Mata Deni menatap sang istri dan Devan bergantian. Ia memperingati sahabatnya itu. Bukan apa-apa, Ia hanya tidak ingin membuat Keynie sedih lagi. Masih lekat betul dalam ingatannya ketika Keynie menangis disaat Deni akhirnya pulang setelah berjam-jam Ia menantikan Deni yang ternyata malah mengunjungi Vanilla di mansion. Lebih tepatnya menjadi saksi kemesraan kedua sahabat di taman mansion. Vanilla dengan Renald. Denie bodoh, Ia lebih memilih menjadi penonton daripada suami yang baik. Ia sadar akan hal itu.
"Devan..."
Devan bangkit dan memasukkan kunci mobil serta ponselnya ke dalam saku celana. Ia menatap Deni sebentar.
"Aku akan menjemput Vanilla,"
Setelahnya sepasang suami istri itu hanya bisa menatap punggung Devan yang sudah menjauh. Keynie menyentuh lengan suaminya hingga menoleh.
"Vanilla bagian dari masa lalumu ya?"
Deni belum bisa menjawab. Ia menelan ludahnya Kelu. Takut kalimatnya lagi-lagi membuat luka menganga di hati Keynie.
Keynie mengangguk berusaha menyimpulkan sendiri. Diamnya Deni adalah sebuah jawaban. Dan apa yang ada di pikirannya tadi, itulah jawaban yang sebenarnya.
***
Jhico menyimpan botol minum yang selalu di bawanya di jok samping kemudi. Ia berencana untuk menjemput Vanilla. Jhico tahu semua tentang Vanilla, semenjak Ia memilih untuk menaruh hati pada gadis itu. Ingin menikahi, tentu saja harus tahu apapun tentangnya walaupun Vanilla menutup akses untuk semua itu.
Senyum Jhico mengembang tidak sabar bertemu dengan pujaan hatinya. Melihat gerai waffle dinges yang masih buka, Jhico menghentikan mobilnya. Ia akan membeli itu untuk mengisi perut.
"I ordered two WMD,"
Jhico harap Vanilla suka dengan Waffle of massive deliciousness yang menjadikan cokelat Belgia, strawberry, dan whipped cream sebagai pelengkap rasa.
Sumber : Pinterest
Yang Jhico perhatikan, selama di rumah sakit, dan di pesta waktu itu, Vanilla selalu menyantap makanan manis dengan suka hati. Sehingga Jhico yang cenderung menyukai bacon waffle pun mengalah. Ia ingin belajar menyukai apa yang disukai gadis itu.
Sumber : Google
Jhico meninggalkan ponselnya di dashboard mobil ketika keluar. Sehingga beberapa panggilan yang masuk ke ponselnya pun baru Ia ketahui setelah Ia masuk ke dalam mobil.
"Hallo?"
Jhico menjauhkan ponselnya sedikit dari telinga, nomor yang menghubunginya tidak berada dalam kontak ponselnya.
"Aku Devan. Bisa kau menjemput Vanilla di kampusnya? aku sudah terlanjur janji padanya untuk menjemput, tapi Istriku akan melahirkan sekarang. Aku tidak bisa meninggalkannya,"
Jhico terkesiap dan kaku beberapa saat sampai suara Devan kembali menegaskan maksudnya dan memanggil Jhico dari seberang sana.
"Iya, aku akan menjemput Vanilla."
"Memang itu rencana ku sejak tadi," lanjutnya penuh kemenangan. Bahkan alam pun seolah menyetujui keinginan Jhico. Kalau gadis itu dijemput oleh kakaknya, sudah dipastikan malam ini Jhico akan menelan kekecewaan. Tuhan sepertinya merestui langkah awal Jhico sebelum membangun kembali usahanya dalam meyakinkan Vanilla.
****
Tak butuh waktu lama, Jhico sudah sampai di kampus Vanilla. Ia keluar dari mobil dan hanya perlu berjalan sedikit untuk sampai di fakultas Vanilla.
