Nillaku
Gadis bernama Vanilla Emeralda Vidyatmaka harus menahan kepahitan hidupnya setelah mengalami kecelakaan hebat yang mengakibatkan kedua matanya tak bisa lagi berfungsi dengan normal seperti dulu.
Mata yang biasanya menatap semua orang dengan rendah, kini hanya bisa memandang kosong. Gadis dengan segala keangkuhannya mulai meremang setelah mengalami peristiwa menyakitkan dalam hidupnya. Ia merasa tidak ada lagi sesuatu yang bisa dibanggakan dalam dirinya. Tidak ada lagi sesuatu yang pantas untuk orang lain lihat. Kekurangan, dirinya sudah dipenuhi dengan itu.
Hal tersebut yang menjadikan Vanilla sampai detik ini menolak lamaran seorang pria yang baru dua kali bertemu dengannya. Dia akan memperlakukan Vanilla dengan lembut hingga membuat Vanilla seolah lupa dengan semua kekurangan dalam dirinya.
Raihan berpikir, mungkin dengan kehadiran seorang pria dalam hidup Vanilla, Vanilla bisa menjadi lebih baik. Sehingga apapun akan dilakukan Raihan asalkan anak perempuannya tidak lagi hidup dalam kesendirian tanpa cinta sejati.
"Papa tidak bisa lagi menolak kebaikan dia, Vanilla."
Vanilla menggeleng dengan air matanya.
"Pa, lebih baik aku menikah dengan Renald. Walaupun dia tidak terpandang seperti kita, tapi setidaknya aku masih percaya diri,"
Raihan mendekati anaknya yang terdiam. Ia memeluk putri kesayangannya. Raihan mengecup puncak kepala Vanilla.
"Kamu tidak perlu merasa serendah itu. Karena Jhico pun tidak memandangmu seperti itu. Kamu berharga untuknya, Vanilla. Papa bisa melihatnya sendiri,"
Jika Renald meminangnya maka Vanilla akan lebih memilih Renald daripada Jhico, putra tunggal keluarga Thanatan. Karena Renald masih menempatkan posisi paling penting dalam hatinya.
Vanilla menatap Raihan bingung.
"Dulu Papa mendukung aku dengan Renald. Sekarang kenapa Papa berubah pikiran. Ini bukan karena Thanatan adalah rekan bisnis papa?"
Raihan membulatkan matanya. Sungguh Ia tidak pernah memikirkan kalimat itu akan keluar dari mulut putrinya. Apakah Vanilla berpikir kalau Raihan menjualnya kepada Thanatan?
"Kamu lebih berharga dari apapun. Lebih baik perusahaan Papa jatuh daripada harus mengorbankan kamu. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan mengenai kondisi perusahaan. Papa dan Devan tidak akan membiarkan sesuatu terjadi,"
Raihan menggenggam tangan Vanilla yang terasa dingin. Ia berusaha mengusir rasa tidak tenang Vanillanya yang kini jauh berbeda setelah kecelakaannya bersama Renald dan Joana merenggut kesempurnaan yang dimilikinya.
"Nanti malam Thanatan dan keluarganya akan datang,"
Vanilla merasa hatinya tidak menentu. Ia mulai menaruh rasa pada Renald, cleaning service yang beberapa kali terlibat adu mulut dengannya. Tetapi keadaannya saat ini benar-benar membingungkan. Raihan dan keluarganya menyetujui Ia bersama dengan Jhico. Sementara Vanilla dan Renald sudah menyatakan perasaan cinta masing-masing. Walaupun status mereka belumlah menjadi sepasang kekasih, tapi apa yang harus Vanilla katakan pada Renald? Apakah lelaki itu akan terluka?
"Jicho juga akan menemuimu. Pikirkan lagi semuanya. Papa tidak akan membiarkan kamu jatuh pada pria yang salah. Dan Papa rasa Jhico adalah pria yang tepat,"
Raihan diam berusaha mencari kalimat yang tepat untuk kembali dikeluarkannya.
"Papa ingin kamu bahagia, Sayang. Omong kosong kalau Papa mengatakan kebahagiaan bukan dari harta. Nyatanya Papa tidak ingin Kamu merasa kekurangan sedikitpun, dalam semua hal tak terkecuali materi. Kamu pasti mengerti maksud Papa,"
Vanilla menelan ludahnya pahit. Hidup di tengah keluarga sempurna dengan kekayaan berlimpah juga mempunyai risiko sebelum memilih pasangan hidup. Ia tahu makna apa yang tersirat dari ucapan Raihan. Ia paham betul kalau Raihan selaku penguasa bisnis di negara ini tengah membandingkan Renald dan Jicho, kedua lelaki dengan latar belakang ekonomi yang sangat berbeda.
Sekarang Vanilla tidak bisa lagi melakukan apapun ketika keluarganya menginginkan Ia dan Jicho bersatu. Seperti yang dikatakan Raihan, Jicho adalah lelaki yang tepat untuk Vanilla, dan tentunya mempunyai latar belakang sepadan dengan keluarga besarnya.
"Papa tidak merendahkan siapapun. Kamu dan Renald tetap bisa berteman. Tapi untuk jenjang yang lebih serius, maaf, Papa tidak akan pernah menyetujui kalian bersatu,"
Raihan menghapus air mata Vanilla. Ia mengecup kening anaknya dalam.
"Kamu dilahirkan untuk merasakan kebahagiaan,"
****
Adrian memasuki mansion dengan langkah riangnya. Hari ini Ia tidak dijemput oleh orangtuanya karena Lovi disibukkan dengan pelaunchingan clothing model baru dari butiknya sementara Devan belum pulang dari perjalanan bisnisnya.
Sejak dua Minggu yang lalu Lovi resmi mendirikan sebuah butik. Tadinya banyak perdebatan di antara Ia dan Devan mengingat lelaki itu sangat tidak suka kalau Lovi sibuk dengan kegiatannya daripada meluangkan waktu untuknya dan kedua anak mereka.
Namun Lovi meyakinkan kalau Ia bisa membagi waktu. Dan lagi butik tersebut tidak dikelola secara langsung olehnya. Ia hanya berkunjung sesekali untuk memeriksa keadaan di sana.
Sehingga tepat di ulang tahun pernikahan mereka yang ke tujuh tahun, butik itu berhasil didirikan atas nama Lovi. Devan mempersiapkan semuanya dengan baik. Ia membantu sang Istri dengan senang hati walau di awal sempat menolak tegas akan bisnis baru Istrinya tersebut.
"Aunty, mau kemana?"
Vanilla tersentak kaget saat suara Adrian menyapanya yang ingin pergi ke dapur. Ia menoleh ke sana kemari untuk mengetahui keberadaan anak itu.
Adrian segera mendekat lalu menyentuh lengan Vanilla. Ia menatap gadis yang jauh lebih tinggi darinya itu.
"Minum, Aunty haus. Kamu pulang cepat hari ini?"
Adrian mengangguk cepat menjawab pertanyaan Vanilla walaupun Vanilla tidak bisa melihatnya.
"Andrean dimana?"
"Masih ada latihan sepak bola. Adrian tidak ikut karena bosan. Kemarin sudah berlatih, Andrean terlalu rajin. Huh!"
Ia membantu Vanilla untuk pergi ke dapur. Baik Ia dan Andrean mengerti kalau kondisi Vanilla tidak lagi seperti dulu. Sehingga bila Vanilla membutuhkan sesuatu, mereka akan dengan senang hati membantu.
Dan Devan pun pernah memperingati kedua anaknya dengan tegas.
"Aunty sedang sakit. Jadi jangan macam-macam ya. Terutama kamu, Adrian. Aunty Vanilla belum bisa pergi ke salon seperti apa yang kamu ributkan selama ini. Kalau dia sudah sembuh, nanti kalian bisa pergi ke sana,"
***
Setelah semalaman Jhico menghabiskan waktunya di rumah sakit untuk bertugas, pagi ini Ia pulang ke apartemennya.
Ponsel lelaki itu berdering. Nama sang Ibu terlihat kembali menghampiri layarnya. Jhico mengapit ponsel di antara lengan dan telinga lalu mulai melajukan mobilnya.
"Ada apa, Ma?"
"Kamu sudah pulang?"
Jhico mengangguk pada bagian keamanan rumah sakit yang kenal dekat dengannya. Ia memang akan selalu seperti itu.
"Sudah, Ma. Aku langsung ke apartemen,"
Kecepatan mobil yang dikendarai lelaki itu sangatlah tenang. Jhico menikmati perjalanannya walaupun rasa lelah sudah menggerayangi tubuhnya sejak tadi.
"Ke rumah dulu. Papa ingin bicara,"
"Apa lagi? pertemuan nanti malam sudah dibahas bukan?"
Jhico memang tidak terlalu dekat dengan kedua orangtuanya. Ia terbiasa hidup sendiri. Sedari kecil Jhico diasuh oleh neneknya. Karena kedua orangtuanya begitu sibuk dengan pekerjaan. Dan cara mereka dalam mendidik Jhico pun terbilang cukup keras. Ditambah lagi saat Jhico memutuskan untuk berdiri sendiri di atas keinginannya yang menjadi seorang dokter. Papa dan Mamanya sangat menentang. Mereka ingin Jhico mengambil alih anak perusahaan keluarga Jhico.
****
Jhico tetap datang ke rumah keluarganya. Ia selalu menghindari ini. Namun karena ucapan penuh permohonan dari Mamanya tadi, Jhico tidak bisa menolak. Akhirnya lelaki itu kembali menginjak bangunan yang sangat jarang disisi dengan kehangatan itu.
"Cucu nenek yang mau nikah ini kenapa badannya semakin berisi ya?"
Jhico mengecup wajah senja milik sang nenek. Wajah yang selalu menggambarkan kasih sayangnya, memandangnya dengan lembut, dan menghargainya sebagai seorang anak yang mempunyai pilihan dalam hidupnya.
"Bagaimana kabar Nenek? maaf aku jarang ke sini,"
Jhico menggenggam tangan Hawra, Ibu dari Mamanya itu untuk masuk ke dalam. Menghampiri kedua orangtuanya yang sudah menunggu di meja makan.
"Kalau tidak menjadi dokter, belum tentu kamu sesibuk ini sampai lupa dengan keluarga,"
"Lalu kalau menjadi pengusaha aku akan memiliki waktu luang yang banyak? tidak, Papa saja selalu pulang tengah malam setiap harinya,"
Kalimat itu tidak bisa Ia keluarkan secara langsung. Hanya sampai pada lidahnya. Jhico tidak mau pertemuan mereka yang sangat jarang ini malah rusak karena perdebatannya dengan sang ayah, Thanatan.
"Nanti kalau sudah menikah, jangan seperti ini. Ingatlah untuk pulang ke rumah. Kamu selalu saja menempati apartemenmu. Padahal ada keluarga yang menantikanmu untuk pulang,"
Jhico memilih diam. Ia berdecih dalam hati. Dulu sewaktu Ia kecil menunggu adalah hal yang sudah biasa Ia lakukan. Pengalaman paling membekas adalah saat Jhico akan melaksanakan pementasan di sekolahnya. Thanatan dan Karina berjanji untuk datang memberi dukungan, tapi nyatanya hanya Hawra yang melakukan itu. Dan pada saat Jhico mengalami kecelakaan saat usianya menginjak sepuluh tahun, Ia menangis dan selalu memanggil 'Mama' namun yang terjadi selanjutnya hanyalah Hawra yang memeluknya, memberi pengertian bahwa Thanatan dan Karina bukan tidak peduli dengan kesakitannya, mereka sibuk, dan masih banyak lagi kalimat-kalimat penenang yang diberikan oleh Hawra untuk cucu semata wayangnya.
"Gadis yang kau nikahi bukan orang sembarangan, Jhico. Papa sudah mengingatkan ini sejak awal,"
Jhico masih fokus dengan makanannya. Namun telinga itu akan mendengarkan apapun yang dikatakan oleh Thanatan.
"Dia buta..."
Jhico menghentikan gerakan mulutnya. Ia menatap lurus ke arah Thanatan. Papanya itu meneguk air minum sebelum melanjutkan.
"Dia tidak sekuat apa yang kamu kira,"
"Papa malu bila aku menikahi dia?"
Tahanatan terkekeh lalu membalas tatapan putranya. Ia tidak merasakan apa yang dikatakan Jhico tadi. Kesempurnaan hanya milik Tuhan. Dan lagi, itu tidak terjadi untuk selamanya.
"Tidak, Papa justru senang. Kamu adalah lelaki yang tidak mencintai fisik seorang perempuan. Kamu berani mengajaknya untuk melangkah ke jenjang pernikahan padahal kalian baru saja bertemu sebanyak dua kali. Itu patut Papa beri apresiasi. Kamu pantang menyerah walaupun sempat ditolak," ada nada geli di akhir kalimatnya. Thanatan berusaha memberi kemungkinan terburuk pada anaknya. Apakah Ia akan tetap seperti ini kalau mendapat penolakan kedua?
Karina dan Hawra mengangguk setuju. Jhico memanglah lelaki yang sangat menghargai perempuan. Dikhianati mantan kekasih bukanlah alasan untuk membenci perempuan lain di dunia ini. Ia sadar kalau tidak semua perempuan bisa disama ratakan.
"Tetaplah menjadi anak Papa yang baik, Jhico. Sekalipun kamu ditolak nantinya,"
Thanatan memandang anaknya dengan remeh. Namun ada sorot jahil di maniknya. Tahu betul bagaimana perasaan gadis yang dicintai anak lelakinya itu. Ketika mereka bertemu saja, tanggapan gadis itu sangatlah dingin. Terlihat sekali kalau Ia belum membuka hatinya untuk siapapun.
"Aku tidak mungkin ditolak, Pa. Karena aku punya cara sendiri untuk menaklukannya,"
--------
Jd ini kisahnya Si Vanill Sm tokoh baru yaa. Nah Deni blm keluar nih, Renald juga. Sabarrr... Jd trs pantengin kisah mereka yaaa. JGN LUPA KLIK LIKE, BERI VOTE SEIKHLASNYA, KETIK KOMEN, KASI BINTANG 5, DAN FOLLOW AKU JG DENG😂 THANKISS😘💙
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 441 Episodes
Comments
ㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ نَيْ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅😻
semangat terus berkarya 👍
2022-09-30
0
🍹girl Cancer 🍭
nyimak
2021-08-23
0
Fadhila Alfi
mampir kak
2021-08-19
2