Keynie terkejut begitu Deni pulang dari kantornya dan langsung mengajak Ia untuk bertemu sahabatnya, Devan, yang baru saja memperoleh anak ke tiga.
Hal yang sangat ditunggu-tunggu oleh Deni. Karena alasan itu bisa membuat Ia bertemu dengan Vanilla.
"Deniele, mansion siapa ini?"
"Kita akan bertemu dengan Devan. Jadi menurutmu ini mansion siapa?"
Deni bertanya dengan jengah. Ia segera keluar dari mobil dan berjalan menelusuri pekarangan mansion tanpa menunggu Istrinya yang berusaha menyesuaikan langkah dengan sedikit kesulitan. Deni seperti remaja yang tidak sabar bertemu dengan kekasihnya.
"Oh inikah Istrimu? cantik sekali, Deni." Lovi menyambut mereka dengan senyum. Beruntung Raihan masih ada di kamarnya sehingga kalimat yang Ia dengar pertama kali bukan perkataan tajam.
Lovi membawa sepasang suami istri itu ke living room lalu setelahnya meminta pelayan untuk menyajikan hidangan untuk mereka. Kemudian Ia memanggil Devan yang berada di kamar bersama dengan ketiga anaknya.
"Dimana Devan? dan---Vanilla?"
Keynie menoleh bingung saat nama itu didengarnya untuk yang kesekian kali. Yang Ia ingat Devan pun pernah menyebutnya saat mereka tidak sengaja bertemu di sebuah kafe.
"Vanilla sedang pergi bersama calon suaminya. Devan di kamar. Akan aku panggilkan,"
Raut Deni berubah masam. Sial! sudah sejauh apa hubungan adiknya dengan calon suaminya itu? Deni juga belum pernah bertemu dengan lelaki beruntung itu. Apakah mereka sering pergi berdua seperti ini?
Berbagai pertanyaan langsung berputar di kepalanya. Ia tidak seantusias tadi. Rupanya waktu yang Ia pilih kurang tepat.
"Dad, kenapa Auris selalu mengeluarkan air dari mulutnya? itu menggelikan, Dad."
Devan berdecak seraya menatap Adrian dengan tajam. Andrean menarik daun telinga adiknya yang sudah terlampau menyebalkan ini.
"Ya namanya anak bayi pasti begitu. Kamu saat kecil juga tidak ada bedanya. Kenapa harus berkomentar terus?!"
Lovi masuk ke dalam kamar membuat ketiga laki-laki berbeda generasi itu menoleh.
"Ada Deni dan istrinya di bawah. Mereka ingin melihat Auris. Ayo kita turun,"
"Ada Uncle Deni?! Wah aku harus menagih janjinya yang akan membawakan kereta Thomas untukku bila datang lagi ke sini,"
******
"Aku mau pakai di toilet saja,"
Jhico merutuki otaknya yang mendadak bodoh. Ia hampir saja menyentuh paha calon istrinya karena terlalu khawatir. Jhico mencari obatnya tidak lama, namun yang membuatnya harus menghabiskan waktu lebih banyak adalah saat Ia harus mencari mobilnya yang entah ditempatkan dimana oleh pihak kafe. Ia dan Dante datang saat acara sudah di mulai sehingga membuat keduanya panik. Akhirnya memposisikan mobil tidak beraturan lalu memberikan kuncinya pada pihak kafe yang ditugaskan untuk mengatur letak mobil.
"Ayo, aku antar."
Jhico menggenggam tangan Vanilla namun secepat kilat gadis itu menolak. Ia menatap Vanilla dengan datar lalu berkata dengan dingin, "Kalau tidak aku genggam tanganmu, memang bisa berjalan sendiri ke toilet?"
Vanilla seolah ditampar oleh kenyataan. Jhico tidak ada maksud untuk membuat gadis itu bersedih, Ia hanya melakukan sesuatu yang seharusnya Vanilla pahami tujuannya.
Susana hati Vanilla masih belum baik-baik saja setelah mendengar ucapan yang dilontarkan sosok tadi. Dan sekarang Jhico menambah kadar emosinya.
Jhico memastikan gadis itu masuk ke dalam salah satu bilik, baru setelahnya Ia menunggu di luar.
Vanilla tidak begitu merasakan perih di lukanya. Karena green tea yang mengenai kulit pahanya tadi hanya hangat. Ia sangat bersyukur karena kulitnya tidak mengalami luka yang serius. Ia tidak ingin ada drama lagi setelah ini dimana Jhico akan membawanya ke rumah sakit. Vanilla benar-benar ingin pulang sedari tadi. Namun Ia masih memahami apa itu artinya 'menghargai'.
Mereka juga datang terlambat. Sehingga membuat Vanilla harus berpikir ulang sebelum mengajak Jhico pulang.
Jhico kembali masuk ke dalam lorong di antara beberapa bilik toilet lalu mengetuk pintu dimana Vanilla berada.
Beberapa perempuan di sana menatapnya aneh sehingga membuat Jhico benar-benar malu. Menurutnya Vanilla terlalu lama. Jhico merupakan laki-laki yang kurang suka dibuat menunggu terlalu lama. Apa lagi di sekitarnya lebih banyak perempuan seperti ini. Sehingga Jhico sangat tidak nyaman.
"Nillaku, sudah belum?"
Jhico langsung membungkam mulutnya yang baru saja memanggil Vanilla seperti itu di hadapan para perempuan di sana yang langsung tersenyum layaknya panggilan itu untuk mereka.
Vanilla keluar dan mengangkat alisnya saat Jhico langsung menarik tangannya agar segera keluar. Ia mengikuti langkah Jhico yang membawanya ke kursi dimana mereka duduk tadi.
"Kamu lupa kalau aku buta? kamu sadar tidak kalau aku kesulitan mengikuti langkah kakimu itu?" sarkas Vanilla setelah Ia duduk. Jhico mengusap kepala Vanilla seraya bergumam 'maaf'
"Yang tadi itu siapa?"
"hm? siapa maksudmu?"
"Rupanya dia sudah pergi sebelum Jhico datang,"
Vanilla bertanya mengenai orang tadi yang mengomentari dirinya dalam hidup Jhico dengan kejam. Tapi sayangnya Jhico tidak bertemu dengan sosok itu. Dia sudah pergi sebelum Jhico tahu perilaku kurang ajarnya.
****
"Tempatnya sudah siap,"
"Lagi-lagi aku terlambat," Karina mendengus kesal saat niatnya yang ingin memilihkan tempat untuk berlangsungnya acara pernikahan putranya dengan Vanilla malah kalah cepat dengan Hawra, Ibunya.
"Kamu tidak senang dengan keputusan anakmu ya?"
"Maksud Ibu?"
"Kamu tidak seperti Orangtua pada umumnya yang dengan suka rela menghabiskan waktunya untuk mempersiapkan segala perlengkapan anaknya yang akan menikah,"
Karina mengusap wajahnya dengan gusar. Ia sudah terbiasa hidup seperti ini. Dan Jhico seolah mendukung apapun yang dilakukannya selama ini. Dimana hidup masing-masing adalah pilihan yang tepat walaupun mereka adalah orangtua dan anak kandung.
"Jhico juga tidak peduli dengan semua yang aku lakukan,"
"Dia peduli dan sedang berharap kamu dan Thanatan bisa lebih memberinya perhatian tanpa harus Ia yang memancing. Jhico bukan lagi anak kecil, Karina. Dia sudah tumbuh menjadi laki-laki yang mandiri. Jhico bisa mengurus semuanya. Tapi kapan kamu bisa melakukan tugas sebagai orangtua dengan baik? walaupun dia terlihat tidak butuh bantuan kamu dan Thanatan, setidaknya tunjukkan kepedulian kalian padanya,"
Karina menunduk dengan mata berkaca. Mereka bertiga diciptakan dengan kepala yang sekeras batu. Karina mengakui kalau Ia bukanlah sosok Ibu yang baik. Ia tidak bisa mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya secara utuh untuk Jhico sejak anaknya itu masih kecil. Dulu karena kesibukan. Sekarang pun sama, tapi ego lebih mendominasi keduanya. Tahu bahwa Jhico bisa hidup tanpa mereka, menimbulkan perasaan sesak sekaligus emosi yang tidak bisa digambarkan secara jelas.
"Pernikahannya tinggal beberapa hari lagi. Bagaimana mungkin kamu berpikir mengenai tempat acara baru sekarang? sangat terlambat, Karina."
Hawra yakin kalau Karina hanya sekedar basa-basi. Ia pasti tahu kalau semuanya sudah hampir selesai. Ia sedang berusaha menjadi Ibu yang sedikit ikut campur dalam acara yang begitu penting di hidup anaknya.
"Jujur pada Ibu. Kalian bahagia dengan keputusan Jhico?"
"Bahagia, Bu. Aku dan Thanatan sangat bahagia saat Jhico memilih Vanilla sebagai pelabuhan terakhir dalam percintaannya,"
"Tapi sikap kalian tidak menunjukkan itu, Karina."
"Kami akan tetap seperti ini pada Jhico. Karena anak itu juga tidak pernah sekalipun melihat usaha kami,"
"Tidak pernah melihat? memang apa yang kalian tunjukkan padanya? perlu Ibu ingatkan seberapa sering kalian tidak berada di samping Jhico saat Ia membutuhkan kalian?"
Karina lagi-lagi ditampar oleh kalimat Hawra yang akan selalu berada di pihak Jhico. Ia mengaku sudah banyak melakukan kesalahan. Tapi usaha untuk memperbaiki pun sudah sering dilakukan olehnya dan suami. Tapi Jhico selalu menutup diri seolah Ia tidak butuh keluarga dalam hidupnya. Apakah rasa sakit itu sudah begitu dalam hingga mendarah daging? Sangat sulit untuk mengembalikan sosok Jhico yang begitu memperhatikan kedua orangtuanya. Anak laki-laki yang selalu bertanya Mengenai hal-hal kecil namun berhasil membuat Karina dan Thanatan merasa sangat disayangi.
"Mama dan Papa sudah makan?"
"Jangan terlalu lelah bekerja ya, Ma. Nanti kalau Mama sakit, Jhico sedih."
"Pa, hari libur seperti ini jangan bekerja. Lebih baik istirahat,"
*****
Raihan lebih banyak berbicara dengan Keynie daripada Deni yang sejak tadi terlihat tidak nyaman lagi berada di mansion padahal Ia sendiri yang mengatakan ingin menunggu Vanilla pulang.
"Kalian sempat menjalin hubungan berapa lama?"
"Hampir tiga tahun,"
Raihan tersenyum miring setelah Keynie mengatakan itu. Ia melirik Deni yang sudah bergelut dengan ponselnya.
"Bisa juga dia menjadi kekasihmu selama itu. Aku kira hanya sehari, mengingat suamimu ini adalah laki-laki yang hobi berganti wanita,"
Devan yang juga berada di sana langsung terbahak seolah lupa dengan dirinya sendiri. Ia tidak jauh berbeda dengan Deni. Setiap malam selalu membutuhkan wanita berbeda namun tentunya dengan kualitas yang sangat tinggi. Bukan sekelas perempuan penjaja yang dengan mudah menyerahkan semuanya pada semua laki-laki sehingga mereka mendapatkan barang bekas orang lain. Devan dan Deni tidak semudah itu untuk dibodohi.
Deni menganggap suara Raihan adalah milik makhluk halus. Ia mengabaikan keadaan sekitarnya dan lebih memilih untuk menghubungi Vanilla. Dua panggilan tidak diangkat. Dan yang ketiga, Ia mendapat jawaban tapi bukan suara Vanilla. Melainkan keramaian yang begitu mengganggu telinganya.
"Ada yang menelponmu," dua detik kemudian ada suara berat lelaki yang menghampiri telinga Deni. Rahangnya mengeras seketika saat menyadari bahwa ada kemungkinan dialah calon suami Vanilla.
"Siapa?"
"Deni,"
percakapan singkat itu singgah di telinganya. Saat ini Ia sudah menjauh dari Raihan, Keynie, dan sahabatnya. Deni duduk di kursi yang berada di dekat pekarangan.
"Deni, ada apa?"
Wajah Deni menggelap. Setelah dua kali Ia menghubungi, dan baru kali ini dijawab. Itupun ada suara laki-laki yang mendahului suara Vanilla sehingga ada emosi yang tidak jelas asalnya darimana. Seharusnya Ia cukup bahagia karena Vanilla menjawab panggilannya.
"Kamu dimana?"
Ponsel itu masih berada di tangan Jhico sehingga lelaki itu tahu apa yang sedang dibicarakan Deni yang sampai saat ini tidak Ia ketahui statusnya dalam hidup Vanilla.
"Sebentar lagi aku pulang," Vanilla tidak menjawab pertanyaannya dengan tepat. Tidak ada yang perlu didengar lagi. Sudah jelas kalau sebentar lagi Vanilla pulang. Gadis itu juga tidak ingin berbicara lebih banyak bahkan memilih bungkam saat Deni bertanya mengenai keberadaannya.
"Siapa lagi Deni? Astaga, banyak sekali sainganku, Nilla. Tapi aku yakin kalau kamu hanya milikku. Mereka semua tidak ada yang seberani aku bukan? meminta kamu menjadi istri padahal baru bertemu tiga kali,"
Jhico menatap layar ponsel Vanilla. Ia mengusap bawah mata Vanilla lalu bangkit. Ia membawa tangan Vanilla dalam genggaman untuk berpamitan pada ketiga sahabatnya. Kali ini ia tidak bisa hadir sampai pesta selesai. Karena ada Vanilla yang harus Ia bawa pulang secepat mungkin sebelum dua singa jantan yang menjaganya mengamuk.
---------
LIKE & VOMENT DUNGSS JGN LUPAA YAKK. OKRAY? TENCU😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 441 Episodes
Comments
Ida Koehuan
blm bisa bedain mana ponaan, anak dan orgtua, semua sama, adrian seolah" sdh dewasa jd sulit bedakan
2021-05-14
2
Herliana Ginting
terlalu banyak pemeran nya.
2021-03-25
1
Hesti Sulistianingrum
msh nggak hbis pikir sm si Deni.. si muka Tembok dn g punya hati🤦♀️
2021-02-28
0