Fatimah merawat Kean dirumahnya, terkadang ia bolak-balik untuk mengecek kondisinya.
''Jangan sering terluka.''
Kean yang terbaring tidak bisa menjawab.
Fatimah yang duduk membelakangi Kean sedang membereskan alat medisnya.
''Setidaknya berusahalah tidak terluka. Kalau kau tak bisa melakukannya demi dirimu, demi orang lain yang mengkhawatirkanmu.''
Kean menatap Fatimah yang melangkah menjauh.
Hanya disini ia seperti manusia, tidur tanpa perasaan sebagai seorang mafia. Tidak ada yang menginginkannya mati, hanya seseorang yang menginginkannya hidup.
Malam itu adalah malam ketiga ia dirawat oleh Fatimah, juga malam ulang tahun yang telah ia lupakan.
Ting.
Tepat jam tiga malam, suara langkah kaki membuat Kean bangun terduduk. Fatimah turun melihat Kean.
Baju tidur dengan kerudung besarnya seolah menyindir Kean yang berada dalam kegelapan. Fatimah membawa lampu kecil lalu menaruh disamping meja dekat dengan Kean.
''Apa yang sakit?''
Kean menggeleng pelan lalu menatap Fatimah.
''Berbahaya.''
Fatimah mengedip-ngedipkan matanya tak mengerti.
''Kau lapar?''
Kean menggeleng pelan tapi perutnya tiba-tiba berbunyi.
''Baiklah tunggu disini.''
Kean merutuki perutnya yang bodoh.
Fatimah datang dengan sebuah kue.
''Hari ini aku berencana beli kue spesiak edisi tahun baru. Tapi habis dan hanya ada ini, karna sudah capek-capek mengantri aku beli ini.''
Kean memandang kue ulang tahun yang dibeli tanpa sengaja. Takdir? Kean tak percaya dengan itu.
Fatimah memotong kuenya lalu memberikannya pada Kean.
''Jangan makan banyak-banyak, aku tak ada makanan lain makanya kuberikan.''
Kean makan dalam diam, setelahnya Fatimah mengecek suhu tubuhnya.
''Panasmu turun tapi kenapa matamu merah?''
Karna Kean tak pernah merayakan ulang tahunnya, ia tak pernah makan kue, ia tak pernah diperhatikan seperti itu saat sakit. Yang Kean dapatkan hanyalah 'Penyiksaan.'
......................
Fatimah yang telah rapi menuruni tangga, ia melihat sofa panjang yang telah kosong.
Kean telah sembuh. Dia akan pergi tanpa mengucapkan apapun. Itu yang Fatimah pikirkan.
Ceklek.
Saat Fatimah membuka pintu Rumah, Kean berdiri didepan pintu rumahnya.
''Kukira kau sudah pulang karna sembuh. Apa panasmu naik lagi?''
Kean menanggapinya dengan senyuman.
''Saya menunggu dokter untuk mengucapkan terima kasih.''
Fatimah mengangguk lalu menunggu apa lagi yang ia ucapkan.
Lama sekali Fatimah menunggu tapi tak ada tanda lagi Kean akan membuka mulutnya, ia hanya tersenyum seperti orang bodoh.
''Saya mau berangkat.''
Fatimah berjalan cepat karna merasa risih. Sepanjang jalan Kean mengikuti langkah Fatimah, tapi Fatimah tidak berani menegurnya.
......................
''Sepertinya aku sudah gila.''
Niana dan Yuyus memandang Fatimah yang frustasi.
''Jadi ... Aku merawat seseorang laki-laki dirumahku, Karna ia tak mau kerumah sakit.''
Niana menepuk bahu Fatimah memberi semangat.
''Gak apa-apa. Kan darurat.''
''Kan ada rumah sakit.''
''Tapi ia gak mau. Kalau mati bagaimana?''
''Kan ada keluarganya.''
''Kalau yatim piatu.''
Niana dan Yuyus terus berdebat apa tindakan Fatimah itu sudah benar.
''Tunggu dulu!'' ucap Yuyus dengan serius, ia memasang kacamata detektifnya lalu berpose ala-ala polisi.
''Apa?'' tanya Niana tidak sabaran.
''Ia tidak suka rumah sakit, sesakit apapun seseorang ia akan tetap kesana. Tapi bila ia adalah ...''
''Agen rahasia!'' tebak Niana. Lalu mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
''Ekhm,'' deheman Fatimah menyadarkan mereka bahwa mereka lari ketopik lain.
''Tidak jadi masalah, selama dalam batasan yang wajar. Kitakan dokter.''
Yuyus bertepuk tangan dengan kata-kata bijak Niana.
''Jadi ... ?'' tanya mereka berdua penasaran.
Fatimah mengedip-ngedipkan matanya, ia jadi gelagapan ingin menjawab apa.
''Ohhhh,'' mereka ber'oh riah karna sudah tau jawabannya dari raut wajah Fatimah.
'Cinta tersembunyi,' pikir mereka.
...----------------...
Kean duduk memandang para bawahannya. Mereka semua dikumpulkan entah dengan tujuan apa. Sudah lima jam mereka berdiri dan hanya Kean yang duduk dikursi tempat tertinggi. Matanya selalu memancarkan pembunuhan.
setelah dua belas jam. satu demi satu tumbang Hingga menyisahkan mereka berempat.
Kean berdiri lalu menatap mereka satu-persatu. Kean menepuk bahu mereka menyuruh mereka istirahat. Dalam waktu hampir delapan belas jam, Kean telah membuat keputusan paling berat dalam hidupnya.
Young, Rain, maupun Winter tak bisa menebak jalan pikir Kean.
...
Pagi-pagi Fatimah sudah melihat bayang Kean dibalik jendela, ia berjalan seolah tidak menyadari Kean mengikutinya. Sepanjang ia bolak-balik pulang kerja Kean selalu mengikutinya dari belakang. Saat ingin menengurnya Kean menghilang.
''Hujan.''
Fatimah menunggu hujan reda baru pulang, tapi tak ada tanda hujan akan reda. Dengan nekat Fatimah menerobos hujan.
Syut.
Hujan berhenti membasahinya, Fatimah melangkah pelan lalu berbalik.
Kean dengan pakaian hitam, memegang payung untuknya, membiarkan dirinya kehujanan.
Dengan penuh amarah Fatimah berjalan cepat agar dirinya kehujanan. Tapi Kean selalu berhasil membuatnya tidak terkena setetes pun air.
''Hentikan! Jangan membuat dirimu sendiri jatuh sakit!''
Kean menatap dengan sendu, ia berjalan disamping Fatimah hingga ia tidak kehujanan.
Dalam satu payung itu mereka berjalan perlahan seolah tak ingin berakhir.
''Jangan sakit,'' ucap Kean pelan.
Fatimah terdiam menghentikan langkahnya didepan rumahnya.
''Kau yang sering sakit.''
Fatimah tidak mempedulikan hujannya lalu berlari kerumahnya meninggalkan Kean dengan payungnya. Beberapa langkah itu adalah jarak Kean dan Fatimah.
...----------------...
''Hachu!''
''Aduh, bu dokter kena flu.''
Fatimah cengigiran dihadapan Niana.
Dengan jas dokternya ia pergi konsultasi dengan temannya.
''Gak perlu menatapku begitu.''
Kalau bukan dipaksa Fatimah mana mau.
''Lain kali hati-hati.''
Setelahnya Fatimah tertidur beberapa jam diruangan Niana. Panasnya turun perlahan, wajahnya tidak lagi pucat.
''Makasih.''
Niana mengangguk lalu mengajak Fatimah keluar.
''Udah jam makan. Ayo kita keluar.''
Melihat arah jalan menuju keluar rumah sakit Fatimah bertanya, '' Kita mau kemana?''
''Tentu saja makan.''
''Bakso?''
Mereka berjalan melewati tukang bakso yang sering ia datangi, Fatimah kembali bertanya, ''Kemana?''
''Kafe yang baru buka.''
Mereka sampai tepat diwaktu kafe terbuka.
''Aku traktir. Karna dokter Fatimah yang cantik sudah berhasil melawan flu.''
Fatimah terkekeh pelan, lalu mengangguk setuju.
......................
"Hachu."
Young menatap Kean yang terkena flu. Ia menghela napas panjang lalu menyerahkan sebotol obat flu.
"Reputasimu sudah hancur didepanku.''
Kean tidak menjawab, wajahnya memerah akibat panas. Kean tidak akan ke rumah dokter, karna ia akan dimarahi habis-habisan sakit karna kehujanan.
''Selalu aku saja yang melihatmu jadi begini.''
Tung.
Young menyodorkan pistol ke arah kepala Kean dengan senyum menyeringai.
''T-tidak a-ad-a I-s-si.''
Young menarik pelatuknya dan benar saja tak ada isinya.
''Gagal membunuh seorang Kean.''
Kean tersenyum renyah lalu menutup matanya.
''Jangan lupakan hal ini.''
Cklek.
Pintu tertutup, didepan pintu Winter dan Rain menatap Young penasaran. Mereka dilarang mendekati kamar Kean. Tentu mereka jadi penasaran.
''Apa lihat-lihat!'' ucap Young melangkah pergi.
Rain dan Winter mengidikkan bahunya lalu berhambur pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments