Fatimah tidak menyangka akan lembur hingga larut malam. Ia menggelengkan pelan mengingat kejadian yang menimpanya beberapa hari yang lalu.
Fatimah mengeratkan pegangannya pada tasnya.
Ia melangkah cepat keluar rumah sakit, lagi-lagi ia yang terakhir pulang. Memang benar kata orang ia terlalu lambat dan santai dalam mengerjakan sesuatu.
Langkahnya semakin cepat saat memasuki perumahan ia berjalan setengah berlari.
Brak.
''Hei kalau jalan lihat-lihat!!''
Fatimah terjatuh, jantungnya berdetak dengan cepat.
''Dasar!''
Greb.
Laki-laki berwajah sangar itu menarik tas Fatimah hingga putus. Tersadar akan yang menimpanya Fatimah segera berdiri menahan tasnya yang akan diambil. Di dalamnya ada benda berharga yang tidak boleh hilang.
''Lepaskan!!''
''Ho'oh. Kau berani?''
Fatimah menalan ludah melihat tubuh didepannya jauh lebih besar darinya. Wajahnya penuh luka dengan pragai yang terlihat tak bersahabat. Satu kata di pikiran Fatimah, 'Ia preman.'
...
''Wah kemana kau mau pergi?'' Rain tersenyum sumringan menatap mangsanya yang terpojok.
''SIALAN!!''
''Bunuh saja, jangan buang waktu,'' ucap Winter bersandar ditembok.
Young bersiap maju untuk menghabisinya.
Syut.
Sebuah pisau melayang hampir mengenai Young dan Rain.
Jleb.
Mereka melirik kebelakang melihat Kean melemparnya tepat di jantungnya.
''Tidak seru.''
Kean tidak mempedulikan ucapan Rain, ia memilih pergi setelah misinya selesai.
''LEPASKAN!!!''
Kean menghentikan langkahnya, suara teriakan yang mengusiknya membuat jantungnya terasa remuk.
Dibalik tembok besar ini Kean mendengar hal yang ia tak sukai.
Melihat Kean berhenti Winter melihat arah pandangnya dan menajamkan pendengarannya.
Syut.
Tanpa berpikir panjang, Kean melompati tembok lalu sampai digang yang penuh dengan preman. Didepan gang terlihat seorang preman tengah berdebat dengan seseorang. Kedatangan Kean membuat mereka waspada.
''SIAPA!!''
Mereka mengarahkan sebuah balok kayu pada Kean. Kean menghindar dengan lincah lalu berdiri dibelakangnya.
''Apa?!!''
Bugh.
Satu pukulan darinya membuat laki-laki berbadan bongsor itu jatuh ketanah dengan darah dikepalanya.
Melihat rekan mereka yang paling kuat kalah, mereka langsung menyerah. Kean menatap dengan dingin, menginjak setiap tangan mereka yang bersujud padanya.
Mereka hanya dapat berteriak dalam hati, dibanding dipukuli habis-habisan.
''LEPASKAN!!''
Fatimah berusaha melepaskan cengkraman preman itu dari lengannya.
''Kau yang sudah mengusik ketua Laut.''
''Akan kulaporkan pada polisi!!'' ancamnya.
''Hahahah, lapor saja kalau kau bisa selamat.''
Fatimah menggertakkan giginya, tasnya diinjak-injak dan ia malah diperlakukan secara kasar.
''Lepaskan.''
Suara pelan yang membuat merinding dengan ancaman, hawa membunuh terpanjar pada tubuh Kean. Ia memegang bahu preman itu dengan mata menyala.
''Kau si-''
KRTAK!
Suara tulang patah terdengar jelas.
''AKHHHHH!''
Preman itu melepaskan cengkramannya lalu memegang bahunya yang baru saja dipatahkan.
''Berraninya KAU!''
Kean tidak mengucapkan sepatah katapun lalu menendangnya ketempat ia menghabisi para bawahannya.
Bugh.
Darah keluar dari mulutnya, lalu ia pingsan. Reaksi Fatimah melihat itu semua ia bingung juga syok.
Wajah Kean yang datar seketika berubah menjadi ramah melihat keterkejutan Fatimah.
''Fatimah tidak apa-apa?''
Melihat wajah Kean yang baik-baik membuat Fatimah merasa tenang.
''Aku tidak apa, makasih.''
Fatimah memungut tasnya lalu melihat selembaran foto. Wajah Fatimah tampak sendu memandangnya.
''Lebih baik kuantar pulang. Disekitar sini sepertinya berbahaya.''
Fatimah mengangguk lalu berjalan dibelakang Kean. Fatimah tidak tahu bahwa yang paling berbahaya adalah laki-laki yang ada didepannya.
''Cih, kita lagi yang beresin,'' ucap Rain dari balik tembok melihat apa yang dilakukan Kean.
