔️✔️🌿
2020-10-31
2