Suasana mansion menjelang malam seperti ini memang akan terasa sepi. Devan dan Lovi sedang bersama anak-anaknya di atas. Sementara Raihan belum kembali dari kantornya.
Vanilla baru saja diantar Renald pulang dan butuh usaha yang keras agar lelaki itu diizinkan masuk oleh para penjaga di mansion. Semuanya seolah sudah diatur oleh Raihan agar tidak mudah percaya dengan Vanilla.
Sepanjang waktu kebersamaan mereka, Vanilla selalu berusaha untuk mengatakan sesuatu. Tentus aja pernikahannya. Namun sangat sulit, karena Vanilla tidak mau Renald menjauhinya. Ia masih menyayangi lelaki itu. Tidak siap bila Renald memilih untuk pergi setelah mengetahui fakta baru tersebut. Mereka belum bersatu, namun sudah ada jurang pemisah. Menyedihkan sekali percintaannya.
Setelah Devan mengusir Renald secara halus, Vanilla tahu bahwa hanya Ia yang mengharapkan Renald saat ini. Sebelumnya, Renald selalu diperlakukan baik oleh keluarganya. Karena mereka tahu bahwa Renald adalah laki-laki yang baik. Renald yang belum mengenal Raihan justru bersikap jujur dengan mengembalikan kunci mobil Raihan yang terjatuh. Saat Raihan jatuh pingsan secara tiba-tiba, dia adalah orang yang membawa Raihan ke rumah sakit bahkan mengantarnya ke mansion juga.
"Ma, aku belum bisa melupakan Renald."
Setelah Rena kembali ke mansion setelah pergi bersama Lovi dan Senata, Vanilla langsung mengatakan kejanggalan hatinya.
"Bagaimana bisa lupa kalau kamu terus-menerus berdekatan dengan dia? Mama tahu, kalian selalu bertemu," Rena tidak bisa menimpali ucapan putrinya dengan kalimat yang lembut lagi. Vanilla terlalu labil untuk perempuan seusianya. Seharusnya Ia bisa berdiri dengan tegap di atas pilihannya sendiri. Tidak seharusnya menyakiti dua hati yang tidak bersalah sedikitpun.
"Dia bekerja di kampusku. Jelas saja kami selalu bertemu,"
Kesalnya seolah dipancing agar semakin keluar maka Rena menantang Vanilla.
"Besok kamu tidak akan kuliah di sana lagi,"
"Ma--"
"Apa?! itu alasanmu masih dekat dengan Renald bukan? kamu membuat keluarga ini malu, Vanilla. Kamu pikir Jhico tidak bisa mencari perempuan yang lebih baik dari kamu? dia bisa, tapi hatinya memilih kamu! kenapa kamu tidak mengerti juga?"
*****
"Belum ada niat untuk lanjut pendidikan spesialis?" pimpinan bertanya pada Jhico di tengah ramah tamah usai rapat.
Suasananya begitu hangat. Sesama rekan sejawat menikmati kebersamaan dengan berbagi cerita yang di dalamnya terdapat canda dan tawa.
"Aku lupa sebentar lagi kau menikah,"
"Nanti dibicarakan lagi dengan Istriku," Sampai di kalimat terakhirnya, Jhico menahan senyum. Ia berusaha terlihat biasa saja ditengah dentuman jantungnya yang tidak biasa.
"Kalau sesama dokter, dia pasti mengerti,"
Jhico hanya bisa tersenyum tipis. Semua rekannya tahu bahwa Ia akan menikahi seorang gadis yang belum selesai kuliah.
Saat Jhico mengundang rekan-rekannya untuk datang ke pesta pernikahannya nanti, mereka langsung bertanya mengenai profesi Vanilla. Setelah mereka mengetahuinya, tentu saja Jhico diserbu dengan pertanyaan yang sama. 'Kenapa tidak menikahi dokter juga? padahal banyak dokter cantik yang mengejarmu. Setidaknya dia akan mengerti dengan kesibukanmu.
Tidak bisa dipungkiri bahwa hampir sebagian dari rekan sejawat Jhico adalah dokter-dokter yang sudah memiliki pengalaman mengenai kehidupan pernikahan. Hal yang selalu menjadi momok menakutkan untuk sebagian besar istri mereka adalah kesibukan suaminya sebagai dokter. Dan kebanyakan mereka yang mengalami itu bukan berasal dari kalangan tenaga medis juga. Di awal pernikahan selalu ada perdebatan seolah mereka menikah tidak disertai dengan persiapan mental. Padahal sebelum memutuskan untuk menikah, keduanya pasti sudah meyakinkan diri terlebih dahulu, dan berjanji untuk mengerti akan kesibukan pasangan. Ketika dijalani semuanya mengaku kesulitan.
Jhico mendapat berbagai pelajaran dari teman-temannya yang sudah menikah. Ia berharap tidak ada lagi perdebatan semacam itu diantara Ia dan Vanilla.
"Apapun profesinya nanti, Kalian harus bisa mengendalikan diri masing-masing. Nanti bukan hanya kesibukan saja yang kalian ributkan. Percaya padaku. Oleh sebab itu jangan egois juga. Kau ingin dimengerti, maka mengertilah dia. Begitupun sebaliknya,"
"Memang calon istrimu bekerja dimana kalau boleh tahu?"
Denaya duduk di samping Jhico setelah Ia mengambil minum di meja prasmanan. Ia tidak canggung sama sekali berada di tengah banyaknya laki-laki. Denaya memang lebih banyak memiliki teman laki-laki. Di rumah sakit, Denaya jarang berbicara dengan rekan sesama perempuan. Pembawaan Denaya memang santai, sehingga membuat Jhico suka padanya, dulu.
Ia tertinggal jauh dalam mengetahui hidup Jhico yang sekarang. Ia tahu tentang pernikahan Jhico dari teman sejawatnya. Jhico tidak buka suara sama sekali. Padahal mereka sudah menjadi teman.
"Dia yang hadir saat pesta ulang tahun Tiano ya?"
******
Dosennya keluar setelah mengucapkan salam perpisahan dan Vanilla langsung menghela napas lega.
Saat Ia meletakkan kepalanya di atas meja, Joana datang untuk menjadi teman curhatnya. Joana tahu betul bagaimana tidak sukanya Vanilla terhadap mata kuliah yang baru saja mengisi waktu mereka.
"Aku tidak mendengarkan dosen bicara sedari tadi,"
kejujuran yang diucapkan sahabatnya membuat Joana terbahak. Ia memindahkan kursinya ke samping Vanilla agar bisa bicara lebih dekat.
"Vanilla, aku ingin cerita sesuatu padamu,"
Vanilla mengangguk lalu duduk dengan tegap, mempersiapkan diri untuk mendengarkan sesuatu dari Joana.
Joana berdehem sebentar lalu Ia terkekeh tiba-tiba. "Kenapa jadi tegang seperti ini ya?" ujarnya dengan geli.
"Iya, jantungku mau lepas rasanya. Takut kamu bicara sesuatu yang--"
"Yang apa?"
"Kamu sedang menyukai seseorang ya? biasanya seperti ini sikapmu kalau kasmaran,"
"Vanilla..."
"Iya, apa yang ingin kamu katakan padaku?"
"Orangtuaku meminta aku untuk menerima pinangan seorang laki-laki yang usianya cukup jauh dari aku,"
"Apa?! dengan laki-laki tua? seperti ayahmu maksudnya?"
Joana berdecak kesal. Ia memiting kulit lengan Vanilla yang hari ini menggunakan t-shirt berwarna biru laut.
"Tidak, maksudku dia cukup dewasa untuk aku yang masih kuliah seperti ini,"
Vanilla tergugu di tempatnya. Ia membasahi bibirnya yang tiba-tiba saja kering. Sayang sekali ia tidak bisa melihat. Jujur Vanilla masih merasa kalau Joana sedang berguyon.
"Dia...dia sudah pernah menikah?"
"Belum, dia dokter. Tapi usianya sudah kepala tiga,"
Vanilla yang sedari tadi menahan napas karena menunggu jawaban dari Joana, langsung menyemburkan tawanya. Ia kira Joana akan menikah dengan laki-laki tua yang sudah memiliki banyak anak dan cucu.
"Lalu apa yang kamu khawatirkan?"
Kasusnya dengan Joana sangat berbeda. Ia tidak ingin menikah dengan dokter karena tidak mencintai, Ia memiliki perasaan dengan laki-laki lain. Berbeda dengan Joana yang Ia katahui belum pernah menjalin kedekatan dengan lelaki manapun. Sehingga Vanilla pikir tidak ada yang menyulitkan.
"Aku takut, Vanilla. Dia dokter, sementara aku apa?"
"Apa yang kamu takutkan? kamu juga sedang belajar. Takut dikatakan bodoh dan tidak pantas dengan dia? oh Ya Tuhan, Joana, kamu lebih baik dari aku."
"Takut tidak bisa mengimbangi dia. Aku juga tidak pernah mempunyai keinginan untuk menikah dengan seorang dokter. Mereka terlalu tinggi untuk aku,"
Bahu Vanilla meluruh. Mendengar keluhan dari Joana, Vanilla baru ingat dengan kisahnya sendiri. Memang sulit untuk menjalani sesuatu yang bukan keinginan diri sendiri.
"Coba bicarakan baik-baik dengan orangtuamu. Minta pada mereka agar tidak memaksa,"
"Mereka mengizinkan aku untuk memilih. Tapi mereka terlihat sangat berharap. Orangtua laki-laki itu adalah teman Ayah dan Ibu dulu,"
Banyaknya relasi membuat sebagian orang dengan mudah menekan anaknya agar menuruti keinginan. Baik dengan cara yang halus atau sebaliknya. Biasanya dilandasi atas dasar keuangan. Apalagi yang Vanilla tahu ayah Joana baru saja menyelesaikan hukuman di balik jeruji besi. Bukan berprasangka buruk. Namun untuk mengembalikan nama baik perusahaan memang membutuhkan usaha yang tidak main-main.
Beruntung Vanilla tidak termasuk salah satu anak yang ditukar dengan uang oleh orangtuanya.
"Mungkin kalian memang berjodoh,"
"Vanilla, jangan sembarangan kalau bicara," peringatannya membuat Vanilla menyemburkan tawa.
Vanilla belum memberi tahu Joana mengenai pernikahannya. Yang Joana tahu, hubungan Ia dan Renald semakin dekat. Biarlah orang tenggelam dalam ketidak tahuannya. Vanilla tidak peduli. Bahkan Ia memilih untuk terus bersembunyi dibalik pernikahannya nanti. Agar dunianya tetap seperti ini.
*****
Menjelang akhir pekan, kedua pihak keluarga sudah mempersiapkan diri untuk pergi ke sebuah hotel, tempat dimana pernikahan Vanilla dan Jhico dilangsungkan.
Semuanya sudah melampirkan jejak baik secara tertulis maupun lisan sebelum meninggalkan pekerjaan masing-masing untuk menjadi bagian dari meriahnya acara esok hari.
"Oh My God! ini seperti di resort waktu itu ya, Dad? bagus sekali," pujian langsung meluncur dari bibir Adrian tatkala matanya menemukan sebuah kolam renang besar dimana itu lebih mirip seperti water Park karena banyak wahana bermain di atas airnya.
Mobil mereka melewati banyak fasilitas menakjubkan selain kolam renang itu. Sebelum akhirnya mobil Raihan sebagai pemimpin di depan mulai memasuki kawasan hotel terlebih dahulu. Mereka sengaja melewati bagian luar samping hotel agar bisa melihat-lihat suasananya. Ternyata Jhico dan Rena tidak main-main dalam mempersiapkan ini.
Raihan dan Devan mengendarai mobil masing-masing. Di belakang mereka ada mobil para pengawal. Sementara keluarga Jhico datang sudah sampai lebih dulu berdasarkan ucapan Thanatan ketika menghubungi Raihan tadi.
"Aku mau berenang nanti. Boleh, Mom?"
"Boleh, Sayang. Tapi nanti sore. Sekarang masih siang, panas. Kulit kalian nanti terbakar ,"
"Siap, Mommy!"
Adrian turun dari mobil setelah kedua tangan Devan bersiap untuk meraih tubuhnya. Seperti biasa, bila dalam suasana hati yang baik, Ia akan melompat, menunjukkan kebolehannya pada Devan. Bila merajuk, bukannya melompat yang Ia lakukan. Tapi menghancurkan pintu mobil Devan.
Mereka berkumpul di privat lounge dan saling bertukar kabar setelah beberapa hari tidak bertemu usai kunjungan di rumah Raihan dua Minggu yang lalu.
"Itu yang sudah tua mirip sekali dengan Grandma kita ya, Andrean?"
"Lebih tua dari Grandma. Sudah memakai tongkat, sama seperti Aunty Vanilla,"
"Itu karena sudah tua, jadi kesulitan berjalan. Kalau Aunty Vanilla dibantu tongkat karena matanya sakit,"
"Siapa dia ya? lalu tujuan kita ke sini apa? kamu percaya tidak kalau Aunty Vanilla akan menikah sebentar lagi?"
"Entahlah. Daddy suka bohong. Bisa saja kita ke sini karena ingin berlibur. Liburan waktu itu belum selesai bukan?"
Adrian dan kakaknya berbisik-bisik saat melihat Hawra yang tengah berbincang dengan kedua orangtua mereka. Penasaran tapi tidak berani bertanya langsung. Begitulah mereka. Lebih memilih untuk bertukar pikiran dan menebak.
"Berdiskusi apa kalau boleh Uncle tahu?"
Jhico tersenyum saat keduanya menoleh bersamaan dan menatap Ia dengan bingung.
"Uncle, di sini juga. Revin dimana?"
Jhico baru saja merampungkan urusannya dengan pihak hotel. Memastikan bahwa semua kamar untuk keluarganya dan Keluarga Vanilla sudah siap untuk ditempati.
"Revin besok datang ke sini,"
"Kenapa besok?"
"Karena waktu acaranya besok. Revin akan datang bersama Uncle Dante,"
"Acara apa, Uncle?"
"Pernikahan Uncle,"
"Pernikahan? dengan Aunty Vanilla? jadi itu semua benar? kalian akan menikah? huh! kenapa tidak jujur sedari awal?!"
Jhico memundurkan kepalanya terkejut saat Adrian menyemburkan kesalnya. Kenapa dia seperti seseorang yang ditinggal menikah ya? marah-marah ketika mengetahui bahwa orang yang diharapkan malah memilih yang lain. Reaksinya sama persis.
"Pasti kalian sudah diberi tahu. Tapi tidak percaya. Benar begitu?"
"Uncle sudah bicara langsung, kami percaya,"
"Good boy," Jhico mengacak lembut rambut Andrean.
Setelah berbincang-bincang di sana, mereka langsung menuju ballroom hotel untuk melihat segala persiapan.
Hampir seratus persen sempurna. Jhico tersenyum dan perasaan bahagia tidak henti memenuhi hatinya. Ia benar-benar tidak sabar berada di atas altar yang sudah dipercantik dengan bunga putih itu.
Vanilla digenggam oleh Lovi sedari tadi. Ia tahu sedang berada dimana mereka sekarang. Di ruang hatinya yang paling dalam, Vanilla sangat ingin melihat semuanya. Ini pernikahan impian Vanilla sebenarnya. Rena tahu konsep apa yang menjadi keinginan putrinya walaupun Vanilla menolak untuk ikut campur.
"Sangat sempurna, Vanilla. Aku benar-benar takjub melihat ini semua. Jhico juga bisa diandalkan rupanya,"
"Ini semua berkat Mama, bukan dia!" tukas Vanilla dengan nada datarnya.
"Semuanya tidak akan seperti ini kalau tidak ada kerja sama yang baik,"
Jhico mendekati Vanilla setelah membiarkan Adrian dan Andrean yang sedari tadi melekat erat dengannya memutuskan untuk saling mengejar karena Adrian yang mulai melancarkan aksi jahilnya. Ia sengaja menggelitik telinga Andrean menggunakan salah satu tangkai bunga yang ada di sekitarnya. Andrean tentu tidak suka dengan perlakuan adiknya.
"Sayang sekali kamu tidak bisa melihatnya, Nillaku. Aku membuat ini semua secantik kamu,"
----------
AKU NGANTUK² EDIT PART INI. TOLONG KOREKSI KL ADA YG JANGGAL DAN TYPO YAAAA!! PLISS BGT KASI TAU AKU BIAR AKU PERBAIKI.... INSYAALLAH KL GK MAGER WKWKWK.
FOLLOW NOVELTOON AKYUU JGN LUPA YAAA. SEKALIAN INSTA YAK? JAN PELIT-PELIT DAH SESAMA MANUSIA AWOKWOK. TERIMA KASIH🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 441 Episodes
Comments
☆chika
vanila sebenarnya kamu itu suka nya sama jhico.
kamu hanya merasa nyaman dan merasa punya teman yang terima kamu apa ada nya terhada renald
2021-07-27
1
☆chika
sumpah cerita ini bagus banget
aq sukaaaaaaa...
yah sampai kesini gak bosan2 nyaa
2021-07-27
0
Hesti Sulistianingrum
buat vanilla jatuh cinta dulu am jhico.. hbs itu br dioperasi.. jd vanilla g akn ninggalin jhico stlh dia kmbli " sempurna "
2021-02-28
0