Demi mencegah kehebohan dan ketakutan dari para masyarakat mereka selalu bertindak tanpa menimbulkan ancaman. Kini orang yang mereka bunuh akan dinyatakan sebagai orang hilang.
Waktu berjalan begitu lambat. Kean berhenti didepan rumah Fatimah lalu berbalik.
''Terima kasih sudah mengantarku.''
Kean mengangguk lalu berbalik pergi. Meski terasa dingin, Fatimah tersenyum melihat punggung yang berjalan menjauh.
......................
''Ada hal baik apa?''
Fatimah menengok kearah Niana.
''Hal baik apa?'' tanya Fatimah balik.
''Lah.''
Fatimah memegang wajahnya lalu sumringan.
''Tuhkan!'' Niana mengarahkan wajah Fatimah pada cermin.
'Iya, yah? Kok aku seneng gak jelas gini!!!'
Fatimah menggeleng pelan menetralkan ekspresinya.
Jiiiit.
Niana menatap dengan insten dengan tatapan curiga.
''Kenapa?''
Niana menggelengkan kepalanya pelan lalu menaikkan bahunya meninggalkan Fatimah.
''Niana tunggu dulu!''
''Fa-timah?''
Fatimah berbalik dengan ekspresi bingung melihat siapa yang menghampirinya.
''Kok Lo DISINI!!''
Niana berbalik melihat apa yang terjadi, wajah Niana seketika kebingungan.
''Kalian??''
......................
Setelah hari itu berlalu dimalam yang terang dengan cahaya bulan paling indah, sebuah ketukan ditengah malam membangunkan Fatimah. Ia berjalan perlahan menuju pintu rumah. Langkahnya terhenti saat memikirkan bila yang datang adalah orang jahat.
Tok, tok.
ketukan demi ketukan terdengar lemah.
Bruk.
suara terjatuh membut Fatimah memberanikan diri membuka pintu.
Degh.
Pemandangan pertama yang ia lihat adalah darah yang mengalir dari tubuh seseorang yang telah menyelamatkannya beberapa hari yang lalu.
''KEAN!!''
Fatimah segera memapahnya untuk masuk kerumahnya. Fatimah melihat darah yang mengalir dari lengannya.
''Berapa lama?''
Kean tampak berpikir sejenak.
''Dua belas jam.''
''Apa!! Kenapa kau membiarkannya!!! Bagaimana kalau kau mati kehabisan darah!!''
Kean tertawa renyah sejenak. Melihat tawa Kean, Fatimah menjadi jengkel.
Plak.
Tanpa ragu ia memukul kepala Kean lalu beranjak pergi.
Tak lama kemudian Fatimah turun membawa Perban. Fatimah menghela napas berat melihat Kean tidur dengan darah yang masih mengalir.
Matahari menyilaukan membangunkan Kean yang tertidur. Kean menatap sekitar, namun tak melihat keberadaan Fatimah. Secarcik kertas, obat dengan bubur tergeletak di meja. Kean mengambil kertas tersebut kemudian membacanya secara perlahan, sudut bibirnya terangkat, hatinya menghangat membacanya.
Jangan lupa makan, sama minum obat. Ingat jangan sampai lukanya terbuka lagi. Aku tak membangunkanmu karna tidurmu terlalu lelap. Dari seorang dokter juga untuk pasien sepertimu, Jangan sering begadang dan makanlah makanan yang sehat!
Kean meraih mengkuk berisi bubur lalu memakannya.
'Hambar ... Tapi enak.'
Untuk pertama kalinya bubur yang ia makan lebih enak dari pada makanan mahal yang pernah ia makan selama ini.
Kean bukan tipe yang suka minum obat, tapi kali ini ia menuruti semua perkataan Fatimah. Setelahnya, Kean duduk memandang rumah Fatimah.
Rumah minimalis yang tak mewah juga elegan, sangat berbanding terbalik dengan rumahnya yang mewah, luas, elegan. Tapi Kean merasa lebih nyaman disini, tak ada yang mengincar nyawanya, tak ada yang mengiginkan ia mati, ia tidak perlu berpura-pura seperti orang lain. Harga untuk bisa merasakan itu mungkin adalah nyawanya.
Kean segera pulang sebelum musuh-musuhnya semakin menyadari keberadaannya juga Fatimah. Kean tidak ingin perempuan yang bagai malaikat untuknya terlibat hal-hal yang ia lakukan.
Jadikan ia milikmu, dengan begitu kau bisa melindunginya. Tak akan ada yang mengambilnya juga.
Dhuk.
Kean tersandung batu yang ada didepan rumah Fatimah. Pemikiran buruknya langsung terhenti, menyadarkannya bahwa Fatimah adalah penyelamatnya yang tak boleh ia sakiti dengan keputusan egoisnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments