''Kenapa sekarang kau terlihat lesu?'' tanya Niana dengan mata yang tak bisa berhenti menatap Fatimah.
Fatimah menghela napas panjang, ia sendiri juga bingung dengan dirinya. Mungkin ia harus pulang kampung sejenak, melihat tanggal sebentar lagi tahun baru. Keputusan tepat baginya untuk pulang dan mengambil sedikit jatah liburnya.
''Habis putus?''
Plak.
Satu jitakan diterima oleh Niana akibat perkataannya.
''Enak aja!!''
Niana mengusap kepalanya lalu menyesap jusnya. Mereka sedang berada dikantin rumah sakit, menikmati segela jus jeruk dengan seporsi siomay.
''Habis kemarin berbunga-bunga sekarang bagaikan seorang yang kehilangan cahaya matahari.''
''Ekhm, itu hanya perasaanmu,'' ucap Fatimah menggelak, tapi Niana ingat jelas.
''Yaudah terserah.''
''Wahhh kalian asik banget sih . Boleh gabung?''
''Duduk aja, Yus.''
Tanpa berpikir panjang ia duduk disebelah Niana lalu menatap Fatimah dengan pandangan aneh.
''Tadi ada yang nyari kamu loh, cowok ganteng. Terus katanya kamu spesial banget buatnya,'' ucap Yuyus membuat Fatimah terbatuk-batuk.
''Jangan bercanda di siang begini!,'' ucap Fatimah mengelap bibirnya.
Niana memicingkan matanya melihat Yuyus curiga. Seketika ia teringat Laki-laki kemarin yang bersama Fatimah.
''Oh! It-''
''Itu orangnya!'' ucap Yuyus menunjuk seseorang yang mengarah ke meraka membawa setumpuk pesanan. Ia duduk tanpa permisi di sebelah Fatimah.
''Tuhkan bener, pacarnya,'' bisik Yuyus membuat Niana menjitaknya.
''Dia kakaknya!!''
''Hahahaha, dasar kalian. Biar kuperkenalkan dia Ali saudara kembarku.''
Ali tersenyum, senyumnya menyilaukan semua mata.
''Gila! ganteng banget! Baru tau aku sih Fatimah punya saudara kembar,'' bisik Yuyus pada Niana namun masih bisa di dengar oleh Fatimah dan Ali.
''Ekhm, ini buat lo sendiri?'' tanya Fatimah pada Ali melihat ia membeli banyak makanan.
''Tidak, tuh. Bukan aku yang makan,'' Ali berucap dengan santai, lalu menaruhnya didepan Fatimah.
''Ish, pulang gih. Jangan cari masalah.''
Seketika wajahnya berubah sendu membuat Niana dan Yuyus kasihan.
''Fatimah, biarlah ia menemuimu. Kaliankan saudara.''
Ali tersenyum menyeringai lalu memasang wajah kasihan. Fatimah yang melihatnya jadi geram.
''Pulang!! Kamukan punya acara penting!!''
Ali berdecak kesal lalu berdiri.
''Jangan tanya umi sama abby. Awas, loh!'' seketika Ali berubah jadi ganas membuat Niana dan Yuyus terkaget-kaget. Memang saudara yang paling tau watak asli seseorang.
''Fyuhh. Hadeh, aku jadi khawatir.''
Niana memerhatikan Fatimah, meski galak ternyata ia tetap memperhatikan saudaranya, keduanya terharu lalu memegang tangan Fatimah.
''Kenapa kalian berekspresi seperti itu?''
''Ternyata kamu hanya garang didepan saudaramu, tapi aslinya kamu tetap memerhatikannya.'' Yuyus mengangguk dengan mata binarnya.
''Pffft. Perhatian? Yang benar saja. Aku khawatir sama diriku sendiri. Kalian tau kenapa aku bilang begitu? Dia dijodohin sama umi, abby. Tentu saja aku juga takut dijodohin.''
''O,'' mereka ber'oh riah lalu diam saja melihat Fatimah tersenyum mengejek mereka yang salah paham dari tadi.
''Kau beneran gak khawatir sama saudaramu?'' tanya Niana pelan.
Fatimah menghela napas panjang.
''Dibanding khawatir sama dia, Fatimah lebih khawatir sama istrinya nanti. Diakan makhluk paling egois dan keras kepala.''
''Eh ... Bukannya keluargamu ... ''
Mendengar ucapan Niana Fatimah menghela napas pelan.
''Benar, gak salah. Tapi tau sendiri beban kakak paling berat, aku sih bebas karna anak kedua, perempuan lagi. Sebenarnya kakak selalu dibimbing jadi pemimpin dari kecil, sementara aku selalu dimanja-manja dimana-mana. Makanya dia jadi egois kaya gitu, tapi dibanding itu semua fakta paling menyakitkan ia paling menyayangiku dibanding apapun. Kalau aku jadi penerus dipondok pasti aku bakal dijodohin, makanya ia tetap bertahan. Tapi bukan berarti ia bisa mengorbankan segalanya termasuk masa depannya untuk memilih kebahagian sendiri.''
''Jadi kalau bukan dia dijodohin kamu yang dijodohin?''
Fatimah menghela napas berat.
''Masalahnya umi sama abby yang suka sekali sama calon istri kakak. sebenarnya kakak gak perlu dijodohin. Seandainya aku yang terima hak itu, aku sudah pasti dijodohkan untuk mendapat pemimpin yang mendampingiku juga.''
Niana dan Yuyus ikut menghela napas, mereka memakan siomay yang terasa hambar akibat percakapan berat mereka.
''Kira-kira calon istrinya senang, gak yah?''
Fatimah tertawa sejenak lalu berekspresi menyeramkan.
''Kalau aku jadi dia, aku akan menangis darah.''
'Bukan berarti kau tak mau artinya, kan,'ucap Niana dalam hati.
'Dasar, katanya fakta menyakitkan dia paling menyayangimu. Bilang saja kau menyayanginya juga,' ucap Yuyus dalam hati.
Melihat ekspresi temannya, Fatimah tersenyum kikuk lalu menyendok siomaynya dengan kasar.
Ting.
Pesan asing mengalihkan perhatian Fatimah. Fatimah membuka handphone-nya lalu membaca pesan yang masuk.
Kami butuh bantuan.
Fatimah tidak terlalu menghiraukannya, melihat saat ini maraknya penipuan online.
Ddrtt, drrtt.
Handphone Fatimah berdering bertuliskan nama Kean. Dalam sekejap mata Fatimah mengambilnya lalu pergi ketempat sepi.
Hal itu tentu mengundang tanda tanya untuk Niana dan Yuyus.
''Fatimah? Dokter Fatimah?''
Mendengar suara yang berbeda senyuman yang awalnya terukir jadi memudar.
''Hallo?'' tak ad sautan sang penelpon kembali bersua.
''Eh, i-iya. Saya dokter Fatimah.''
''Saya Winter, sebut saja temen Kean. Apa dokter bisa ke alamat yang saya kirim, nanti saya jemput.''
''Kean tidak apa-apa?'' mengingat luka dilengannya kemarin cukup parah, Fatimah jadi khawatir.
''Saya harap seperti itu. Tapi kami tak akan menghubungi dokter kalau sendainya ia baik-baik saja.''
Fatimah berekspresi sedih, terlihat jelas Kean telah mengisi hati seorang Fatimah.
''Saya akan membawa seorang yang lebih ahli. Apa lukanya semakin parah?''
''Tidak perlu orang lain. Cukup dokter yang kemari, soalnya i-''
Bhuk.
Tutt.
Sesuatu terdengar lalu panggilan dimatikan. Fatimah melihat pesan yang bertuliskan sebuah alamat.
Tanpa berpikir lagi Fatimah mengemasi alat-alatnya lalu bersiap untuk pergi.
Niana dan Yuyus saling memandang melihat tekad membara Fatimah meninggalkan mereka.
''Sepertinya itu baru pacarnya,'' ucap Niana pelan. Yuyus mengangguk pelan melihat sikap Fatimah.
......................
Fatimah memandang handphone-nya melihat alamatnya apa sudah benar. Tapi yang didepannya malah rumah tua yang tak berpenghuni dijalan sepi yang menyeramkan.
Kret.
Pintu rumah tersebut terbuka memperlihatkan seorang laki-laki dengan tubuh tinggi, mata biru dengan pakaian yang rapi.
''Saya Winter, mari ikut saya.''
Fatimah kira ia akan masuk kedalam rumah tersebut tapi mereka malah berjalan ketempat lain melewati jalan yang menyeramkan, entah perasaannya tapi seolah banyak mata yang memandangnya.
Winter menghentikan langkahnya membuat Fatimah yang dibelakangnya hampir menabraknya.
Mata Winter terlihat tajam dengan hawa mengerikan lalu hilang dengan perasaan dimata-matai yang dirasakan Fatimah. Mereka menaiki bukit yang curam yang memiliki tangga dibalik pohon lebat yang tak terhitung jumlahnya. setelah turun dari gunung terlihat rumah mewah menghadap kota yang tersembunyi dibalik pepohonan yang besar.
Pintu terbuka setelah Winter menekan sandinya. Fatimah berjalan dengan kagum melihat pemandangannya. Mereka sampai disebuah kamar yang terlihat gelap, Winter menyalakan lampu tidur memperlihat Kean tertidur dengan menahan sakit.
Fatimah bergegas memeriksa kondisinya. Panasnya naik, lalu lukanya terbuka kembali.
''Tidak minum obat, tidak mau menganti perban, geyel buat bergerak sesuka hati, tidak mau makan, suka marah-marah. Dia tidak mendengarkan siapapun belakangan hari ini.'' termasuk Winter.
Fatimah menghela napas, ia membuka perban dilengannya lalu membersihkan lukanya dengan alkohol baru memerbannya kembali. Fatimah mengeluarkan suntikan lalu bersiap menusuknya.
Tung.
Tangan Winter mengenggam tangan Fatimah membuat Fatimah terkejut lalu segera menepisnya.
''Ah, Maaf. Itu apa?'' tanya Winter.
''Obat penurun panas.''
Winter mengangguk lalu mempersilahkan Fatimah melanjutkan. Setelah memberi suntikan Kean terlihat bereaksi entah ia kesakitan atau senang, keningnya berkerut tapi bibirnya tersenyum. Mungkin keduanya benar.
Setelanya Fatimah meminta sebaskom air hangat lalu menggopres di dahinya. Dua jam setelahnya Kean terbangun, ia duduk menatap keduanya dengan tidak senang.
Fatimah seketika berdecak pinggang lalu menghampiri Kean. Melihat itu Winter segera keluar tanpa suara.
Untuk pertama kalinya ada yang berani memerahi Kean karna kelakuannya layaknya anak kecil yang sedang sakit tidak mau berobat.
''Akukan sudah bilang jangan lupa minum obat! lalu kenapa kau tidak menganti perbannya? terus kau kira kain perbannya mampu menahan darahmu kalau kau bergerak sesuka hati? Jangan seperti anak kecil yang tidak mau minum obat! Kalau mau sembuh harus minum obat! lalu kenapa tidak makan? Kau mau mati tidak makan? Setidaknya makan akan membantumu dalam menjaga imun! Mau coba mati? Atau tak sayang nyawa!''
Mendengar celotehan Fatimah yang panjang lebar, Kean hanya dapat tersenyum kikuk menanggapinya. Mungkin bila orang lain ia sudah mencengkram lehernya. Tapi Fatimah berbeda, mata Kean memandang Fatimah memperlihatkan segalanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments