Setelah pulang dari rumah keluarganya Kean tampak lebih dingin dan tak banyak bicara dibanding sebelumnya.
Kini Kean tengah berdiri memandang bulan dengan tatapan kosong.
''Kean. Kau ingin kemana?''
Kean tidak menjawab lalu meninggalkan Young dengan dingin.
Jarak diantara mereka terasa semakin jauh. Fakta yang lebih menyakitkan, mereka saling menusuk dari belakang. Persahabatan yang dibangun dengan darah hancur dengan hanya selembaran kertas.
......................
Pagi yang cerah, Fatimah bersiap ke rumah sakit. Sudah sebulan ia tidak melihat Kean, mungkin ini akhir dari pertemuan mereka.
Setiap pertemuan ada perpisahan, meski di lubuk hatinya ia sedikit sedih.
Fatimah menyusuri jalan hingga sampai di rumah sakit. Ia menyapa beberapa temannya hingga ke ruangannya.
Dia adalah dokter biasa yang memiliki mimpi besar. Pasien demi pasien datang berkonsultasi.
''FATIMAH!!''
Fatimah menengok dengan perlahan menatap Niana yang panik.
''Pasien anak-anak di kamar 301 ingin melompat ke jendela!''
Fatimah bergegas pergi mengikuti Niana. Pasien yang dibawah naungannya, ia tak akan membiarkannya.
''GIE!!''
gadis kecil itu berbalik. Dengan pakaian rumah sakit, rambut kuncir kuda, ia berdiri di jendela dengan senyuman hangat pada Fatimah.
''Saya capek ... Saya tidak berguna dan tidak memiliki apa-apa. Saya lelah,'' ucapnya pelan.
air matanya menetes dengan senyuman yang kian mengambang.
''GIE! KAMU BERHARGA!''
''Hanya bu dokter yang mengatakannya. Tapi aku senang.'' Gie merentangkan tangannya lalu menjatuhkan dirinya.
'Tidak! Tidak boleh!'
'GIE!'
Fatimah berlari untuk menggapai tangannya namun sia-sia. Pandangan Fatimah seketika menggelap.
Bruk.
''FATIMAH!''
...
''GIE!!''
Fatimah bangun dari brankar rumah sakit.
''GIE!! MANA?!'' Fatimah menarik kerah baju Niana yang berdiri tak jauh dari sana.
''Di-u-UGD.''
Fatimah segera bergegas kesana. Alasan ia menjadi dokter anak adalah karna tidak menginginkan kejadian seperti itu.
Lampu UGD masih menyala, Fatimah menutup matanya, ia terlihat frustasi. Fatimah kira, perhatiannya sudah cukup untuk pasiennya. Ternyata tidak, Gie butuh lebih dari itu semua. Penganiayaan, penindasan, intimidasi telah dirasakan gadis kecil itu sejak lahir. Ia butuh lebih dari sekedar perhatian. Ia butuh pelindung, penyelamat dari keluarga yang seharusnya menyayanginya.
Yuyus menepuk bahu Fatimah memberinya kekuatan.
''Tenanglah.''
''Bantu aku izin, aku yang akan jadi walinya.''
Yuyus mengangguk lalu segera pergi ke bagian administrasi.
Detik berganti jam. Lampu UGD kini berubah dan pintu telah terbuka.
Dokter Ilham keluar dengan wajah sedih.
''Gie tidak apa, kan?'' tanya Fatimah.
Ribuan kali bahkan jutaan kali, ia selalu mengatakannya. Fatimah tidak sanggup melihat pasiennya mati dihadapannya.
''Tenanglah. Lukanya tidak berat, kita harus bersyukur, pihak rumah sakit dengan cepat memanggil bantuan. Gie tidak terluka parah karna ada kasur penyelamatan dibawah tempat ia jatuh.''
''Syukurlah,'' lirih Fatimah.
Tubuh Gie yang masih tidak sadarkan diri dibawa ke tempat inap.
Hati lemah tak akan sanggup menjadi dokter, karna mereka harus mengambil langkah berat untuk kepentingan yang lebih penting. Tapi Fatimah tetap memimpikan sebuah mimpi dimana semua orang hidup tanpa rasa sakit, anak-anak tertawa. Naif, tapi Fatimah tidak ingin ada anak-anak yang menderita.
''B-bu ... ''
Mata Gie memandang langit rumah sakit.
''Gie ... ''
Fatimah menunduk, hatinya menghangat melihat mata gadis itu terbuka.
''Jangan menyepelekan nyawamu. Kalau kau tak punya tempat pulang, temuilah aku.''
Mata Gie menjadi berair, mata yang tampak kosong itu kini berubah sendu.
''Ma-aaf.''
...----------------...
Fatimah berjalan pulang ke rumahnya, langkahnya terasa berat. Sampai kapan ia akan bertahan menjadi seorang dokter yang naif seperti itu. Langkah demi langkah air matanya jatuh.
Sepi, sunyi, siapa yang menyaksikan seseorang meregangkan nyawanya dengan tatapan biasa? tidak ada. Dalam lubuk hati akan ada perasaan yang bergejolak.
Fatimah menatap layar handphone-nya yang tak pernah ia buka.
Pukul 06:02
Temui aku di jam kau tak sibuk. Di tempat...
Fatimah melihat pesan Kean lalu mematikannya.
Tik.
Fatimah melihat langit, gerimis kecil hampir membasahi seluruh jalan. Fatimah berlari ke arah rumahnya sebelum ia basah kuyup.
Sore telah berganti malam. Fatimah membuka kerudung sholatnya lalu memandang ke jendela yang masih hujan.
'Kean tak mungkin masih menungguku, kan?'
......................
Bunga yang Kean beli dari tadi pagi telah layu dan rusak oleh hujan, ia masih setia berdiri disana menunggu kapan Fatimah akan datang. Kean melirik sebuah benda yang ia tadi pegang lalu memasukkannya kedalam jaketnya.
Saat semua orang berlalu dan mulai berteduh, hujan semakin deras hingga menyisahkan Kean dengan guyuran hujan.
'Ia tidak datang.'
Kean tersenyum kecut melihat waktu berjalan cepat, hari semakin larut.
'Fatimah mungkin sudah tidur.'
Ceplk.
Suara percikan langkah yang berlari ke arahnya.
''KEAN!''
Kean mengangkat wajahnya. Fatimah berlari dengan jas hujan membawa payung digenggamannya
''Pakai ini!''
Fatimah menyerahkan payungnya. Kean menatap mata Fatimah dengan lekat.
''Kau datang. Kupikir kau tak akan datang,'' Kean tersenyum, senyum yang menyayat hati.
''Kenapa kau melakukan ini! Hujan deras! Seharusnya kau pulang!''
''Aku takut kau kecewa saat datang, namun diriku telah pulang,'' ucap Kean pelan.
Degh.
Fatimah menundukkan kepalanya. Seharian ia terlalu emosi, perasaannya jadi tidak karuan.
Fatimah melihat bunga Kean yang telah layu, ia meraihnya lalu memeluknya erat.
''Makasih.''
Kean melihat Fatimah memeluk bunga yang telah rusak tersenyum menyedihkan.
''Fatimah, izinkan aku untuk berubah menjadi lebih baik ... Seorang Kean yang tidak cocok dengan Fatimah. Aku mencintaimu.''
Degh.
Fatimah meremas jas hujannya menunduk semakin dalam. Hujan begitu deras, tapi ucapan Kean tergiang di kepalanya.
Set.
Sebuah kotak yang basah itu tersimpan sebuah cincin dengan tampilan sederhana.
''Aku akan berusaha.''
Fatimah mematung mendengar setiap kata yang Kean ungkapkan.
Kean tidak memberi tahu segalanya, tapi itu sudah cukup untuk membuktikan bahwa ia serius.
''Nanti kau sakit. Kita berteduh dulu,'' ucap Fatimah berusaha mengalihkan topik.
Kean menggeleng pelan.
''Aku tidak akan sakit. Aku sudah memutuskannya. Fatimah harus memilih, meski Fatimah tidak memilihku. Seorang Kean akan tetap berubah untuk Fatimah.''
Degh, degh.
Jantung Fatimah berdebar begitu kencang. Benarkah ia boleh melangkah seperti ini. Apakah ini lamaran?
Fatimah menyentuh kotak itu lalu mengambilnya.
'Izinkan saya mencintainya.'
Kean tersenyum cerah lalu melangkah mundur.
''Saya akan menjaganya,'' ucap Fatimah dengan senyum kecil.
Kean menunduk perlahan, dibawah guyuran hujan. Kean memberikan penghormatan seperti seorang ksatria.
''Fatimah. Kean berjanji padamu, akan menjagamu hingga jalanku sudah sesuai denganmu.''
Kean tidak mengatakan apapun lagi lalu pergi di bawah hujan yang lebat. Fatimah memandang dengan perasaan campur aduk.
Apakah yang ia lakukan sudah benar, apakah langkahnya tidak salah. Ia seorang anak kyai tetapi terlalu jauh untuk kata itu.
Fatimah membalikkan tubuhnya mengenggam erat pemberian Kean. Hari esok, Fatimah jadi tidak ingin mendatangkan hari esok. Ia takut semua akan berubah, dan ia akan menangisinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments