"Bagaimana pertemuan kalian semalam? Aku harap tidak seperti sebelumnya,"
Jane yang baru datang dari rumah orangtuanya pun langsung masuk ke dalam kamar Vanilla dan duduk di atas ranjang memperhatikan Vanilla yang sedang menyisir rambutnya.
"Lebih dari itu, asal kamu tahu."
Mata Jane membulat begitupun mulutnya. Ia kira akan ada kabar baik setelah ini. Nyatanya...
"Dia lebih brengs*k dari yang aku duga,"
Kaki Jane naik ke atas ranjang. Ia menatap Vanilla dari cermin. Jane bersiap untuk mendengarkan cerita selanjutnya dari Vanilla.
"Maksudmu? Dia melakukan sesuatu padamu? Kenapa kamu mengatakan lebih brengs*k? Aku rasa tidak ada yang sebreng*k Devan,"
Vanilla menoleh Ia melayangkan tatapan tajam di matanya yang kurang sempurna.
"Dia menciumku padahal baru tiga kali bertemu. Menurutmu sebutan apa yang tepat untuk laki-laki seperti dia?"
"APA?! DIA MENCIUMMU?"
Vanilla menggumam malas menjawab secara jelas. Karena Ia sendiri jijik ketika ingin menceritakannya. Namun Jane harus tahu kalau lelaki yang selama ini Ia kira baik dan pantas dengan Vanilla adalah sosok yang berbeda jauh dari penilaiannya.
Ingatan Jane terlempar pada saat Ia menghadiri pesta ulang tahun Jhico. Walaupun terlambat, tapi Ia bisa melihat dengan jelas gerak-gerik lelaki itu terhadap kehadiran Vanilla.
"Dia baik, aku bisa melihat itu saat di pesta ulang tahunnya beberapa minggu lalu,"
"Tapi semua itu tidak benar, Jane! Dia menciumku. Mencium perempuan buta sepertiku, terdengar sangat bodoh bukan? Dan dia melakukannya,"
Jane menghela napas pelan. Ia tidak bisa melihat sepupunya direndahkan seperti itu. Kalau saja Ia ada saat makan malam itu berlangsung, maka sudah dipastikan Jhico akan pulang dengan wajah hancurnya.
"Aku tidak menyangka," ujarnya lirih. Jane menunduk memilin bed cover yang ditindih kakinya.
"Papa dan Mama mengetahui semuanya. Tapi tanggapan mereka biasa saja. Aku kesal, Jane."
Rena memasuki kamar Vanilla setelah memastikan putranya pulang. Ia menemukan Vanilla yang sudah nyaman dalam balutan selimut.
Rena tahu putrinya belum tertidur. Karena ada getar halus di bahunya. Menandakan gadis itu sedang bersedih.
"Vanilla, apa yang membuatmu seperti ini?"
Vanilla diam dan menghentikan Isak tangis pelannya. Memilih untuk berpura-pura tertidur.
Ia bisa merasakan Rena naik ke atas ranjangnya dan mengusap kepala Vanilla.
"Maafkan Jhico kalau dia baru saja menyakitimu,"
Saat itu juga Vanilla ingin berteriak menjelaskan apa yang baru saja dilakukan lelaki yang dianggapnya memiliki topeng itu. Agar orangtuanya tahu kalau Jhico bukanlah lelaki bak malaikat.
"Mama dan Papa tahu apa yang kalian lakukan tadi. Mungkin dia terlanjur frustasi karena penolakanmu,"
Vanilla akhirnya membuka mata. Ia menatap Rena yang duduk di dekatnya. Segera Vanilla bangkit dari pembaringannya.
"Tenang... Papa sudah memberi pelajaran untuknya. Ya walaupun hanya satu tonjokan,"
Rena tersenyum tipis mengingat kejadian tadi. Dimana begitu Jhico turun, Raihan memberi sambutan berupa satu kepalan tangan yang dilayangkan dengan sengaja. Tidak ada Yang marah saat Raihan melakukan itu. Bahkan Thanatan pun tampak mendukung.
Karena memang yang dilakukan Jhico adalah sebuah kesalahan. Devan bahkan hampir maju untuk meluapkan kekesalannya juga.
Tidak ada yang terluka karena Raihan melakukannya setengah hati. Bahkan setelahnya Ia memeluk Jhico yang semakin hancur. Setelah mendapat penolakan dari Vanilla, Ia juga mendapat pelajaran dari Raihan, selaku orangtua Vanilla.
"Aku setuju bila Vanilla menikah denganmu. Aku tahu betul seberapa sakitnya penolakan itu. Aku bisa melihatnya, dan itu artinya kamu memang tidak main-main dengan perasaanmu sendiri,"
Vanilla meletakkan sisirnya kembali lalu meraih tongkatnya untuk berjalan mendekat pada Jane.
"Mungkin kamu juga menikmatinya, jadi Uncle Rai dan Aunt Rena tidak masalah,"
Vanilla mencari-cari bantal lalu ketika dapat, tanpa basa-basi Ia langsung melempar bantal tersebut pada Jane yang sudah terbahak.
"Sialan! Aku tidak---"
"Aku tahu betul bagaimana sepupuku yang satu ini. Dia begitu lihai dalam berciuman. Renald saja di cium sembarangan,"
"JANE, DIAM!"
Jane semakin semangat menggoda gadis itu. Ia menghindari lemparan guling Vanilla kali ini. Vanilla mendesah kesal saat tidak tepat sasaran. Kalau saja Ia bisa melihat sudah pasti Ia menghajar wajah Jane tanpa ampun.
Sayangnya, ketika Jane berlari keluar dari kamarnya saja Ia tidak mampu mengejarnya.
**********
Sore ini Devan datang ke mansion untuk meminta Rena tinggal sementara di rumahnya. Menjelang kelahiran anak ketiganya, rasa khawatir Devan semakin meningkat. Dan bila hanya mengandalkan Senata, Devan khawatir Ibu dari Istrinya itu tidak kuat. Mengingat yang dijaga bukan hanya satu anak melainkan dua. Sementara yang siap siaga di rumah sakit nanti adalah Devan.
Sampai saat ini belum ada tanda-tanda Lovi akan melahirkan. Sehingga Devan masih bebas pergi ke kantor. Sebab itu juga ia membutuhkan kedua Mamanya sebagai sumber berita mengenai kondisi Lovi selama di rumah.
"Devan, antar adikmu. Aku ingin jalan-jalan bersama Richard,"
Sepenting apa Richard itu sampai Jane tidak ingin menemani Vanilla yang ada kelas sore ini sampai jam delapan malam nanti.
"Kamu saja yang mengantarnya. Aku lelah,"
"Enak saja! Cepat antar Vanilla!"
"Kamu hanya jalan bersama dengan kekasih bayangan,"
"Sial*n! Itu tidak ada urusannya denganmu,"
"Kamu tidak diakui sebagai kekasih, Jane. Masih saja berharap lebih,"
Usai mengatakan kalimat tajam itu Devan melenggang santai. Jane bersungut-sungut di tempatnya.
"AKU ORANG PALING BAHAGIA KETIKA KAMU DICERAI LOVI. KAMU TAHU?!"
Devan mendengar teriakan sepupu gilanya yang dulu begitu mengharapkannya. Devan memilih untuk tidak menjawab, karena kalau Ia melakukannya maka Ia sama saja dengan Jane. Gila.
Vanilla datang dari arah ruang keluarga. Bertepatan dengan kedatangan Devan di sana.
"Kenapa mantanmu itu teriak-teriak?"
Devan bergidik ketika Vanilla mengatakan itu. Ia mendorong Vanilla yang menghalangi langkahnya menuju sofa.
"Vanilla jangan menggangguku!" Geram Devan karena Vanilla tidak juga menyingkir. Vanilla malah menggantungkan tangannya di udara untuk merangkum wajah Devan. Ketika berhasil, Ia tersenyum lebar. Devan yakin pasti ada sesuatu yang diinginkan gadis ini. Tidak biasanya Ia bersikap manis pada Devan.
"Antar aku ke kampus ya. Setelah itu temani aku belanja. Kamu bisa menungguku--"
"Tidak! Apa-apaan kamu ini? Aku lelah, baru pulang dari bekerja. Dimana Mama? aku ingin mengajaknya menginap di rumahku,"
Vanilla berdecak seraya meluruhkan bahunya. Ia menatap Devan dengan raut memohonnya. Mata biru itu berkedip lucu membuat Devan tersenyum. Kalau sudah begini, Devan tidak akan bisa menolak keinginan adiknya.
"Ayolah, antar aku kuliah lalu tunggu sampai selesai. Setelah itu temani aku belanja. Devan, mau ya?" Suara lirihnya semakin membuat Devan yakin untuk mengusir rasa lelahnya setelah seharian ini bergelut dengan pekerjaannya.
Semenjak peristiwa yang menyebabkan Vanilla terluka hebat, Vanilla berubah menjadi sosok yang tertutup. Tidak ada lagi keangkuhan dari setiap ucapan dan sikapnya. Hanya kalimat lirih yang bermakna sesal karena dirinya yang buta.
Vanilla berubah drastis. Ia tidak lagi berani merendahkan orang karena Ia merasa dirinya sendiri sudah sangat rendah.
Vanilla jarang terlihat berekspresi. Tidak pernah ada senyum di wajahnya. Sejak awal memang seperti itu, tapi kali ini semua orang justru lebih memilih melihat Vanilla yang menampilkan raut jahat daripada hanya datar. Para pelayan merasa kasihan, dan rindu dengan Vanilla yang dulu.
Tak berbeda jauh dengan Devan saat ini. Ia bahagia ketika Adiknya memiliki pemintaan padanya. Ia sedikit menyesal karena tadi menolaknya.
Sekarang dengan semangat menggebu Ia menepuk wajah Vanilla pertanda Ia sangat senang. Namun yang dilakukannya itu malah membuat Vanilla memekik kesakitan. Tangannya terlalu kencang ketika menepuk wajah Vanilla.
"Maaf-maaf, aku tidak sengaja,"
Devan meringis begitu menyadari kalau wajah adiknya sedikit memerah. Ia ingin memberi usapan di sana namun tangan Vanilla menutupi.
"Hei, Vanilla maafkan aku. Sumpah aku tidak--"
"Ada apa ini? Kenapa bersumpah, Devan?"
Raihan mengerinyit ketika melihat kedua anaknya yang sedang berhadapan. Vanilla yang sedang menunduk seraya menutup wajahnya pun mengangat kepala.
"Pa, aku tidak sengaja menyakiti wajah Vanilla," aku Devan. Walaupun Ia menyesal, tapi rautnya tetap saja dingin.
"Ya Tuhan, kalian ada-ada saja. Obati kalau terluka, Vanilla."
Raihan ikut melihat wajah putrinya yang masih ditutupi dengan tangannya. Begitupun Devan yang langsung menunduk untuk mengetahui keadaan wajah cantik Vanilla. Barangkali sudah ada darah di sana walaupun sebelumnya Devan sempat melihat hanya kulitnya saja yang berubah warna.
"Tidak luka. Hanya sedikit memerah," jawab Vanilla dengan senyum hangatnya. Dua orang dibuat terpaku dengan garis bulan sabit di bibir Vanilla itu.
Dulu, disentuh sedikit saja, Vanilla pasti mengamuk. Gadis itu tidak pernah bisa menerima kesalahan orang lain.
---------
HALOHAA KETEMU LG SM AKYUU. PENGIN TAU DONG ALASAN KALIAN MAU BACA 'NILLAKU' INI KRN APA? GK PERNAH BOSAN BILANG MAKASIH BUAT KALIAN SEMUA YG UDH DUKUNG AKU MULAI DARI NOVELNYA SI DEVAN, LEVIN, SAMPAI JINO. KALIAN WARBIASYAAH💙💙
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 441 Episodes
Comments
Meta Lia
lanjut ya,,,,!
2021-02-18
0
Ati Ati
thor klu yebut orang tua tuh harus sertakn .ayah .ibu biyar kita gk bingung..mn anak ..mn orang tua
2021-02-04
7
ARSY ALFAZZA
🐾🐾🌸🌸🌸
2020-10-23
0