Pagi itu perasaanku mengatakan sesuatu yang baik akan terjadi. Senyumku mengambang dan tanpa sadar aku telah memasak lebih banyak untuk sarapan. Aku memasukkannya kedalam bekal lalu bersiap berangkat. Pintu rumah yang kunanti untuk kubuka memberiku kejutan yang luar biasa.
Dia yang selama ini tak terlihat oleh mataku, berdiri dengan senyuman paling menawan.
''Fatimah punya waktu?''
Suara lembut tegas tanpa basa-basi yang kurindukan. Ini terlihat tidak nyata di mataku. Ia tetap tersenyum meski aku diam sangat lama.
''Fatimah?'' panggilnya.
Aku menutup mulutku tak percaya. Diriku pikir, selama ini ... Semua hanya bohong. Ia menghilang tanpa kabar. Meninggalkan goresan luka yang demikian hari bertambah. Keraguan demi keraguan dan keyakinan yang ku pertahankan bahwa ia akan kembali.
''Kean?'' tanyaku pelan.
Senyumnya semakin mengambang. Tanpa kusadari air mataku jatuh, senyumnya luntur. Ia memaksakan senyumnya lalu mengajakku kembali.
''Fatimah punya waktu?''
Ia terlihat ingin menarikku tapi sadar bahwa batasan menghalangi seorang Fatimah dan Kean.
Fatimah mengangguk kecil membuat Kean melangkah pelan. Tak jauh dari rumah Fatimah, mereka duduk disebuh kafe berhadapan. Mereka menanti bagaimana sesuatu yang ingin diucapkan dapat tersampaikan.
''Aku tau aku pergi begitu lama tanpa mengabaru. Ku harap itu tak mengubah keputusanmu menerima lamaranku. Pertemuan kita sangat singkat. Belajar mengenalmu pun tak kulakukan ... Beraninya diriku melamar seorang Fatimah.'' Ia terkekeh masam dengan pelan.
Fatimah memerhatikan dirinya. Ia tampak berbeda, tapi Fatimah sama sekali tak mengetahui dimana letaknya.
''Benar ... Aku berubah demi seorang Fatimah. Agar diriku dapat bersanding dengannya. Aku bukan Ali, bukan abu bakar, bukan hamzah, bukan umar, bukan pula usman ... Tapi aku akan belajar menjadi mereka. Aku bertemu seseorang yang mau membantuku berubah. Jadi, maukah Fatimah mengajariku menjadi sosok yang ia cintai?''
Tes.
Sebongkah berlian jatuh dari pelupuk matanya. Rindu, senang, sedih, haru, segalanya berkecamuk menjadi satu. Memang boleh ia sekeren ini di matanya.
Anggukanku membuatnya tersenyum, senyum yang tak akan ku lupa meski akhirnya adalah sesuatu yang ku benci.
''Satu minggu sekali. Mari bertemu untuk saling mengenal.''
''Yah, mari bertemu, satu kali ... ''
...
Dhuk.
Sebuah buku menempel di kepalaku. Aku tersadar dari lamunanku. Aku masih saja memikirkan pertemuanku dengannya. Perasaan senang membanjiriku hingga membuatku kebingungan harus berekspresi seperti apa.
''Cieee ... Tadi dianterin siapa, tuh?''
''Ekhm.'' Aku berdehem pelan lalu memperlihatkan cincinku.
''Wouhhh ... Gila! Lo mah gak bilang!''
Aku terkekeh pelan mendengarnya.
''Jadi orang tuamu?'' tanyanya.
Aku berkedip dua kali, cepat atau lambat mereka harus tau.
Tes.
Hujan tiba-tiba turun dengan deras, guntur dan kilat bersaut-sautan hingga malam tiba.
Fatimah berjalan di lorong rumah sakit hingga temannya keluar dari sebuah ruangan.
''Fatimah bisa bantu sebentar gak?''
Fatimah menengok melihat ruangan yang bertuliskan Lab. Apoteker. Fatimah segera menghampirinya
''Bantu periksa bentar, dikit lagi kok,'' ucapnya.
''Asistenmu mana, Nayy?''
''Biasa ... Cuti.''
Fatimah mengangguk lalu mengambil satu lembar kertas yang berisi daftar obat-obatan. Dari satu obat ke obat lain hingga selesai. nayya tersenyum lalu memberikan beberapa obat-obatan.
''Untuk apa?''
''Stoknya udah mau habis. Sebagai ucapan makasih. Halal kok itu, soalnya memang bagian tugasku. Kadaluwarsanya satu minggu lagi. Dibanding disimpan disini nanti lupa cek tanggal, lebih baik di singkirkan saja.''
Fatimah mengangguk paham. Mereka berjalan beriringan keluar dari rumah sakit.
''Dah, Fatimah.''
Fatimah melambaikan tangannya lalu melangkah pelan. Suasana dingin habis hujan dan malam menusuk kulit, keheningan malam membuat perasaanku tidak enak.
Langkah kaki Fatimah semakin cepat, ia mengenggam erat tasnya.
'Aku takut ... '
Greb.
Tangan kekar menyumpal hidungku, bau obat bius terhirup hingga pandanganku menggelap.
''Ya Allah lindungi hamba.''
...
Samar-samar pandanganku yang memburam semakin terlihat jelas ruangan gelap dengan cahaya lilin. Tangan dan kakiku terikat ... Aku diculik.
BYUR.
air dingin menusuk kulitku, bongkahan es menimpa kepalaku, tubuhku nyeri.
PLAK!
Tamparan keras di pipiku terasa panas. Cengkraman kuat pada pelipisku terasa akan pecah.
''Wanitanya sudah ku tawan ... Dia harus merasakan apa itu keputus-asaan.''
Wajah begis yang taj begitu jelas ku lihat.
'M-mereka bukan preman ... '
Fatimah mundur hingga tembok menyentuh punggungnya.
'Aku takut ... Apa salahku? Kenapa hal buruk sering terjadi padaku? Apa tuhan menghukumku? Siapa yang akan menolongku ... Mereka akan menyiksaku ... Aku takut. Gelap, suram, dingin, sakit.' Semuanya bercampur menjadi satu.
Dhuk.
Tanganku mengenggam sesuatu.
'Tasku ... '
Buat kamu aja ...
Tanganku meraih beberapa suntikan dari dalam tas. Ku pejamkan mataku saar cairan bius masuk dalam aliran darahku. Tubuhku mati rasa, itu yang kurasakan. Apapun mereka perbuat, aku tak akan merasakan apapun.
PLAK!
"Dengar! Saat pagi ia tidak datang, ucapkan selamat tinggal pada dunia ini ... Hahaha.''
Fatimah menatap dengan kosong, matanya nyaris terpejam. Ia mati rasa.
Greeet.
Ia menggertakkan giginya melihat reaksi datar Fatimah.
PLAK!
PLAK!
PLAK!
Sudut bibirku terasa mengalirkan sesuatu, sepertinya itu darah. Kerudungku lepas, sesuatu menusuk leherku.
Brosnya menusuk leher Fatimah hingga berdarah.
Greb.
Tangan kekar menarik rambut Fatimah, menyeretnya ke sebuah ruangan. Ruangan penuh senjata, ia tersenyum sumringan lalu berucap dengan puas, ''Kirimkan pesan. Kalau ia tak mau perempuan yang ia sayang mati tersiksa. Suruh ia cepat bawakan uangnya.''
BUGH.
Ia melempar tubuh Fatimah ke dalan sel tahanan.
''Ingat peraturannya janfab bawa siapapun.''
''Tuan.''
Fatimah menatap datar cambuk yang terbuat dari sisik ular. Ia tersenyum sumringan, ''Tuhan tidak akan pernah meninggalkan hambanya dalam keadaan apapun.''
Melihat hal itu, emosinya memuncak.
CTAR.
CTAR.
CTAR.
Kulitku terasa terkoyak, darah terasa membanjiriku tanpa kurasakan apapun, pipiku membengkak, lututku memerah.
Napasnya memburu dengan mata merah. darah terus menetes dengan deras dari dalam tubuhku. Apa sakit? Nyeri? Aku tak merasakan apapun.
''Pacung tangannya!!''
Saat tanganku mereka pacung, kurasakan tulangku retak. Apa kuteriak saja, sesuai pikir mereka? Tidak! Mereka semua menatapku bagai monster. Tubuhku penuh darah, tapi masih dalam keadaan sadar tanpa rasa sakit ... Seandainya aku tak membantu nayya ... Mungkin diriku sudah mati karena kesakitan.
'Terima kasih pada sang pencipta yang tidak pernah tidur dan selalu melindungi hambanya yang lemah.'
Salah satu bawahannya berbisik. Pria itu tersenyum lalu melirik Fatimah dengan sinis.
''Bawa ia.''
Mereka menarikku dengan tali yang mengikatku. Darahku membanjiri setiap lantai yang ku lalui.
'Apa aku akan mati kehabisan darah ... '
''Mana uangnya.'
Mataku menatap ke arahnya, terbesit amarah dalam diriku.
'Karenanya aku harus mengalami banyak hal buruk.'
Ku tepi pikiran buruk itu, mungkin memang ini takdirku dan ialah yang menyelamatkanku sebagai perantaranya ... Lebih buruk bila diriku diculik oleh perdagangan manusia.
Mataku terasa panas melihatnya penuh darah, lantai terbanjiri oleh darahnya. Seperti apa sakit yang ia alami, tapi bukan pilihan yang baik untuk menghabisi segalanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments