Emosiku meledak, aku gagal sebagai dokter profesional. Panas tubuhku naik, pandanganku memburam, aku tak lagi dapat melihat ekspresi mereka. Kupaksakan diriku bangun, meski kurasakan darah mengalir ke lututku.
Langit semakin terik, panasku kian naik. Batasku sudah hampir habis. Diriku kalang kabut mencari muthi.
Tangan kecil mengil menarik ujung bajuku yang sudah seperti orang gila.
Mataku bergetar menatapnya. Tubuhku memeluknya erat, aku takut kehilangan.
''Sedari tadi Muthi disana. Bu dokter tidak lihat.''
Tes.
Air mataku jatuh, aku dibutakan akan ketakutanku.
''Muthi ... Kamu harus hidup.''
Fatimah melepaskan pelukannya menatap mata yang sayu. Tangan kecilnya mengusap air mata Fatimah.
''Bu dokter jangan menangis. Muthi akan hidup demi Bu dokter tidak menangis lagi.''
Kata-katanya memecahkan tangisku. Aku tahu suatu hari nanti bisa saja ia mengingkarinya. Aku terlalu takut untuk menghadapinya, kejadian yang sama mungkin akan terulang. Karena sejarah selalu terulang.
''Bu dokter jangan menangis, bu dokterlah yang mengajariku harus kuat. Bahwa kematian akan membuat semua orang menangis. Meski menderita, Muthi akan hidup agar semuanya bahagia.''
Setelah beberapa saat, sebuah tangan memegang bahuku.
''Fatimah?''
Fatimah berbalik, ia menatap Niana dan kedua orang tua muthi.
Niana menarikku agak menjauh. Orang tua muthi berjongkok, mereka meminta maaf lalu memeluk muthi dengan erat.
Air mata mereka menetes perlahan, menciptakan tangis yang memilukan. Tiada siapapun yang salah, karena mereka sama-sama menderita.
Muthi berbalik ke arahku, ia tersenyum begitu cerah. ''Aku senang bertemu bu dokter.''
Niana menepuk bahuku. tapi sedetik kemudian seluruh pandanganku memburam.
...
Cahaya menyilaukan mataku, suara dentingan jam bergerak, bau obat, marmer putih.
'Aku di ruang rawat.'
Pandangan Fatimah beralih ke arah kursi penunggu. Kesunyian ruangan padahal mereka berdua. Sang penunggu telah berkelana karena yang ditunggu tak kunjung bangun.
''Nah ... ''
Niana membuka matanya perlahan, lalu sedetik kemudian ia berkecak pinggang.
''Kukira kau yang paling sadar dengan batasanmu.'' Niana tersenyum miris lalu membuka sekotak bubur.
''Nih makan! Untung gw sayang lo. Kalau gak habis kau!''
Fatimah terkekeh pelan lalu mengunyah bubur tersebut.
'Hambar.'
Niana yang melihat ekspresi Fatimah tersenyum mengejek.
''Yah iyalah hambar. Nama juga bubur, terus itu bubur rumah sakit. Bukan bubur ayam di tukang abang-abang.''
Fatimah tersenyum miris. Lebih baik ia makan dari pada perutnya kosong karena dari tadi pagi ia memang belum makan apapun.
''Dasar batu,'' celotehnya.
Fatimah terus mendengarkan omelan Niana, itu tanda kepeduliannya.
''Muthi ... ''
Ekspresi Niana seketika berubah.
''Mereka sudah pergi. Muthi titip pesan ... ''
Bu dokter harus sehat. Muthi tidak mau bu dokter sakit. Muthi sayang sama bu dokter. Saat muthi sembuh, Muthi akan berlari ke arah bu dokter. Bu dokter harus menangkap muthi. Muthi sekarang udah bahagia sama keluarga Muthi. Semua berkat bu dokter. Nanti Muthi akan datang dengan versi terbaiknya Muthi. Muthi akan berikan bunga yang paling besar pada bu dokter.
''Ini.''
Fatimah menarima bunga kecil berwarna putih. Itu adalah bunga taman rumah sakit, tapi bagi Fatimah itu adalah bunga yang paling indah.
''Fatimah ... Lupakanlah. Itu bukan salahmu.''
Niana memeluk Fatimah erat. Ia tau, tapi dirinya tak mampu melakukannya. Tiap ia melihat darah, bayangan kejadian saat itu menghantuinya.
Drttt.
Niana melepas pelukannya lalu mengangkat telepon.
Tuk.
Niana menatap Fatimah setelah panggilan berakhir.
''Yah ... Pokoknya jaga kesehatan. Awas kalau kau batu.''
Fatimah mengangguk lalu menatap kepergian Niana. Suasana sunyi ruangannya membuatnya tidak nyaman.
Fatimah segera mengurus registrasinya lalu pulang ke rumah.
Fatimah meraih ganggang pintu lalu membukanya perlahan. Sepi dan sunyi. Pandangannya beralih ke arah sofa.
'Ia sedang apa dan dimana.'
Pandangan Fatimah berubah sendu. Terakhir kali mereka bertemu saat itu, lalu ia menghilang. Meninggalkan perasaan menganjal di hati Fatimah.
Apa selama ini ia dibohongi, apa semua hanya permainannya. Tapi apa keutungannya? Tiada yang dapat memberitahunya hingga ia hanya bisa mencoba percaya pada tiap hal yang tak lazim baginya.
...
BUGH! BUGH!
Puluhan luka didapat oleh Kean. Kenzo menghajar Kean habis-habisan. Sementara orang-orang hanya diam menyaksikan. Mereka takut untuk menghentikannya. Ada juga beberapa orang yang senang melihat kejadian itu.
Kean menatap kearah saudara juga ibu tirinya. mereka tersenyum sinis, seolah menantikan Kenzo membunuh anaknya.
Kean bangkit lalu mengusap darah dari bibirnya.
''Ayah sendiri yang membuangku! Bukankah lebih baik aku pergi untuk selamanya!"
Kenzo siap melayangkan tinjunya menghabisi putranya.
Kenzo.
Kenzo berhenti tiba-tiba, seolah seseorang telah menghentikannya. Tapi siapa yang berani menghentikannya. Matanya memanas, ia berbalik lalu pergi dengan cepat meninggalkan rumah.
Kean merapikan jasnya lalu keluar dari rumah yang tak lagi menyandang nama sebagai rumahnya.
Senyum Kean mengecut saat melihat sahabatnya menghampirinya. Wajah tak bersahabat, serta kecewa terlihat jelas. Winter bersiap melayangkan tinjunya. Rain menahan Winter lalu menggeleng pelan.
Rain menelan ludahnya berat lalu dengan mata yang penuh keputus-asaan ia berucap, ''Bila itu keputusanmu. Kami gak bisa melakukan apapun.''
Kean tersenyum tulus pada mereka, lalu menepuk bahu Rain. Kean melangkah tanpa berbalik ataupun melirik sahabatnya.
Kean berjalan tanpa kata, demi seorang yang dapat memberinya segalanya. Ia rela kehilangan hal-hal yang telah ia bangun dan perjuangkan. Jutaan kehangatan itu ia cari dan tak ada yang sesama dengannya.
Betapa miripnya ia dengan kehangatan yang selama ini ia rindukan. Pilihan yang ia pilih bukanlah pilihan yang mudah. Tapi inilah yang ia pilih, seorang Fatimah. Perempuan yang berhasil meruntuhkan dunianya. Yah ... Cintanya buta, buta akan segalanya.
''Apapun akhirnya. Aku ingin berjuang demi kehangatan itu.''
Tangisnya ingin kubuat tersenyum, kehangatannya tak ingin kuberikan pada siapapun, senyumnya hanya untukku, perhatiannya milikku, tawanya hanya tertuju padaku. Seegois itu diriku padanya. Tak ingin berbagi, tak ingin memberi. Namun aku juga tak ingin dibenci olehnya. Mata kebencian karena mengurungnya, aku tak mau itu terjadi. Aku ingin ia melihatku dengan mata berbinar, mata yang penuh perhatian, mata yang penuh cinta, kerinduan, kehangatan. Tiap memikirkannya membuatku bertahan dari apapun. Meski dunia menentang cintaku padanya, aku akan tetap melakukannya.
''Fatimah.''
''Kean.''
Namanya selalu teringat tiap malamku berdoa. Seolah doaku tertuju padanya. Dalam dukaku terasa kehadirannya yang sunyi, dalam keheningan seolah ia hadir. Apakah serindu itu diriku padanya. Padahal diriku tak begitu mengenalnya. Ku tatap cincin yang bertaut dijariku. Begitu nekatnya aku menerima lamaran seseorang yang baru kutemui. Padahal seluk-beluk tentangnya pun tidak ku ketahui. Tapi hati nuraniku memaksaku untuk percaya bahwa pilihanku adalah pilihan yang harus ku ambil. Tiap teringat akan kejadian itu. Andai dan berandaiku terus berdatangan. Pertanyaan akan pilihanku hanya karena perasaan semu yang tak jelas. Seharusnya aku menyakinkan diriku baru membuat pilihan. Tapi ... Apa aku menyesal? Satu titik dan detik pun diriku tak pernah menyesal. Lalu siapa yang dapat menjawab kekhawatiranku ini ... Mungkin waktulah yang akan membuktikan tentang pilihanku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments