Tidak takut mati, wajah datar, senyum iblis, strategi tinggi, tubuh kuat, keras kepala. Kean adalah anak Kenzo, mafia paling kejam tanpa rasa kasihan termasuk anaknya sendiri.
Kean menatap keatas, satu tangannya berpegangan pada pinggir jalan tol. Kean melompat saat mobil yang ia kendarai berada di jalan tertinggi jalan tol yang akan menurun. Mobil polisi tak akan dapat melihatnya saat melompat.
Kean menarik tubuhnya naik keatas. Ia berdiri tegap dengan sumringan di bibirnya melihat polisi mengelilingi mobil polisi yang tadi ia kendarai kini terbakar dengan asap besar. Garis kuning mereka pasang, tak lama lagi aparat yang lebih tinggi akan datang. Kean berjalan kearah berlawanan, melompat ke rumah yang dekat dengan jalan tol.
Dor.
Bugh.
Kean terjatuh dari atap rumah dengan tembakan di perutnya. Kean mengedarkan pandangannya yang berkunang-kunang.
'Musuh ... '
''Shit!''
Kean berlari dari kejaran bawahan calion.
Shet.
Kean bersandar di pintu rumah seorang warga. Baginya itu adalah tempat teraman, terpencil ke dalam perumahan kota yang sulit ditemukan.
Flasback Off
P
...
''Apakah kamu benar-benar sudah memutuskannya dengan bulat.''
Fatimah mengangguk, ia tidak bisa mengubah apapun. Dia sudah berusaha tapi hasilnya tetap tidak bisa semaksimal apapun.
''Sayang sekali kedokteran kehilangan dokter hebat.''
''Saya hanya dokter biasa yang awam. Cukup bagi saya menjadi pendamping generasi yang akan datang.''
Ckelk.
Pintu ruangan bertuliskan direktur tertutup. Fatimah melangkah pelan dengan ekspresi yang sulit diartikan. Langkahnya terhenti saat jendela besar memperlihatkan anak-anak sedang bermain di taman. Sedang seorang gadis hanya meratapi dengan sedih.
Langkah lembut bagai angin, Fatimah duduk di sebelahnya.
''Muthi, kenapa? Gak mau main?''
Gadis itu menatapku dengan mata berkaca. Ku usap pipinya lalu memeluknya.
''Hari ini mereka bertengkar ... Muthi lelah. Muthi ingin semua kembali seperti semula. Dimana mereka saling menyayangi. Bukannya semakin mengkhawatirkanku mereka malah memperdebatkan siapa yang akan mengurusku ... Muthi capek .... Hugh, hugh.''
Fatimah menepuk bahu Muthi yang terbatuk-batuk.
Aku harus tetap berdiri tegak untuknya memperlihatkan padanya, manusia harus kuat untuk hidup. Dengan lembut kuraih tangannya.
''Muthi kita masuk dulu, yah? Disini dingin.''
Ia mengangguk pelan lalu berjalan perlahan, tanganku mengenggam tangan mungilnya. Ia menatap kedepan tapi tak ada kehidupan di matanya.
Didepan pintu kamar Muthi terdengar suara pertengkaran.
Cklek.
Pintu terbuka memperlihatkan kedua orang tuanya yang bertengkar.
Tes.
Muthi segera menghapus air matanya lalu berekspresi datar, seolah ia telah terbiasa dengan keadaan itu.
''KAU PIKIR AKU SUKA!'' Ibunya melempar vas bunga ke arah suaminya.
PRAK.
Tes.
Jidat Muthi meneteskan darah. Ia tersenyum pilu kemudian menggelapnya. Muthi berdiri tegap layaknya orang dewasa.
''Saya ingin istirahat. Ibu sama Ayah bisa keluar?''
Senyumnya menyayat hati mereka. Muthi menutup pintu kamarnya. Bahunya langsung merosot, ia memandang ke arah Fatimah dengan mata yang telah basah oleh air mata.
Muthi memaksakan senyumnya lalu menempelkan jari telunjuknya di bibirnya. Itu isyarat agar Fatimah merahasiakan segalanya untuknya.
Fatimah mengusap kepalanya lalu melangkah ke laci dekat brankar. Disana ada kotal P3K, Fatimah menepuk brankar agar Muthi duduk disana.
Fatimah membersihkan lukanya lalu menempelkan plaster.
Fatimah duduk di kursi dekat brankar memandang kearah Muthi yang menunduk.
''Mereka lucu, yah? Semudah itu pergi, semudah itu bertengkar. Namun sulit memahami anak mereka. Padahal hidupku mungkin tak akan lama. Bu dokter tidak usah berbohong. Kemungkinan kecil pengidap kanker hidup panjang. Bahkan ada istilah yang kudengar, bahwasannya obat dari penyakit berat itu adalah kematian dan rasanya begitu melegakan.''
Fatimah meremas jas putihnya. Andai, andai saja. Tapi selalu habis dengan kenyataan pahit bahwa ia tak mampu menghadapinya.
''Mungkin, semua mungkin terjadi. Muthi napas yang tak bisa menjelaskan dari mana udara berasal ... Tapi kenapa ada? Jadi ... Semua dapat terjadi.''
Fatimah bangkit memeluk Muthi dengan erat. Ia menghantarkan rasa hangat ke dalam jiwanya.
Sebulir bening kembali membasahi wajahnya yang mungil.
''A-ku ... J-el-ek, Yah?'' isaknya.
Fatimah memandang mata indah itu yang tersimpan kesedihan mendalam.
''Tidak, senyum Muthi bagaikan air hangat yang membasahi hati yang kering.''
Senyumnya menggambang, Muthi membaringkan tubuhnya lalu perlahan matanya tertutup membawanya mengarungi mimpi indah yang tak bisa dicapainya di dunia nyata.
Saat Fatimah keluar dari ruangan Muthi, orang tuanya telah pergi tanpa menunggu seperti apa keadaan anaknya.
...
Perjalanan rumah terasa panjang, entah karena aku merindukannya yang tak lagi bersembunyi untuk menemuiku. Mungkin karena hati nuraniku tersayat kenyataan pahit, bahwa anak sekecil itu harus merasakan derita yang pedih.
Tolong ... Aku ingin hidup.
Trauma yang mengubah mimpiku. Tiap gang gelap akan mengingatkanku akan lumuran darah, tanganku yang gemetaran menyelamatkannya.
''Fat?'' Aku tersadar. Aku harus tetap maju seberat apapun hariku.
Ku senyumi sahabatku, Niana. Ia menemaniku hingga sampai rumahku. Sepertinya ia sadar bahwa aku sedang tidak baik-baik saja. Di hari yang sama, saat duniaku terasa suram. Segalanya membanjiriku bagai lumpur hitam yang mengutuk ketidakberdayaanku.
''Makasih, Niana.''
''Yah. Hati-hati.''
Ckelk.
Rumah sunyi yang terasa dingin menusuk kulitku. Langkah kaki menderetkan bunyi yang terasa menyeramkan. Ku ambil air wudhu lalu melaksanakan sholat maghrib. menghadap padanya. Doa panjang yang tak usai hingga isya datang. Ketidakberdayaanku dan kelemahanku, ingatan menyakitkan yang ingin kuhapus. Ku harap esok akan segara datang, membuatku lupa akan hari ini.
24 Februari yang tak ingin ke datangkan dalam hidupku.
Tubuh berat dengan mata sembab. Ku paksakan tubuhku bangun mengambil air wudhu.
Aku harus bangun sebelum bahuku semakin merosot dan aku tak lagi sanggup melaksanakan sholat isya.
Tubuhku langsung terjatuh dengan pandangan gelap setelah salam. Pandangan berkunang kurasakan dengab suata ayam yang berkokok. Lampu kamarku masih menyala, jam masih berdenting menunjukkan pukul 3:34.
Langkah pelan kupaksakan diriku masuk kamar mandi.
Pukul 6:30.
Mataku masih sembab. Meski sudah ku isi perutku, tubuhku masih lemas. Lagi-lagi aku memaksakan diri.
'Masih ada yang lebih penting dari diriku.'
Langkahku kian memelan saat ku dengar suara pertengkaran dibalik kamar Muthi.
Fatimah menarik napas pelan lalu membuka pintu.
''INI SALAHMU YANG TIDAK PERNAH PULANG!''
''KAU PIKIR MUDAH CARI UANG!''
''TERUS?!! NGURUS RUMAH MUDAH!''
Melihatku datang Muthi mengigit bibir bawahnya dengan wajah memerah menahan malu.
Prak.
Muthi menjatuhkan vas bunga disamping brankarnya. Ia mencabut infusnya lalu berlari keluar melewati Fatimah dan kedua orang tuanya.
Fatimah mengejarnya dengan cepat, tapi langkahnya kalah oleh kecepatan Muthi yang bertubuh ringan.
Saat itu dalam benakku, 'Tidak ada, tidak boleh.'
Darah membanjiri pandanganku membuatku kehilangan Muthi.
Dugh!
Fatimah terjatuh di parkiran, lututnya berdarah memenuhi pakaian dokternya dibagian lutut.
''Dokter Fatimah.''
Orang tua muthi menghampiriku. Mereka berusaha membantu Fatimah.
''TIDAK USAH! BUKAN AKU YANG BUTUH KALIAN TOLONG! TAPI ANAK YANG SEHARUSNYA KALIAN JAGA! BUKANNYA MEMPERBAIKI KESALAHAN. KALIAN MALAH MEMBUAT KESALAHAN KALIAN SEMAKIN BANYAK! MEMBUAT JUTAAN GORESAN LUKA DENGAN MEMPERLIHATKAN KELUARGA YANG SEHARUSNYA TEMPAT TERNYAMAN!!! TAPI!! KENYATAANNYA ADALAH KELUARGANYA ADALAH YANG TERBURUK!!!''
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments