"Ya sudah, kamu pulang sekarang! tunggu apa lagi masih ada di sini?"
"Kamu belum turun, Nilla. Bagaimana aku mau pulang? atau kamu mau ikut aku?"
"Astaga," Vanilla merutuki kebodohannya. Ia segera membuka pintu mobil setelah beberapa saat terdiam di dalam mobil sampai membuat Jhico sesekali menoleh padanya, untuk memastikan bahwa Vanilla baik-baik saja.
Tawa Jhico meledak seketika. Ia keluar dari mobil lalu segera membantu Vanilla untuk keluar. Jhico melepaskan genggaman tangannya pada Vanilla untuk meraih tongkat milik gadis itu di kursi tengah.
"Ada tamu," gumam Jhico melihat satu mobil berwarna silver terparkir. Setelah melihat ke arah pintu tinggi yang menjulang terbuka lebar, Jhico semakin yakin bahwa sedang ada tamu di mansion Vanilla.
"Deni,"
Jhico menoleh pada calon istrinya. Ia mengangguk pelan. Ada rasa senang saat Vanilla menanggapi ucapannya. Bisa terhitung dengan jari, namun ada sedikit kemajuan.
"Uncle tahu tidak kalau Aunty itu perginya dengan Uncle baik yang tadi siang antar Adrian pulang,"
Adrian memulai ceritanya pada Deni yang sudah terlihat sangat bad mood. Sementara Keynie antusias mendengarnya. Keynie sering sekali merasakan kesepian bahkan setelah menikah pun demikian. Sehingga datang ke sini dan berkenalan dengan Adrian sangat membuatnya senang. Tujuan Deni membawanya ke sini yang Ia ketahui hanya untuk melihat Auristella. Namun sampai sekarang Deni belum membawanya pulang. Padahal pertemuan dengan anak ketiga Devan itu sudah berlangsung sejak tadi. Bahkan Auristella sudah hampir tertidur sekarang. Tidak apa, karena ada Adrian semuanya jadi tidak terasa membosankan.
"Siapa?"
"Jhico lah. Vanilla pergi bersama Jhico, jadi Uncle baik yang dimaksud Adrian adalah Jhico,"
Deni memutar bola matanya kesal. Raihan benar-benar mengibarkan bendera perang sejak tadi. Secara jelas Ia menunjukkan ketidak sukaannya dengan kehadiran Deni di sini.
"Itu mereka,"
Begitu Adrian berseru seraya menunjuk arah di belakangnya, Deni langsung menoleh. Ia bisa melihat sosok Vanilla yang sedang berjalan dibantu oleh seorang laki-laki.
Adrian menghampiri Vanilla lalu menggenggam tangannya yang lain. Setelah itu Ia menyingkirkan bantal sofa yang akan dijadikan tempat duduk untuk Vanilla. Sikapnya membuat Jhico terkesima. Baru kali ini Ia melihat anak seusia Adrian yang begitu perhatian pada Aunty-nya. Jhico tidak menyesal mengenal keluarga itu. Terlalu banyak kejutan bahkan Ia sampai bingung harus memulainya dari mana. Rasa tidak sabar untuk menjadi bagian dari keluarga Vidyatmaka membuat bongkahan rasa Bahagia itu kian menyeruak.
"Padahal Adrian juga mau ke pesta. Tapi tidak diizinkan Mommy,"
Jhico tersenyum seraya mengacak lembut rambut Adrian yang rupanya masih sedikit kesal dengan larangan Lovi tadi. Di sisi lain Jhico bersyukur disaat Lovi paham bahwa Ia dan Vanilla butuh waktu berdua agar proses mengenal lebih mereka kuasai.
"Seharusnya kamu ikut saja. Karena kalau belum menikah, tidak boleh pergi hanya berdua,"
Raihan berdecih saat Deni mulai menunjukkan kebodohannya. Bertingkah seolah Ia adalah laki-laki paling sempurna dan suci di dunia ini.
"Dia bisa menjaga Vanilla. Tidak akan mencuri start sebelum waktunya. Kau tidak perlu khawatir,"
Keynie memperhatikan Vanilla dengan seksama. Ini pertama kalinya Ia bertemu dengan gadis cantik itu. Begitu memukau sampai terkadang membuat Keynie ditempatkan pada posisi kedua, dan dialah yang prioritas bagi suaminya.
Beberapa kali mendengar nama Vanilla diperdebatkan oleh suaminya dan Raihan, Keynie langsung bisa menilai bahwa Deni tidak sama dengan Vanilla dalam menilai hubungan mereka. Sikap Deni terlalu berlebihan untuk sekedar kakak beradik.
****
Setelah tamu pulang, Richard dan kedua anak kembar Devan benar-benar bermain. Ini sudah hampir tengah malam dan laki-laki itu setia menjadi pengasuh mereka.
Sementara para perempuan sedang sibuk perawatan. Vanilla dan Jane mengenakan masker wajah seraya berbaring di sofa, sementara dua pasang suami istri, Raihan bersama Istrinya, dan Devan bersama Lovi sudah masuk ke dalam kamar masing-masing.
"Seharusnya Jhico menemani Richard tadi,"
"Sembarangan saja mulutmu,"
"Memang kenapa? kamu takut salah tingkah bila dia ada di sini?"
"Ups tidak kena," Jane mengejek Vanilla yang baru saja gagal melakukan serangan melempar bantal sofa ke wajahnya.
"Namanya Uncle Jhico?"
Adrian masih penasaran saja dengan nama lelaki itu. Ia ingin bertanya langsung tadi, tapi belum ada nyali.
"Iya, itu calon pengeran Aunty Vanilla,"
"JANE!"
Jane terbahak puas. Lagi-lagi Ia berhasil membuat Vanilla emosi di waktu yang hampir tengah malam ini.
Vanilla ingin sekali melempari mulut sepupunya dengan cabai lalu langsung masuk ke dalam kerongkongannya agar tersedak kemudian jera mengganggunya.
"Kalau Uncle Richard calon pangeran siapa?"
Richard langsung gugup begitu ditatap serius oleh Andrean. Tidak biasanya anak itu bertanya tentang hal-hal yang tidak penting seperti ini.
"Belum tahu,"
Bergantian, saat ini Vanilla yang tertawa. Puas sekali saat Jane belum diharapkan secara terang-terangan menjadi jodoh Richard.
"Jawab dengan nama aku, Sayang!"
Vanilla memasang eskpresi ingin muntah saat mendengar Jane yang manja seperti itu. Menggelikan sampai Vanilla berpikir Jane sudah mengidap penyakit jiwa lagi.
Ponsel Vanilla bergetar di atas meja. "Renald yang telepon," Jane memberi tahu. "Aku sudah tahu. Ponselnya sudah bicara sendiri. Kamu tidak dengar?"
Jane menggeser tool hijau di layar ponsel Vanilla. Lalu menyerahkan ponsel itu pada pemiliknya. Walaupun selalu saja bertengkar, mereka tidak pernah bosan saling membantu. Bahkan hal kecil sekalipun.
"Hallo My Renald,"
Demi apapun yang ada di dunia ini, Richard sebagai laki-laki merasa jijik dengan sikap Vanilla yang terkesan tidak kokoh pada pendiriannya. Bukankah seharusnya yang mendapatkan panggilan itu adalah calon suaminya? kenapa malah laki-laki lain? Rasa simpatinya untuk Vanilla semakin hilang.
"Kamu belum tidur?"
"Belum, sebentar lagi mungkin,"
*****
Jhico memasuki apartemennya dengan senyum yang belum pudar. Tidak menyangka kalau hari ini Ia akan bertemu dengan Vanilla. Bahkan gadis itu mau pergi bersamanya ke pesta ulang tahun Tiano.
Sebelum membersihkan dirinya, Jhico pergi ke ruang olahraga. Ia melakukan latihan ringan di sana sampai tiga puluh menit.
Hanya sebatas mengangkat barbel seraya menikmati alunan musik yang nadanya lumayan sendu. Tiga kali berada dalam mobil yang sama bersama Vanilla, Jhico jadi terbiasa mendengarkan musik.
"Aku mau dengarkan musik boleh?"
Keheningan membuat Vanilla tidak nyaman. Bila Ia sedang sendiri, suasana inilah yang disukainya. Karena Ia bisa melamun sesuka hati. Namun saat ini ada orang lain. Sehingga untuk terjebak dalam lamunan rasanya tidak tepat.
"Aku kira kamu tidak suka mendengar musik,"
Vanilla tidak menjawab. Dan Jhico tahu Vanilla tidak ingin mengatakan apapun lagi. Sehingga tangan Jhico bergerak untuk menghidupkan audio mobil.
Jhico sangat jarang menikmati alunan musik bila sedang dalam perjalanan. Ternyata menyenangkan juga. Perjalanan yang lumayan jauh terasa tidak membosankan.
Masih dengan keringat yang membasahi pelipis hingga seluruh tubuhnya, Jhico meraih ponsel hanya untuk menatap wajah Vanilla di layarnya.
Ia mengambil itu secara diam-diam. Dengan keadaan Vanilla yang tidak bisa melihat, Jhico bisa dengan mudah mengambil foto Vanilla tanpa harus disadari oleh gadis itu.
Raut Vanilla yang terlihat bingung menatap ke arah lain benar-benar menggemaskan di mata Jhico. Ia semakin tidak sabar untuk menikahi gadis yang memiliki kesempurnaan dibalik kekurangannya itu.
Menurut Jhico, Vanilla sempurna. Bukan hanya perkara fisik. Vanilla yang Jhico kenal adalah gadis yang bisa berbesar hati menerima kondisinya sendiri. Ia belum tahu mengenai masa lalu Vanilla, sama sekali.
Masa depan milik bersama. Sementara masa lalu milik masing-masing dari mereka. Yang sudah lampau, biarkan menjadi kenangan dan hanya perlu disimpan dalam memory tanpa dibahas lagi.
"Entah apa yang kamu lakukan padaku, Nilla. Kenapa aku bisa sebodoh ini dalam menyimpan rasa untukmu?"
*****
Vanilla bangun di tengah malam saat Ia merasa tenggorokannya kering. Ia meraba-raba tempat di sampingnya.
Jane berdecak saat Vanilla mengganggu tidurnya. "Jane, aku haus. Minumku sudah diletakkan di nakas belum, Jane?"
Jane menjawab, "Sudah." dengan mata yang masih tertutup.
"Sudah katamu? tapi kenapa tidak ada di sini? tanganku tidak bisa menemukannya,"
"Astaga, Vanilla. Kapan kamu tidak mengganggu aku?"
"Kalau aku sudah menikah, kamu akan merindukan segala permintaanku yang mengganggu itu, Jane."
Akhirnya Jane bangkit dengan wajah kusutnya. Ia menatap nakas. Memang benar tidak ada gelas berisi air minum Vanilla di sana. Ia berdecak sekali lagi. Ada rasa sesal saat Ia menyetujui ajakan Vanilla untuk tidur bersama. Berhubung sebentar lagi adik sepupunya itu akan menikah, Jane pikir tidak ada salahnya untuk tidur bersama seperti apa yang sering mereka lakukan sejak masih kecil.
"Oh itu minumnya. Sejak kapan tempatnya berubah?"
Ia mengomentari cara kerja pelayan yang bertugas menyiapkan kebutuhan Vanilla. Meja rias Vanilla dijadikan tempat persinggahan segelas air minum.
"Cepat minum!" titahnya seraya menyerahkan gelas itu pada Vanilla.
"Kamu tidak bisa mengembalikan gelasnya bukan?"
"Bisa,"
Nakas sangat dekat dengan posisi nya saat ini. Untuk mengembalikan adalah perkara mudah.
"Kenapa kamu harus bicara seperti itu sih?! aku tiba-tiba saja jadi mellow,"
Jane kembali merebahkan tubuhnya di ranjang, menatap langit-langit kamar Vanilla.
Vanilla mengentikan kegiatannya sejenak untuk bertanya, "Maksudmu?"
"Membahas kemungkinan yang terjadi setelah pernikanmu nanti. Kamu tidak akan menjauhiku bukan? aku tidak masalah di ganggu terus-menerus,"
Vanilla tersenyum haru saat sepupunya itu jujur. Tidak biasanya Jane mengatakan kegelisahan hati secara langsung tanpa ditekan.
"Kalau aku menikah, pasti aku akan mengikuti kemana suamiku tinggal. Bukan menjauhi, Jane. Bukankah aku harus patuh pada suamiku nanti?"
Jane segera berbaring miring setelah Vanilla kembali meluruskan tubuhnya di atas ranjang.
"Ya Tuhan, aku belum siap menerima kenyataan itu, Vanilla. Kenapa harus secepat ini?"
"Tanya dengan Papaku saja. Aku juga tidak mau cepat-cepat. Aku masih ingin bertengkar denganmu,"
"Sial!" Jane terkekeh seraya mendorong kepala Vanilla dengan perasaan campur aduk. Hanya tinggal menghitung hari lagi menuju hari pernikahan itu. Perasaan Jane benar-benar belum rela bila harus berpisah dengan Vanilla dan menerima kenyataan bahwa Vanilla bukan lagi sosok perempuan yang hidup sendiri tanpa pendamping hidup. Walaupun mereka tetap bisa dekat tapi pasti akan tercipta sedikit perubahan. Vanilla sudah memiliki pemilik sehingga kebebasan sepenuhnya bukan lagi berada dalam genggaman Vanilla. Hidupnya akan berporos pada Jhico. Tidur bersama, saling mencoba skincare baru, menghabiskan banyak waktu hanya untuk membahas model pakaian yang sedang menjadi trend dan hype, serta kegiatan lain yang cukup menyita perhatian Vanilla, apakah tetap bisa mereka lakukan walaupun Jhico sudah menjadi suami Vanilla?
"Semoga 'Nillaku ' bukan pertanda kalau kamu akan hidup di dalam bayang-bayang sikap posesif-nya ya,"
Vanilla mengerinyit saat panggilan itu didengarnya kembali. Vanilla tidak suka. Kenapa harus Jane juga yang menyebutnya?
--------
LIKE, VOTE, KOMEN, RATE 5 PLIEZZZ :) CUNG YG UDH TINGGALIN JEJAK☝️ MAKASIH YAAA🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 441 Episodes
Comments
Hesti Sulistianingrum
jhico....Alangkah baikny kalo vanilla ttap buta sj, agr vanilla bs sll bergantung padanya.. minta tolong padanya.. dan menjadikan jhico sebagai "pegangan"vanilla.. q takut thor, kalo vanilla bs melihat lg.. dia akan mjd semakin angkuh... dn kasar sm jhico
2021-02-28
2
ARSY ALFAZZA
✔️✔️✔️
2020-10-31
0
Seriani Yap
Semangat thor.
2020-09-08
0