"Tidak bisa secepat itu, Pa. Aku takut Renald menjauhiku nantinya,"
Vanilla masih berusaha membantah dan emosi Raihan sedikit meronta. Raihan tidak tahu alasan utama Vanilla menerima pinangan Jhico. Mungkin kalau Ia tahu bahwa Jhico akan memberi putrinya penglihatan yang sempurna lagi, Ia akan semakin gencar menekan Vanilla untuk segera melaksanakan pernikahannya bersama Jhico.
"Semuanya akan baik-baik saja kalau kamu mengatakannya dengan jujur. Jangan menyakiti Renald terlalu lama," Raihan menekan kalimatnya agar lebih mempertegas semuanya.
"Permisi, saya datang."
Raihan dan Vanilla menoleh secara bersamaan saat suara datang dari belakang mereka. Deni masuk dengan langkah santainya lalu mengangkat satu tangannya sejenak untuk menyapa Raihan. Kemudian mengangkat alisnya dengan jenaka pada Vanilla yang jelas-jelas tidak bisa melihat sikap anehnya itu.
"Hai cantik," begitu sampai di dekat gadis itu, Deni menjawil dagunya. Dan Raihan menatap Deni dengan tajam.
Deni sudah terbiasa memperlakukan Vanilla seperti itu. Rasanya akan ada yang aneh apabila mereka bertemu namun Ia tidak melempar kejahilan.
"Kenapa masih berani datang ke sini?"
"Memang ada yang salah? kenapa aku harus takut? mansion ini juga pernah menjadi tempatku untuk bermain sejak dulu,"
Ringan sekali menjawabnya. Raihan sangat ingin memberi pelajaran untuk mulut itu. Keadaannya sudah berbeda dengan yang dulu. Deni memiliki kehidupan sendiri sekarang. Dan semenjak menikah, sudah dua kali Raihan menemukan Deni berkunjung ke mansion.
Pertama kali saat Raihan pulang bekerja. Dan sekarang Ia datang lagi. Raihan tidak tahu saja yang sebenarnya. Deni sering sekali datang ke mansion. Bertemu dengan Raihan adalah kesialan baginya. Ia sudah mencari waktu yang tepat agar tidak bertatap muka dengan Raihan. Namun sudah dua kali Ia gagal menghindar.
"Vanilla, masuk ke kamarmu sekarang!"
"Aku sudah datang ke sini, rela terjebak macet---"
"Tidak ada yang menyuruhmu untuk melakukan itu, bodoh! salahmu sendiri, kenapa rela datang ke sini? sementara ada istrimu di rumah,"
Vanilla diam saja di tempatnya. Percuma juga Ia menolak kedatangan Deni. Ia sudah menggunakan alasan itu agar Deni tidak lagi mengganggunya. Namun Deni tetaplah laki-laki keras kepala yang saat ini belum memiliki kepedulian lebih pada Keynie, Istrinya.
Raihan pergi untuk menghampiri Rena di kamar. Begitu masuk ke dalam kamar, Ia langsung mengeluarkan ucapan sarkasnya.
"Kamu sering melihat Deni datang ke sini?"
Rena menghentikan tangannya yang sedang menyisir rambutnya. Ia menatap Raihan dari cermin. Alisnya menukik bingung.
"Dia datang lagi?"
Raihan memutar matanya jengah. Tidak mungkin Ia bertanya kalau Deni berada di rumahnya.
"Vanilla sebentar lagi menikah, Rena. Deni sudah memiliki tanggung jawab lain. Kamu selalu membiarkan dia ke sini? kalau tujuannya hanya untuk menjalin komunikasi antar teman tidak masalah. Tapi aku yakin alasannya ke sini bukan karena itu. Kita tahu kalau Deni memiliki perasaan lebih untuk Vanilla,"
Rena bangkit dari kursi dan meletakkan sisir di atas meja riasnya. Ia berbalik untuk menatap Raihan yang rahangnya sudah mengetat.
"Kalau Vanilla sudah menikah, dia tidak akan berani melangkah lebih jauh. Kamu sudah mengatakan pernikahan Vanilla pada Deni?"
"Oh astaga, aku lupa."
Raihan keluar dari kamar dengan tergesa meninggalkan Rena yang menggelengkan kepalanya pelan.
Raihan marah-marah tanpa mencari jalan keluarnya. Bila Deni mengetahui rencana itu mungkin Ia akan berpikir lebih lanjut sebelum mendekati Vanilla lagi. Keynie mungkin bisa dikhianatinya. Namun suami Jhico nanti tidak akan bisa diperlakukan seperti itu oleh Deni.
*****
Joana menghampiri sahabatnya seraya membawa kotak bekalnya. Mata kuliah awal sudah selesai. Saat ini mereka sedang menunggu dosen selanjutnya untuk memberi mata kuliah yang lain.
"Van, kamu bawa bekal apa?"
Joana melihat Vanilla juga mengeluarkan kotak bekal dari dalam tasnya. Sejak Ia tidak bisa melihat, membawa bekal sudah menjadi rutinitas untuknya. Vanilla merasa kesulitan bila harus mengikuti kebiasaannya dulu yang selalu membeli makanan, menolak untuk dibekali oleh Rena.
"Nasi goreng. Kamu bawa bekal juga?"
Aroma nasi goreng yang dibawanya langsung menggoda perut Vanilla. Ini merupakan salah satu makanan kesukaan Vanilla.
"Iya, sandwich saja. Ayo cicip bekalku,"
Joana mengarahkan tangan Vanilla untuk meraih sandwich di dalam tempat makannya. Vanilla langsung menikmatinya. Ia pun mengulurkan kotak bekalnya untuk menawarkan Joana.
Mereka memang kerap berbagi bekal semenjak Vanilla suka membawa bekal. Dulu tidak ada kehangatan seperti ini. Vanilla akan sibuk dengan makanan yang dibelinya seorang diri, dan Joana pun begitu. Banyak perubahan dalam diri Vanilla.
******
Semalam Jane memaksa Vanilla untuk menemaninya ke pusat perbelanjaan yang kerap sekali mereka kunjungi terutama sebelum Vanilla mengalami kebutaan.
Vanilla mengeratkan trench coat-nya karena merasa dingin. Musim semi belum berakhir. Sehingga ada segelintir orang yang juga menggunakannya sama seperti Vanilla untuk kondisi dingin seperti saat ini.
Vanilla menunggu Jane di sebuah kursi yang kerap sekali ditempatinya bila sedang bersama dengan Renald. Hari ini lelaki itu belum menemuinya sama sekali.
Vanilla menghela bahunya ke atas. Mungkin Renald sedang sibuk. Mengingat sebentar lagi akan ada festival yang diadakan universitas-nya. Renald pasti memiliki banyak pekerjaan untuk mempersiapkan semuanya.
Namun kenyataannya Renald sudah memperhatikan Vanilla sejak tadi. Melihat bagaimana gadis itu menikmati waktu dan entah menunggu siapa.
Renald memutuskan untuk meletakkan sapu yang di pegangnya lalu menghampiri Vanilla. Gadis itu belum menyadari kalau Renald berdiri di belakangnya.
"Vanilla, kamu sedang apa di sini?"
"Astaga, siapa itu?" Vanilla memutar kepalanya mencari sumber suara. Ia tidak bisa melihat namun bisa merasakan kalau sosok yang menyapanya baru saja duduk di samping tubuhnya.
"Sampai sekarang suaraku masih sulit dihafal ya?"
"Oh, ini Renald?"
"Ya, Vanilla." Renald segera meraih kepala Vanilla untuk mengusapnya. Vanilla tersenyum senang. Lelaki ini sudah dinantikan kehadirannya sejak tadi.
"Kamu tidak menghampiriku seharian ini. Sedang sibuk?"
"Ya, cleaning service sepertiku memiliki pekerjaan yang banyak untuk mempersiapkan sebuah acara,"
Renald mengangkat dagu Vanilla agar Ia bebas menatap manik biru itu. Keduanya merasakan getaran itu lagi. Namun tidak bisa mengutarakan dengan jelas. Berada sangat dekat dengan Renald membuat Vanilla lupa akan komitmennya dulu. Vanilla tidak pernah mau menjalin komunikasi dengan orang-orang seperti Renald. Lagi-lagi karena kasta. Seiring berjalannya waktu dan semakin banyak kejadian yang membuktikan bahwa semua manusia layak untuk diperlakukan dengan baik, Vanilla sadar bahwa Ia hidup dalam dunia yang penghuninya memiliki keberagaman jalan takdir. Vanilla harus hidup berdampingan dengan mereka.
Saat mereka sedang menikmati suasana berdua, Jane datang bersama Richard, laki-laki yang selalu dikatakan Devan sebagai kekasih bayangan Jane. Dulu memang hanya bayangan, sekarang sudah menjadi kenyataan. Oleh sebab itu Jane mengajak Vanilla untuk bersenang-senang untuk merayakan hari jadinya bersama Richard.
Pemandangan yang dilihatnya saat ini membuat Jane bertanya-tanya. Mereka terlihat begitu dekat dan Jane belum lupa kalau sebentar lagi Vanilla akan menikah. Dilihat dari perilakunya, sepertinya Vanilla belum mengatakan apapun pada Renald.
"Kamu pulang bersama Jane?"
"Jane sudah datang?" Vanilla bertanya pada lelaki di sampingnya. Jane dan Richard beristri dalam diam.
"Ayo Vanilla. Kita pergi sekarang," ujar Jane dengan cepat. Sangat ingin berbicara mengenai hal yang mengusik pikirannya. Namun situasi belum mendukung.
*****
Seraya berjalan menelusuri mall, Jane menjaga Vanilla agar tetap berada dalam perlindungannya. Adik sepupunya itu butuh perhatian lebih bila diajak ke tempat-tempat ramai seperti ini karena kondisinya yang tidak bisa melihat.
Richard mengerti akan hal itu. Ia bahkan berjalan di belakang keduanya untuk memastikan mereka baik-baik saja.
"Kamu sudah mengatakan pada Renald bahwa kamu akan menikah dengan Jhico?"
Jane tidak bisa diam lebih lama. Dan Ia rasa ini adalah waktu yang tepat. Karena Richard tidak begitu mendengar permasalahannya dan juga keadaan mall yang sedikit sepi membuat Ia lebih tenang berbicara tanpa harus mengeluarkan suara yang keras.
"Belum, sulit melakukannya."
Jane berdecak saat sepupunya itu berujar santai. Ini perkara penting. Masalah dua hati yang sama-sama harus di jaga. Pernikahan semakin dekat, dan Vanilla belum melakukan apapun untuk memastikan semuanya berjalan dengan baik.
"Secepatnya, Vanilla. Saat kamu menjelaskan bagaimana sosok Jhico yang sesungguhnya, aku menganggap bahwa dia salah. Sekarang kamu juga salah, Vanilla. Kamu menyetujui rencana Papamu, tapi di sisi lain kamu masih mempertahankan sesuatu yang bukan jalan takdirmu,"
Vanilla segera melepaskan tautan tangan Jane. Ia berhenti melangkah, Jane pun begitu. Richard terkejut saat melihat kedua gadis di depannya ini saling melempar tatapan tajam.
"Kamu mengajakku ke sini hanya untuk membicarakan hal itu? aku tidak butuh nasihatmu, Jane."
--------
JANGAN LUPA KLIK LIKE, KETIK KOMEN, KL ADA POIN LEBIH BOLEH DI SUMBANG WKWK. TENCUU OLLLLL
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 441 Episodes
Comments
Hesti Sulistianingrum
vanilla hanya tak tega jane 😔.. makanya ngulur2 waktu terus
2021-02-28
1
Aditya Yudistira Kilip
Hmmm
2021-02-04
1
Ana
Demi Mumu Nillaku nih q rela bangun di pgi yg msh gelap ni 😂
2021-01-14
1