Vanilla diam tidak mengerti. Keningnya mengerinyit dalam.
Jhico tersenyum seraya mengusap wajah Vanilla. Ia mengecup tempat dimana tangannya beraksi tadi.
Vanilla langsung menghapus jejak lelaki itu. Matanya tajam tapi malah menggemaskan di mata Jhico.
"Aku tahu sampai saat ini keluargamu belum ada yang bisa menemukan kornea yang cocok untukmu. Dan aku menemukannya,"
Tangan Jhico mengusap kelopak Vanilla hingga otomatis tertutup. Vanilla merasa terbuai dengan perlakuan lembutnya
"Tapi itu semua ada bayarannya,"
Vanilla mengerjap. Telinganya bisa menangkap suara dingin dan dalam milik Jhico yang kini menampilkan wajah datarnya. Sayang, Vanilla tidak bisa menyaksikan perubahan itu.
"Kamu harus menikah denganku. Setelah itu kamu akan bisa melihat lagi,"
Vanilla terluka untuk sesaat. Ia kira Jhico adalah orang baik. Jujur, mendengar kebaikan lelaki itu yang ingin memberikannya penglihatan lagi, Vanilla berniat meminta maaf telah berbuat kurang baik pada Jhico. Tapi saat ini Jhico telah mematahkan persepsinya.
Jhico memaksanya menikah disertai dengan embel-embel 'memberikan sepasang mata'. Vanilla kira 'bayaran' yang dimaksud Jhico adalah uang. Vanilla dengan senang hati memberikannya.
Ternyata lelaki ini tidak menyerah dalam menariknya masuk ke dalam pernikahan yang Ia ciptakan.
"Lebih baik aku buta seperti ini sampai kapanpun. Daripada harus menikah denganmu,"
Vanilla berjalan meninggalkan Jhico di tempatnya. Lelaki itu tersenyum miring dan kembali mengikuti gadis incarannya. Jhico tidak jahat, Ia hanya berusaha untuk meraih Vanilla yang keras kepala ini.
Ketika Vanilla akan menutup pintu kamarnya, Jicho menahan dengan keras. Lelaki itu tidak akan membiarkan Vanilla menolaknya mentah-mentah seperti ini. Harga dirinya sebagai lelaki merasa terluka diinjak-injak.
Vanilla mendorong pintu kamarnya sekuat tenaga. Namun saat ini gadis buta itu tidak beruntung. Jhico berhasil masuk ke dalam kamar Vanilla.
Vanilla bersiap ingin keluar namun Jhico kembali berbuat ulah hingga Vanilla yang terlampau kesal pun berteriak marah.
"Hei, jangan berteriak seperti itu, Nillaku. Mereka akan mengira kita telah melakukan sesuatu di sini,"
Vanilla meninju dada bidang Jhico yang tidak berarti apapun pada lelaki itu. Ia malah menikmati betapa ganasnya Vanilla saat ini.
"BRENGS*K KAMU! PERGI DARI SINI!"
Jhico terkekeh dengan tangan yang mengunci pintu kamar Vanilla agar gadis bermata biru itu tidak bisa pergi kemanapun.
Jhico duduk di atas ranjang Vanilla. Menatap sekelilingnya dengan pandangan menilai. Kemudian tersenyum begitu melihat foto masa kecil Vanilla.
"Kamu sudah menggemaskan sejak lahir ya?"
Vanilla masih diam di depan pintunya. Ia tidak bisa melakukan apapun. Vanilla bisa mendengar suara Jhico yang tidak lagi ada di dekatnya. Setidaknya itu membuat Ia bisa bernapas lebih lega.
"Kamu tidak berhak berada di sini, Jhico. Bisa kamu pergi sekarang?"
Jhico menggeleng walaupun Vanilla tidak bisa melihatnya. Ia berjalan mendekati Vanilla dan gadis itu langsung waspada begitu mendengar langkah ringannya.
"Aku membuatmu takut?"
Dengan tegas Vanilla menggeleng. Ia tidak mungkin jujur dengan apa yang dirasakannya sekarang. Lelaki itu akan semakin berbuat gila jika Ia mengangguk.
"Bagus, itu memang jawaban yang aku inginkan,"
Vanilla menghempas tangan Jhico yang mengusap tulang hidungnya sampai ke dagu.
"Kamu benar-benar kurang ajar! Aku kira kamu tidak seperti lelaki di luar sana. Menyentuh tanpa rasa segan,"
Jhico membalas ucapannya dengan ringan dan terlihat begitu percaya diri. Iya, percaya diri. Jhico yakin di sisi terdalamnya Vanilla masih menginginkan kesempurnaan yang membuat Ia mendapat begitu banyak pujian.
"Kamu akan terus seperti ini kalau tidak ingin menikah denganku,"
"Aku tidak peduli,"
Alis Jhico terangkat dengan senyum miringnya. Ia menatap wajah Vanilla tidak percaya.
"Benarkah? sebelumnya memang kita belum saling mengenal, Tapi--"
"Sampai saat ini dan selamanya kita memang tidak saling mengenal," Vanilla menyela ucapan Jhico.
Lelaki itu berdecak kesal. Ia bersedekap dada melihat Vanilla dari kaki hingga kepala.
"Aku tahu kamu begitu dipuja dulu. Kamu tidak menginginkan hal itu lagi?"
Vanilla menggiggit bibir bawahnya. Sungguh, ucapan Jhico membuatnya terlempar pada masa lalu yang sangat menjadikannya sebagai 'Ratu' dari segala hal. Mulai dari kecantikan, kekayaan, hingga Kesempurnaan.
"Kamu cantik, tapi sayang...."
Jhico mendekatan bibirnya pada telinga Vanilla untuk meluncurkan satu kata yang paling dibenci Vanilla dan sampai saat ini masih sulit diterimanya.
"Buta!" Tukas Jhico dengan tajam.
Setelah selesai dengan itu, Jhico mendapat dorongan kasar. Vanilla benar-benar terlihat murka sekarang. Ia mati-matian menahan bulir air mata di pelupuknya.
"Kamu menyakitiku, Jhico. Tadi kamu baik-baik saja padaku. Kamu tidak terima karena aku memperlakukanmu tidak baik sejak tadi?"
"Kamu tahu jawabannya, Nillaku. Pintar!"
Tangan kekarnya terulur untuk menepuk lembut puncak kepala Vanilla.
"Maka bersikaplah yang baik pada calon suamimu ini. Kalau tidak, kamu akan mendapatkan hal yang lebih menyakitkan daripada ucapanku tadi,"
*****
Jhico kembali ke apartemennya dengan perasaan risau. Ia dan kedua orangtuanya pisah mobil. Karena seperti biasa, Jhico lebih nyaman tinggal di apartemennya.
Suasana jalan yang lengang membuat Jhico semakin mudah dalam mengingat sikap brengseknya tadi. Sesulit itukah menjadikan Vanilla sebagai miliknya? Jhico terpaksa melakukan itu agar Ia bisa menikahi Vanilla. Ia mencintai Vanilla. Aneh memang, karena pertemuan mereka hanya berlangsung selama tiga kali. Namun cinta tidak bisa ditebak kapan datangnya. Jhico memang merasakan debaran itu sejak pertama kali mereka bertemu. Dimana Vanilla mendapatkan kehancuran dalam hidupnya.
"Ini caraku mendapatkanmu, Nillaku. Maafkan aku sudah menyakitimu,"
Dilihat dari tegasnya Vanilla tadi yang mengatakan kalau Ia lebih baik buta selamanya daripada menikah dengan Jhico, harapan Jhico semakin kecil. Ia tidak menyangka kalau Vanilla akan memilih hal itu. Karena sebelumnya Ia yakin penilaiannya terhadap Vanilla tidak mungkin salah. Vanilla adalah seorang gadis yang banyak dipuji, Jhico kira dengan rencananya itu, mereka bisa menikah. Sekarang Jhico menjadi gamang. Takut dengan penolakan yang kedua.
"Co, kau dimana?"
"Kenapa memangnya, Yon?"
"Datang ke apartemenku, Co. Kita sama-sama single, jadi malam Minggu ini mari habiskan waktu bersama,"
Jhico berdecak kesal. Segera Ia melempar ponselnya di atas dashboard. Ia kira ada hal penting yang ingin disampaikan Riyon padanya.
****
"Aunty dimana, Grandma?"
"Mungkin sudah tidur, Sayang."
"Yah, Aunty tidak ingin memberi salam perpisahan padaku?"
Dengan wajah suntuknya Adrian berada dalam gendongan sang ayah. Mereka akan segera pulang karena besok pagi Devan harus menjalani rapat.
Devan dan Lovi terpaksa membangunkan kedua anaknya yang sudah tidur itu. Kalau Devan tidak ada pekerjaan penting, mereka akan pulang besok siang.
"Nanti Grandma sampaikan salamnya. Kalian hati-hati pulangnya, ya. Besok ke sini lagi,"
Adrian segera menatap Lovi. Karena seingatnya Lovi tidak pergi ke butik besok. Sehingga Ia dan Andrean tidak diantar ke mansion.
"Lovi tidak ke butik sampai proses melahirkan, Ma."
Lovi menatap suaminya dengan pandangan protes. Baru beberapa kali datang ke butik, dan sekarang sudah dilarang. Padahal perkiraan kelahiran anak mereka masih dua Minggu lagi.
"Oh bagus itu. Jangan terlalu lelah lagi, Lovi. Sebaiknya persiapkan dirimu untuk proses melahirkan,"
*****
Jhico menekan bel beberapa kali namun belum ada jawaban dari dalam sana. Ia meraih ponselnya untuk menghubungi sang sahabat, Riyon, dokter spesialis yang mendalami ilmu kesehatan jiwa atau disebut sebagai psikiater.
"Cepat buka pintunya! kau mengundang tapi malah buat orang kesal!"
"Hah? kau datang?!"
Riyon yang sedang mengunyah kue kering pun buru-buru bangkit dari sofa. Didengar dari nadanya tadi, sepertinya Jhico sedang dalam kondisi hati yang tidak baik. Oh sepertinya akan ada topik pembicaraan yang seru di malam Minggu ini.
"Pakaianmu kenapa seperti ini?"
Riyon memandang aneh ke arah Jhico yang sudah masuk ke dalam apartemennya tanpa permisi. Ia pandang dari atas sampai bawah. Sepertinya Jhico baru saja pergi.
"Bersantai di luar saja. Aku bosan,"
"Kelab? ayo! hal yang paling ditunggu itu,"
Jhico melempar sepatunya dengan kesal. Berhubung Ia sedang membuka sepatu jadi saat kalimat itu keluar dari mulut temannya, tanpa basa-basi Ia melempar itu.
"Aku tidak mengatakan ingin ke kelab, bodoh! kita ajak yang lain, lalu ikut live music saja,"
"Dante dan Tiano sudah datang sejak tadi. Tapi mereka sedang pergi mencari makan,"
Jhico mengangguk lalu bersandar di atas sofa. Jhico memejamkan mata sebentar lalu terbuka kembali untuk menatap langit-langit.
Riyon yakin ada yang tidak beres dengan temannya yang tiba-tiba emosi ini. Sebelum Ia sempat bertanya, bel apartemennya kembali berbunyi. Dante dan Tiano masing-masing membawa satu paper bag berisi French fries dan chicken crispy.
"Jadi apa tujuanmu datang ke sini?"
Tiano melempar sedot minumannya ke arah Jhico yang sejak tadi diam saja. Biasanya selalu hangat menyambut teman-temannya yang baru datang.
"Bagaimana caranya untuk menghilangkan kekecewaan setelah ditolak?"
"Apa?"
Teman-temannya tidak mengerti dengan arah pembicaraan Jhico. Tiano bertanya mengenai alasan kedatangannya, kenapa jadi membahas 'penolakan'?
"Vanilla,"
"Oh, kamu sudah menyatakan perasaanmu?"
Sudah tidak asing mendengar nama Vanilla. Karena beberapa kali Jhico bercerita pada mereka mengenai gadis itu. Masih lekat dalam ingatan bagaimana antusiasnya Jhico ketika menceritakan pertemuan pertamanya dengan Vanilla.
"Sudah kedua kalinya, Dan." koreksi Jhico dengan kekehan kosongnya.
"Sudah aku bilang, seharusnya kamu melanjutkan kuliah dulu, kalau sudah kenal cinta jadinya seperti ini." Riyon yang lebih tua dari mereka semua mulai mengeluarkan pikiran dewasanya. Jhico, Dante, dan Tiano adalah adik kelasnya di fakultas. Mereka dipertemukan dalam kegiatan sosial yang dilaksanakan secara rutin oleh kampus. Walaupun sudah lulus lebih dulu, Riyon tetap aktif mengikuti acara-acara yang diselenggarakan pihak universitas sampai akhirnya tidak sengaja bertemu dengan Tiano, Dante, dan Jhico.
Jhico membutuhkan waktu untuk mempersiapkan dirinya sebelum melanjutkan pendidikan spesialis, namun rupanya rencana Tuhan tidak terduga sama sekali. Di tengah persiapannya itu, Ia malah dipertemukan dengan Vanilla.
"Kau ditolak?"
"Dia menolak, tapi orangtuanya tidak."
"Wah, kalau sudah keinginan orangtua biasanya akan terlaksana, Co."
"Semoga," harapnya dengan senyum tipis.
"Kalau Vanilla menolakmu lagi bagaimana?"
"Aku akan kembali pada niat awalku. Melanjutkan pendidikan spesialis,"
"Gila, karena cinta, seorang Jhico yang terkenal dengan ambisiusnya bisa menunda kelanjutan kuliah. Sehebat apa gadis itu?"
"Dan kalau Vanilla menerimamu, kuliah bagaimana? tetap lanjut?"
Jhico mengangkat bahunya tidak tahu. Jawaban Vanilla saja sudah membuat kadar percaya dirinya turun drastis, jadi Ia tidak bisa menjawab pertanyaan Dante.
"Kalau kalian menikah, jangan lanjut dulu mungkin, Co. Karena kehidupan pernikahan tidak semudah yang dibayangkan. Kau harus membagi waktu untuk belajar, dan istrimu."
Jhico mengangguk paham. Memang itu yang ada dipikirannya sedari awal. Karena sejujurnya Jhico tidak siap bila harus menjalani keduanya dalam waktu yang bersamaan. Pasti akan sangat sulit, dan Jhico takut gagal.
"Kalau Vanilla menolakmu lagi, itu artinya Tuhan ingin kau fokus dengan kuliah dulu. Jangan dijadikan beban, Co. Perempuan di dunia ini banyak. Setelah kau menjadi dokter spesialis, akan semakin banyak wanita yang mengejarmu,"
----------
HALOO GAYSSSSS. GK NYANGKA ADA JG YG SUKA SM NOVELNYA SI VANILLA HEHEHE. TERIMA KASIH YAAA UNTUK DUKUNGANNYA. SEMUA VOTE, LIKE, KOMEN KALIAN SANGAT BERHARGA BGT BUAT AKU🤗💙
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 441 Episodes
Comments
Aljadin
👍👍
2021-08-11
0
loyalty😎
visualnya dong thor
2021-03-02
0
Hesti Sulistianingrum
next
2021-02-26
0