Namun begitu Ia melintasi gerbang, matanya menangkap sosok yang dicarinya. Senyum Jhico menghilang begitu melihat Vanilla tidaklah sendirian. Ada seorang laki-laki yang tengah disuapinya. Sesekali mereka tertawa, bersenda gurau, menikmati waktu berdua.
Jhico menghela napas pelan, bahunya meluruh. Ia sengaja menunda makan malamnya tadi. Karena ingin makan berdua dengan Vanilla. Ternyata gadis itu mematahkan harapan Jhico.
"Vanilla!"
Renald menoleh pada sumber suara. Begitu pun Vanilla yang mencari dengan pandangan bingung.
"Dia siapa, Vanilla?" Renald berujar dengan pelan. Menatap lurus mata Vanilla yang mengerjap tidak mengerti.
Jhico mendekati sepasang manusia yang tengah dimabuk asmara itu. Tanpa dijelaskan pun Jhico tahu siapa laki-laki ini.
"Aku mencintai pria lain,"
Pasti Dia sosok yang dimaksud Vanilla. Jhico bisa melihat tatapan penuh cinta dari Kedua insan itu. Apakah saat ini Ia sedang menjadi tokoh antagonis diantara keduanya? Ia menaruh perasaan pada Vanilla yang jelas-jelas mencintai orang lain.
"Pulang, Vanilla. Kita pulang sekarang," begitu sampai di depan gadis itu, Jhico langsung menyampaikan niatnya ke sini. Katakanlah dia egois. Menganggu mereka yang sedang bermesraan bukanlah tindakan yang baik untuk orang luar seperti dirinya.
Vanilla tahu siapa dia. Ingat betul suara lelaki yang pernah berbisik dengan kejam padanya.
"Aku akan memberimu mata,"
"Kamu cantik, tapi sayang...buta,"
"Jhico..."
"Ya, ini aku. Bisa kita pulang sekarang?"
"Vanilla akan pulang bersamaku,"
Perjuangan Renald untuk pulang bersama sahabatnya tidaklah mudah. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya secepat mungkin agar ketika Vanilla pulang, mereka bisa pulang bersama.
Dan sekarang, ada laki-laki yang dengan santai mengatakan "kita pulang" pada Vanilla yang artinya Vanilla tidak akan pulang bersamanya.
Vanilla tidak memiliki pilihan lain. Penolakannya nanti akan sampai di telinga Raihan. Sementara papanya itu sudah memberi peringatan padanya untuk segera jujur pada Renald mengenai pernikahannya dengan Jhico. Kalau Raihan tahu Vanilla lebih memilih pulang bersama Renald, kira-kira bagaimana tanggapannya? apakah Ia akan marah, atau justru mengerti kalau Vanilla memang butuh waktu lebih lama untuk jujur dihadapan Renald.
"Aku akan pulang bersama dia,"
Jhico tersenyum getir. Dia, bahkan gadis itu enggan menyebut namanya.
Menyakitkan saat Vanilla mengusap wajah Renald dengan lembut, lalu mengatakan sesuatu yang menenangkan.
"Lain kali kita pulang bersama,"
Andai saja Ia yang berada di posisi lelaki itu. Bodoh memang. Hanya karena hati, Ia rela membandingkan dirinya dengan Renald yang lebih mampu menarik perhatian Vanilla.
Renald menghembuskan napas beratnya. Kemudian Ia mengangguk seraya membawa tangan Vanilla dari wajahnya untuk Ia genggam.
"Kabari aku kalau sudah sampai,"
Sebenarnya Renald masih butuh penjelasan yang banyak mengenai lelaki di depan mereka saat ini. Vanilla tidak berusaha memperkenalkan mereka. Bahkan terlihat sangat menjaga Jhico agar tetap pada radarnya. Ia merasa ada sesuatu yang terjadi diantara Vanilla dan lelaki berpenampilan menawan itu.
****
"Kenapa Vanilla belum juga sampai?"
"Devan sudah mengatakan pada Jhico agar Jhico menjemputnya,"
"Tapi kenapa mereka lama sekali, Pa? Apa Jhico bisa dipercaya?"
Raihan tahu Rena sedang dilanda khawatir. Bahkan di tengah kesibukannya memasukkan pakaian di koper, perempuan beranak dua itu tidak henti menyampaikan kekhawatiran akan putrinya yang belum juga sampai di mansion sementara Ia sudah harus ke rumah Devan untuk menginap di sana karena Devan dan Lovi baru saja pergi ke rumah sakit.
"Penilaian Papa tidak mungkin salah. Jhico sangat menghargai Vanilla,"
"Kalau dia menghargai, tidak mungkin mencium anakku dengan sembarangan,"
Berbeda dengan Raihan yang terlihat sudah biasa saja setelah menghajar Jhico yang tempo hari berlaku sesuka hati pada putri mereka, Rena justru terlihat belum bisa menerima sepenuhnya.
"Itu hal biasa. Bahkan Vanilla sering melakukannya. Ayolah, jangan menganggap anak kita adalah sesuatu yang putih bersih. Dan lagi, laki-laki itu sudah meminta maaf pada kita,"
Rena tidak menjawab. Ia tidak bisa berbicara lebih kalau Raihan sudah memutus perkara secara sepihak. Bila menurutnya sudah cukup, maka seharusnya Rena berhenti untuk mengungkit.
"Dia tulus pada Vanilla. Papa laki-laki, dan bisa melihat itu di matanya. Mama tenang saja,"
******
Jhico sengaja menghentikan mobilnya di pinggir jalan tepatnya di depan sebuah coffee shop. Manhattan malam ini benar-benar dingin. Vanilla hanya mengenakan jumpsuit overall yang didalamnya terdapat kaus putih berlengan pendek. Sehingga saat Vanilla menoleh bingung karena mobil berhenti, Jhico langsung menyelimuti lengan Vanilla menggunakan jaket jeans-nya seraya mengatakan, "Kita ke coffee shop dulu,"
Vanilla berdecak malas. Ia melepas jaket lelaki itu lalu diletakkannya di paha Jhico.
"Aku ingin pulang sekarang,"
"Turun, Vanilla. Dan pakai ini,"
Setelah kembali memberikan jaketnya pada Vanilla, Jhico keluar dari mobil dengan tangan membawa Waffle yang tadi dibelinya. Lalu membuka pintu di sisi Vanilla, gadis itu masih diam.
"Jhico, kamu mengerti ucapanku tidak? aku mau pulang!"
"Kita akan pulang, tapi aku lapar dan merasa dingin. Minum kopi sebentar. Aku mohon, dengarkan aku untuk kali ini,"
Vanilla langsung terdiam mendengar suara pelan laki-laki itu. Terdengar seperti seseorang yang tengah putus asa.
Jhico lapar, dan perlu menenangkan pikirannya yang sempat kacau. Ia sudah rela langsung beranjak dari rumah sakit ke kampus Vanilla bahkan melupakan makan malamnya hanya untuk menjemput gadis itu. Namun yang didapatinya tadi berhasil membuat hatinya terusik.
Jhico menggenggam tangan Vanilla dan tangannya yang lain diletakkan di atas kepala Vanilla saat gadis itu keluar dari mobil. Perhatian yang belum pernah Vanilla dapatkan. Dan karena dia buta, Vanilla tidak menyadari itu. Jhico juga tidak perlu mendapat pengakuan 'baik' dari Vanilla. Karena Ia melakukannya secara spontan untuk melindungi gadis yang berhasil mencuri perhatiannya sejak pertama kali bertemu.
"Kamu mau apa?"
Vanilla menggeleng enggan. Ia melipat kedua lengannya di dada setelah duduk berhadapan dengan Jhico. Ia tidak nyaman berada dalam situasi seperti ini. Namun mendengar Jhico yang sangat memohon seperti tadi, jujur Vanilla merasa bahwa itu sebuah keharusan untuk Ia turuti.
Vanilla membuang pandangannya ke segala arah. Walaupun Ia tidak bisa melihat apapun, tapi Ia merasa kalau Jhico tengah memperhatikannya sejak tadi. Suara seruput dari mulut lelaki itu terdengar sesekali dan kemudian suasana kembali tenang.
Jhico sengaja memilih tempat di luar. Karena menurutnya lebih tenang. Oleh sebab itu juga, Ia memberi jaket pada Vanilla, khawatir gadis itu merasa dingin.
"Jadi siapa dia, Nillaku?"
Vanilla memicingkan matanya kesal saat lagi-lagi panggilan itu yang disematkan Jhico untuknya.
"Jangan panggil aku seperti itu. Terdengar menggelikan, kamu tahu?"
"Kamu menyukainya," Jhico menjawab dengan nada penuh kemenangan. Apa lagi saat melihat wajah Vanilla yang sudah merona sedikit. Entah karena terlalu kesal, atau memang Ia suka dinyatakan sebagai 'Nillaku'.
Vanilla berdecih tidak terima. Ia tidak menyukai panggilan itu sama sekali. Terdengar aneh di telinganya. Dan sebelumnya tidak ada panggilan aneh itu selama ini. Orang-orang memanggil Ia hanya dengan nama. Dan itu disebutkan secara lengkap, 'Vanilla'. Tidak ada 'Nilla' selama Vanilla hidup di dunia ini.
"Itu panggilan untukmu. Nillaku, manis dan cantik. Sama seperti pemilik namanya,"
Vanilla berusaha bertahan. Ia sudah sering mendengar kalimat mematikan seperti ini dari para laki-laki di luar sana. Cantik, manis, baik hati, seksi dan sebagainya, sudah sejak lama menjadi bagian dari dalam diri Vanilla. Banyak yang mengakuinya, sehingga bila Jhico mengatakan itu, seharusnya Ia tidak perlu merasa canggung seperti ini. Namun sulit juga untuk melakukannya.
"Aku tahu dia kekasihmu,"
"Dia hanya teman,"
Bodoh!
Vanilla memaki dirinya sendiri. Kenapa dia terlihat begitu ketakutan Jhico salah paham? seharusnya dia biarkan saja lelaki itu tenggelam dalam pemikirannya sendiri yang mengatakan bahwa Renald adalah kekasih, belahan jiwa Vanilla.
Jhico tersenyum miring kemudian mengangguk. Ia menganggap ini adalah bentuk kebohongan Vanilla.
"Tidak mungkin. Kalian terlihat begitu mesra,"
Di sisi lain Vanilla merasa bersyukur karena pengakuannya tadi tidak berpengaruh apapun pada Jhico.
"Kalau memang iya, lalu apa masalahnya?"
"Kamu sudah jujur padanya bahwa kita akan menikah?"
"Aku sudah menerimamu? kapan?"
Jhico menyeruput long black-nya dengan tenang. Kemudian berdehem seraya menatap lurus pada Vanilla.
"Aku lebih percaya diri sekarang karena orangtuamu sudah memilihku. Jadi sebenarnya, mau atau tidaknya kamu denganku, itu tidak lagi berpengaruh untukku,"
------
Sebenernya Jhico ini jahat ga menurut kalian? yg jelas sih dia lebih baik dr calon Abang iparnya😏
Devan : Ngapa lu lirik gua?
Au : Ngerasa bgt si bapak. Secara ga langsung ngaku kl lu tipe-tipe cowok brengke wkwkwk
Devan : penting byk yg cintah
Au : Njs !
Ya jahat baiknya tergantung kalian aja :) Krn cara org menyampaikan keinginan itu beda². Dan di sini Jhico sebenernya gk maksain bgt sm Vanilla. Cuma Krn orangtua Vanilla terutama Rai ngasih sinyal kuat bgt. Jd dia rada gede kepala wkwk
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 441 Episodes
Comments
Andre Kurniawan
aku sich lebih suka vanila sama renaid
2021-08-16
0
Hesti Sulistianingrum
berharap jhico bener2 tulus sm Vanilla 😊... sprt Renald yg tutus.. tp kehidupannya sj yg kurang beruntung krn hanya sbg cleaning services..
2021-02-28
1
Risma Dewi Lestari
kepedean banget lu bang Dev🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣pengen gw jitak rasanya🤣🤣🤣🤣🤣
2021-01-28
1