Beberapa hari telah berlalu, Fatimah mulai berdamai. Kehidupannya kembali tenang seperti semula.
Fatimah tidak lagi memikirkan apa yang telah ia lalui, ia memilih fokus pada mimpinya.
Lain halnya dengan Kean, ia kepikiran hingga matanya seperti panda.
''Ke-''
Belum selesai Young berucap, Kean telah menatapnya dengan hawa membunuh.
Glek.
''Segitu khawatirnya. Kenapa tidak hampiri saja.''
Suasana ruangan tersebut menjadi mencengkam. Young menyenggol bahu Rain yang mengucapkan kata-kata tersebut.
''Gengsi?''
Prak.
Kaca kopi menjadi pecah. Young ingin memotong leher Rain yang membuat suasana ruangan terasa menyeramkan.
Kean berdiri tanpa mengatakan apapun membuat semuanya gemetaran ketakutan.
''Mau kemana?''tanya Rain tidak peduli.
Kean diam, menghela napas, ia terlihat tidak bersemangat sama sekali.
Plak.
Young memukul kepala Rain yang tidak tau diri.
''Melihatnya dari jauh sejenak tak akan terjadi apa-apa.''
Young tersenyum lega melihat kedatangan Winter. Ia yang paling bijaksana dan kata-katanya didengarkan oleh Kean.
Tanpa Kean sadari sudut bibirnya terangkat membuat ruangan terasa bagai bunga bermekaran.
Kean berjalan keluar tanpa mengatakan apapun. Tapi semua orang tahu ketua mereka lagi kasmaran, tergila-gila dengan penyelamatnya.
...
''Yakin gak mau ikut?'' tanya Niana pada Fatimah.
Fatimah mengangguk yakin. Niana mengajak Fatimah untuk makan siang dikantin tapi Fatimah lebih fokus pada pasiennya.
''Mau pesen apa?''
Fatimah berpikir sejenak kemudian menggelengkan kepalanya. Ia sedang tidak nafsu makan, ia juga tidak lapar.
''Berat badanmu nanti turun, hati-hati jatuh sakit.''
''Aku akan makan kalau lapar.''
''Makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang.''
''Iya, aku tahu kondisi tubuhku kok.''
Niana akhirnya menyerah kemudian keluar ruangan Fatimah.
''Assalamualaikum.''
''Waalaikumussalam.''
...
Setelah menyusun berkas-berkas data-data pasiennya Fatimah menyandarkan kepalanya. Ia melihat jam lalu menatap pintu.
Fatimah sedikit menyesal, ia keluar membeli makan. Ia tiba-tiba kangen bakso depan rumah sakit.
''Neng Fatimah mau makan bakso?''
Fatimah duduk dikursi lalu mengangguk pelan. ''Kaya biasa.''
Fatimah menunggu sambil mengirimi Niana pesan.
Aku makan bakso didepan rumah sakit.
Wah kamu jahat, Fat. Katanya gak mau.
Awalnya.
Aku juga mau makan bakso.
Aku beliin sebagai permintaan maaf.
Hahah, makasih. Kamu yang bilang loh.
iya.
''Neng punya pacar yah senyam-senyum sendiri.''
Fatimah melihat tukang bakso yang meletakkan semangkok bakso.
''Enggak Kang. Ini Niana, itu yang suka protesin bentuk baksonya.''
Tukang bakso tertawa pelan lalu kembali melayani pembeli yang lain.
Dari kejauhan, Kean bersembunyi disebuah gang memerhatikan Fatimah. Ia sudah ada didepan rumah sakit selama tiga jam menunggu kapan Fatimah akan keluar.
Kakinya terasa gatal mau menghampiri, Winter yang melihat jelas ekspresi Kean ingin tertawa. Biasanya wajahnya datar, kini malah terlihat jelas.
Bugh.
Dengan iseng Rian mendorong Kean hingga terjatuh. Padahal Kean tak akan jatuh, tapi mereka semua tau kelemahannya ada didepan mata.
''K.A.L.I.A.N!!''
''Kean?''
Kean langsung menenggang mendengar suara yang familiar.
''Ekhm. Gw cuma numpang lewat.''
Fatimah terkekeh pelan lalu mengangguk. Mendengar sesuatu tak jauh dari tempat ia makan Fatimah menengok. Melihat Kean terjatuh, ia menduga Kean menguntitnya lagi, entah benar atau tidak cuma dugaannya.
''Mau makan bakso juga.''
''Bakso?'' Kean melihat kearah belakang Fatimah. Ia tidak pernah makan bakso apalagi duduk disana. Jangankan berjalan di pinggir jalan, keluar dari markas saja cuma untuk melakukan misi.
''Iya, Bakso. Mau?''
Dugh.
Sebuah batu mengenai kepala Kean karna ia tak kunjung menjawab.
''Iya!''
Kean melirik kebelakang dengan sinis, tatapannya mengatakan bahwa ia akan berurusan dengan mereka setelah ini.
Fatimah menyuruh Kean duduk kemudian memanggil penjualnya.
''Mau pesan apa?'' tanya Fatimah.
Wajah Kean seketika menjadi datar. Melihat perubahan ekspresinya, Fatimah malah tertawa pelan.
''Kamu gak pernah makan bakso?''
Kean hanya berdehem menanggapinya. Fatimah berinisiatif memesankan untuk Kean.
''Kalau aku gak suka bakso urat atau telur, sukanya bakso kecil biar mudah dimakan. Mi-nya lebih seneng kalau bukan mi asli dari penjual, biar ada rasanya. Biasanya rasa soto paling enak. Tapi buat kamu aku pesenin urat sama telur terus mi-nya soto.''
Kean hanya mendengarkan, ia mana paham.
''Ini pesenannya.''
Melihat apa yang datang Kean tetap berwajah datar, padahal ia sedang kebingungan bagaimana memakan ini semua. Melihat Fatimah menyendok kemulutnya, Kean melihat bakso yang ia punya lebih besar dari punya Fatimah.
Dengan wajah cool ia menyendok bakso telur ingin memasukkannya kemulutnya. Menyadari sesuatu yang salah, Fatimah menghentikan Kean.
''Kamu mau makan bulat-bulat?''
Kean mengangguk dengan datar.
''Pfffttt, Gak gitu cara makannya.''
Kean tersenyum sejenak lalu kembali berwajah datar.
''Ini dipotong dulu, baru dimakan, kaya gini.''
Fatimah memotong baksonya jadi lebih kecil dengan sendok lalu memakannya. Kean menatap sendoknya, ia memotong daging dengan pisau ia tak pernah menjadikan sendok sebagai pisau. Dengan tenaga ekstrak ia berusaha memotong baksonya.
Plung.
Kean mengedip-ngedipkan matanya, baksonya terbang ke mangkok Fatimah.
Fatimah menahan tawanya, ia memotong bakso milik Kean di piring lain setelah memindahkannya.
''Ini.''
Untuk pertama kalinya Kean merasa tidak berguna. Meski wajahnya datar, rasanya ia ingin membenturkan kepalanya ketembok.
Suapan pertama, Kean mengernyitkan dahinya sesaat sebelum ia kembali berwajah datar.
''Enak?'' mata Fatimah berbinar menunggu jawaban Kean. Meski ia tidak terlalu suka dengan rasanya juga bau dagingnya, Kean tetap mengangguk.
Fatimah menghabiskan makanannya dengan cepat melihat jam makan siangnya akan segera habis. Kean susah payah menelannya, ia tidak suka bau daging kambingnya yang terasa, kua soto yang terlalu berasa tidak cocok di lidahnya.
''Aku pergi dulu.'' Fatimah berdiri hendak pergi, Kean ingin menahannya namun ia segera menghentikannya. Kean ingat bahwa Fatimah adalah...
''Ada yang ingin kau katakan?'' tanya Fatimah melihat mata Kean yang seperti ingin mengatakan sesuatu.
''T-''
Dugh.
Sebuah batu besar terlempar kepunggungnya, Kean berbalik melihat Tiga sahabatnya itu menatapnya dengan mata menyala.
Jangan sia-siakan!!
Seperti itulah arti tatapan mereka.
''Ka-''
Tring.
Handphone Fatimah berbunyi, ia segera mengangkatnya.
Kau di mana Fatimah?
Masih disini.
Bentar lagi rapat dimulai.
Baiklah aku segera kesana.
''Maaf, kalau ada yang ingin kau katakan hubungi aku saja. Aku ada kerjaan sekarang.''
''Boleh?'' Kean bertanya dengan wajah tanpa ekspresi.
Fatimah tersenyum lalu mengangguk.
''Kitakan teman sekarang. Kau bisa menghubungiku kalau ada sesuatu yang penting.''
Ketika Fatimah pergi, Kean rasanya ingin membuat pesta saking senangnya ia. Meski wajahnya datar, Rain, Young dan Winter tau saat ini Kean adalah orang yang paling bahagia.
Saat sampai di markas wajah Kean yang datar berubah menyeramkan.
''S.I.A.P.A Y.A.N.G M.E.L.E.M.P.A.R.K U?"
Mereka saling menunjuk satu sama lain.
''Karna kalian sangat peduli ... Akan kuberi hadiah. Silahkan pergi keruang latihan dan kerjakan Latihan ke sembilan selama dua hari.''
Mereka langsung merinding melihat mata Kean.
''Setidaknya kami membantu.''
Rain dan Young bersorak senang Winter membuka suara.
Kean menatap dengab sinis lalu tidak mengatakan apapun lagi pergi keluar.
''Tandanya ia setuju,'' ucap Winter menerjemahkan.
''Kau yakin?''
Winter mengangguk. Kean hanya terlalu gengsi mengatakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments