Dentingan musik, saat manusia membebaskan diri tanpa batasa. Kean duduk di kursi ruangan VVIP saat pelayan datang dengan semua fasilitas yang menyenangkan. Kean tetap tak menatap mereka. Minuman yang biasanya ia minum dengan bebas terasa pahit di mulutnya. Perempuan yang biasa ia injak-injak karena menggodanya tak lagi menarik untuk ia permainkan.
Kean telah mati rasa. Melihat sikap Kean, Young yang menemaninya melirik sang pelayan. Pelayan itu mendorong seorang perempuan seksi kepada Kean.
Jiitt.
Tatapan menjijikan dimata Kean dengan sigap Kean menghindar lalu menatap sinis Young.
''EEhhhhh, Aku cuma ingin membantu,'' ucap Young berusaha menyelamatkan nyawa-nya. Kean tidak peduli lalu mengibaskan tangannya menyuruh mereka untuk pergi.
'Gawat. Si bos gak main-main.'
Kean terus menatap gelas itu tapi tak kunjung menyentuhnya, Kean menggeser gelas itu hingga jatuh ke lantai.
Prak.
Pelayan datang membersihkan meja Kean. Dengan sengaja ia menjatuhkan dirinya, berharap Kean menangkapnya.
Kean menghindar lalu mendorongnya ke Young. Young langsung mendorong perempuan itu jauh darinya.
''Bersihkan yang benar,'' ucap Kean dengan jijik.
''B-baik.''
Ruangan VVIP itu terasa suram. Banyak yang mencoba menggoda seorang laki-laki tampan untuk mendapatkan keberuntungan tapi sia-sia karna yang didapatkannya hanya tatapan sinis dan kejijikan.
''Kean! Untuk apa kau kesini! Minum kau gak mau! Perempuan pun kau gak mau!!''
Kean hanya diam menanggapinya. Ia pikir ia akan melupakannya dengan berada disini, menganggap perempuan itu hanya sekedar orang yang berjasa untuknya. Jangankan melupakan, hatinya semakin gelisah dan merasa bersalah. Hatinya berdenyut dan kesakitan setiap perempuan datang menggodanya. Kean merasa bersalah dan semakin jatuh kedalam jurang.
''Lebih baik kita pulang,'' ucap Young menyerah.
Kean langsung berdiri lalu pergi dengan secepat kilat. Young menghela napas lalu keluar perlahan melihat sekitar, memastikan bahwa Kean yang tergila-gila itu tidak membuat masalah.
......................
Ditengah malam yang begitu larut, untuk pertama kalinya ia terbangun tepat jam dua belas malam. Bagai cinderella yang berlari ketika jam dua belas malam. Entah apa yang mengunggah hati seorang Fatimah, ia pergi mengambil air wudhu lalu melaksanakan sholat tahajjud. Dalam sholatnya yang begitu khusyuk, ia berdoa. Doa yang panjang hingga air matanya menetes.
Sang penentu takdir, yang membolak-balikkan hati seseorang. Tiada tuhan selain engkau, engkau melihat manusia berbuat maksiat maka kembalikan kejalan yang benar. Kesesatan yang gelap terangkanlah dengan cahayamu. Bila benang takdir hamba adalah yang tersulit maka mudahkan ia. Bila jodoh hamba bagaikan fir'aun jadikan hamba asiyah yang mencintainya karnamu. Bila jodoh hamba bagaikan rasulullah kuatkan hamba untuk berbagi cinta karnamu.
...
Ketukan demi ketukan tak ada jawaban. Umi Fatimah jadi khawatir akan putrinya.
''Fatimah?''
Fatimah membuka matanya perlahan, punggungnya nyeri. ternyata ia tertidur disajadahnya, kebiasannya ini dari uminya sejak masih kecil.
''Iya, Umi.''
Fatimah merapikan sajadahnya. Mendengar adzan di masjid, Fatimah bergegas mengambil air wudhu.
...
Umi Fatimah memandang putrinya yang berjalan begitu perlahan.
''Suaranya merdu,'' ucap Fatimah pelan.
Umi Fatimah mengedip-ngedipkan matanya lalu tersenyum. Saat sampai di masjid, terlihat Abby-nya mengobrol dengan seseorang yang kini menjadi imam sholat shubuh.
''Fatimah suka dengar suaranya?'' tanya Umi setelah mereka sampai di rumah.
''Suaranya cukup merdu. Memang kenapa Umi?''
Umi Fatimah tidak menjawab hanya tersenyum cengigiran. Fatimah tidak ambil pusing, ia kembali ke kamarnya bersiap-siap. Dia sudah menyiapkan list untuk hari ini karna dua hari lagi ia harus pulang kembali. Malam terakhirnya juga malam tahun baru bersama keluarga.
''Fatimah pergi dulu Umi.''
Umi Fatimah mengangguk lalu menyodorkan tangannya yang disalami oleh Fatimah.
''Hati-hati.''
Fatimah mengangguk lalu naik ke sepedanya. List pertamanya naik sepeda mengelilingi pondok. Lalu berhenti disebuah taman kemudian duduk sejenak merasakan matahari pagi.
Pemandangan santri yang sibuk ditengah-tengah pagi terasa menyejukkan hati.
Libur bagi santri adalah hadiah terindah dan termahal untuk dimiliki. Jangankan libur, untuk bertemu keluarga saja sulit.
Fatimah jadi keingat kenangan lama. Padahal orang tuanya pemilik pondok tapi ia malah ditempatkan dipelosok.
''Hahhhh ... List berikutnya.''
List selanjutnya, makan bubur dipinggir jalan.
''Satu mangkok bubur dengan satu tusuk telur puyuh, porsi besar plus ayamnya.''
''Siap Neng!''
Pagi-pagi Fatimah menyantap buburnya dengan senyum yang tak pernah luntur. List selanjutnya ia pergi ke ... Hutan.
''Hutan memang menyenangkan.''
Fatimah berjalan dengan riang di hutan. Apa yang ia lakukan? Menari seperti orang gila? Tidak, Fatimah mencari sesuatu.
''Ketemu!''
Bunga di pinggir sungai yang berada diujung hutan, itulah tujuan Fatimah. Bunga merah muda yang cantik dipetiknya lalu merangkainya menjadi topi bunga dan sebuket bunga.
List selanjutnya.
''Pak! Antar sampai pinggir parkarangan.'' Naik perahu.
''Neng kenapa gak tunggu dipelabuhan?''
Fatimah mengidikkan bahunya lalu turun perlahan. Itulah kenapa hari ini ia memakai celana dengan baju tunik, kerudung yang hanya sampai perutnya.
Fatimah melihat sungai yang tak berujung. Tepat diujung sekali, terlihat perahu bersandar. Mereka sampai di parkarangan.
''Makasih,'' ucap Fatimah lalu membayar biaya ongkosnya.
Pasar yang ramai dengan autentik laut yang menghiasi. Hiasan laut, kerang laut dan jenis keragaman laut. Hari semakin terik Fatimah berjalan di pasar melayang di pinggir sungai itu. Jalan setapaknya dari bambu dan selalu bergoyang setiap melangkah, tawa harak-piruk adalah hal mengasyikkan dalam mata Fatimah.
Kakinya membawa kepuncak parkarangan melihat laut dan pasar dari dataran tertinggi. Disana terdapat gazebo milik restoran terkenal dengan menu lautnya.
''Saya pesan menunya yang lagi cocok dengan terik matahari,'' ucap Fatimah yang diangguki pelayannya. Mereka paling tau disaat begini apa yang perlu disajikan.
Crass.
Deru ombak dengan angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya. Benar-benar liburan menyenangkan.
Itulah yang dipikirankan Fatimah sebelum seseorang datang mengacaukan list kebahagiaannya.
''Kenapa gak makan Tim?'' tanya Ali memakan lobster bumbu pedas dengan lahap.
''Aku mau makan sendiri! Cari tempat lain sana!''
Ali mengidikkan bahunya. lalu berucap pelan, ''Penuh.''
Fatimah yang lelah berdebat dan tidak ingin merusak harinya akhirnya tetap menikmati liburannya.
......................
''Gak mau mampir?''
Ali menggeleng pelan lalu memberikan sebuah hadiah pada Fatimah. Itu adalah hiasan kerang yang telah dibuat menjadi gelang dan setiap bergerak selalu berbunyi.
''Salamku sama umi.''
Fatimah mengangguk lalu celingak-celinguk melihat sekitar. Tak ada orang yang memerhatikan, Fatimah menarik Ali lalu memotret diri mereka berdua.
''Fatimah!''
Fatimah bergegas pulang. Sampai di rumah, Umi yang duduk dengan rambutannya menengok dengan wajah polos.
''Timah!'' serunya kemudian menepuk di sebelahnya agar putrinya duduk.
Fatimah segera duduk lalu memeluk uminya.
Fatimah memperlihatkan fotonya dan ali tadi lalu menyampaikan salamnya.
''Syukurlah. Umi senang ali baik-baik saja.''
Umi tiba-tiba mendengkus kesal lalu berdecak pinggang.
''Ini semua salah Abby!''
''Abby kenapa?'' tanya Abby tiba-tiba datang. Fatimah seketika langsung menyembunyikan handphone-nya lalu kabur ke kamarnya.
Malam semakin larut, rumah semakin ramai. Banyak santri mulai berkeliaran sana-sini. Malam tahun baru yang dirayakan bersama.
''Abby kipas lebih kencang!!'' teriak Umi membuat Abby berusaha mengipasnya lagi.
Fatimah terkekeh pelan lalu mengipas jangungnya lebih pelan.
''Hangus!!!''
Abby yang mendengar protesan Umi menutup telinganya.
''Nih, Umi,'' ucap Fatimah menyerahkan jangungnya.
Umi Fatimah yang awalnya di sebelah Abby bergeser ke putrinya.
Hari semakin larut, keluarga jauh mulai berdatangan. Tahun baru kali ini juga meriah seperti tahun lalu. Tapi tanpa kehadiran ali, suasana terkadang menjadi canggung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments