Mobil Fatimah telah sampai dipekarangan pondok, suasana yang asri dengan gedung tinggi adalah perpaduan yang sulit diratakan. Beberapa santri menatap mobilnya dengan senang.
Saat sampai didepan rumah, seorang perempuan berkerudung besar berlari kearah mobilnya, senyum mengambang begitu cerah.
Fatimah segera membuka pintu lalu menghampirinya.
Puk.
Pelukan hangat diterima Fatimah, Uminya lebih kecil dibanding ia, kelakuannya juga terkadang mirip anak-anak. Melihat mata Uminya yang berair, Fatimah menangkup wajahnya.
''Fatimah kangen. Umi sehat?''
''Sehat, Umi sehat banget. Terlebih putri Umi yang kecil sudah pulang.''
Melihat kedekatan kedua perempuan yang tak lain istri dan anaknya, Abby menghela napas pelan. Panggilan tak terjawab dari putranya terpampang jelas dihandphonenya.
Fatimah menatap Abby-nya sejenak lalu menghela napas. Fatimah menghampirinya lalu menyalami tangannya.
''Abby sehat?''
Abby mengangguk pelan lalu pergi dengan dingin.
''Abby kok gitu!'' ucap Umi berdecak pinggang.
Fatimah menghela napas, mungkin ini juga sebabnya kakaknya tak mau pulang.
''Putri kita-kan sudah pulang! masa Abby cuek!''
Abby segera menghampiri mereka lalu menarik keduanya masuk kerumah.
Umi melipat kedua tangannya lalu memarahi Abby didepan Fatimah. Abby hanya diam mendengarkan. Setelah Umi selesai marah-marah Abby mengusap kepala Umi pelan.
''Maaf, umi.''
Fatimah tidak ingin ikut campur, karna Abby-nya lebih tau dibanding dirinya.
Fatimah merebahkan tubuhnya yang telah mengendarai mobil selama enam jam.
......................
Kean menghela napas panjang. Beberapa hari lalu ia menguntit rumah Fatimah namun rumah itu kosong sepanjang hari. Rasanya sepi dan tidak mengenakkan.
''Kenapa tuh?'' tanya Rain.
Young mengidikkan bahunya tak tahu.
''Kean, kita ada misi,'' ucap Winter memberikan selembaran mengenai target mereka.
Kean melihatnya sekilas lalu melemparnya, ia berdiri lalu pergi tanpa mengatakan apapun.
''KEAN!!''
Winter menggempalkan tangannya lalu memungut berkas itu kembali. Young dan Rain saling memandang lalu menepuk bahu Winter. Winter menepis tangan mereka lalu pergi dengan sinis.
''Biar aku sendiri yang pergi!''
Young mengejar Kean sedang Rain mengejar Winter. Persahabatan yang mereka bangun tidak boleh rusak hanya karna masalah sepele.
''Kean, ada apa denganmu?'' tanya Young pada Kean yang duduk dibatu besar dekat pohon pinus.
''Entahlah ... Rasanya disini kosong,'' ucap Kean menunjuk dadanya.Young menepuk bahu Kean lalu duduk disebelahnya.
''Bagimu dokter fatimah itu siapa?''
Kean berpikir sejenak, 'Ia adalah malaikat penyelamatnya, perempuan yang telah memberinya kehangatan, tidak memandangnya sebagai siapapun.' Tapi lebih dari itu Kean tak dapat menemukan kata yang lebih tepat untuk mengartikannya.
''Apakah seorang Kean mencintainya?''
Kean juga tidak menjawab ia tidak dapat menemukan jawaban bahwa ia hanya menganggapnya penyelamatnya, ia tidak bisa menyangkal bahwa Fatimah adalah perempuan pertama yang Kean inginkan untuk bahagia lebih dari siapapun.
''Kau rindu?''
''Apa ini rindu?'' tanya Kean balik.
''Aku ingin melihat matanya yang bersinar, senyumnya yang cerah tanpa maksud apapun. Setiap katanya terasa manis, ekspresinya menggemaskan, suaranya merdu. Meski hanya sebentar aku ingin melihatnya.''
Young menghela napas pelan.
''Temuilah ia.''
Kean menggeleng pelan.
''Aku tidak tahu ia dimana. Aku pergi ke rumahnya tapi tidak menemukannya.''
Young menepuk kepalanya pelan.
''Kean masa kau lupa! Kita ini siapa?!! Begitu saja kau tak bisa!!''
......................
Malam tahun baru, Fatimah mempersiapkan ikan juga jagung bakar untuk merayakannya.
''Fatimah!''
Fatimah menengok lalu terkejut melihat Uminya datang dengan sekarung rambutan.
''Umi barusan ambil dipohon belakang.''
Fatimah tertawa pelan lalu melirik Abby-nya.
''Fatimah masih ada kerjaan. Tuh Abby gak sibuk,'' ucap Fatimah segera kabur.
Abby yang sedang membaca koran melihat Umi lalu kembali fokus.
''Abby gak mau?'' tanya Umi dengan mata binarnya. Mau tak mau Abby menemani Umi makan rambutan.
...
Fatimah duduk di gazebo memandang ke langit. Perasaan sepi dan entah apa yang ia rasakan.
Saat santri putra pulang dari sekolah, Fatimah memandang mereka. Baju koko putih dengan sarung hitam dan peci hitam.
'Kalau Kean ... '
Drt.
Handphone Fatimah berbunyi, sepertinya jaringan handphone-nya sudah stabil.
Panggilan tak terjawab dari Kean beberapa kali masuk dan panggilan dari kakaknya dua kali, yang tadi adalah dari kakaknya.
Drtt.
Fatimah mengangkatnya lalu berbisik pelan.
''Assalamualaikum, kak.''
''Waalaikumussalam. Tim, dirumah?''
''Diluar.''
''Kebetulan, temui aku dikafe.''
Fatimah melihat panggilan yang tertutup lalu menatap rumah. Melihat Umi dan Abby-nya yang fokus pada rambutan, Fatimah pergi dengan cepat.
...
''Kenapa?'' tanya Fatimah.
Tanpa aba-aba Ali menariknya lalu memotretnya.
''Kak!''
Ali menyuruh Fatimah diam.
Fatimah melipat tangannya lalu menatap dengan tajam.
''Ekhm, makasih. Yaudah sana pulang.''
Fatimah tercengang lalu berkecak pinggang sambil menepuk-nepuk pipi kakaknya dengan menu kafe.
''Traktir.''
''Pake uang sendiri.''
''Gak apa-apa, tadi umi sama abb-''
''Oke! Pesan aja!''
Fatimah bertepuk tangan dengan senang, ia memesan menu favoritnya kue coklat yang super duper besar.
''Kalau sakit gigi salah sendiri.''
Fatimah tidak mempedulikannya.
......................
'Wah, beneran sih, Kean.'
Young menatap jalanan yang dilalui. Kean beneran mencari Fatimah, tapi kenapa ia juga harus ikut.
Young menatap pagar bertuliskan pondok pesantren. Mata Kean tak lepas dari sana, belum lama mereka berhenti didepan, terlihat sosok familiar masuk kedalam pondok.
Dialah Fatimah yang telah pulang dari pertemuan tersembunyinya dengan kakaknya.
Mata Kean berubah sendu, ia melihat senyum Fatimah mengambang, jauh berbeda dengannya. Dunia mereka terlalu jauh, tak ada jalan manapun bisa ditempuhnya.
''Ayo pulang Young.''
Young menatap wajah Kean yang datar, sepertinya sahabatnya itu tertampar begitu kencang. Meski tau dunia mereka berbeda, cinta tetap membuat Kean tidak bisa lepas darinya.
...
''Kau sudah pulang?'' tanya Winter dengan darah menetes di wajahnya.
Kean melihat pemandangan mengerikan di depannya dengan dingin. Ia memandang anak buahnya yang berlumuran darah berlutut pada Winter.
Tak.
Winter menginjak kepalanya tanpa rasa kasihan.
''Bukankah ia harus menderita dulu baru mati?''
Rain hanya diam memandang kesadisan Winter.
''Pengkhianatan ini harus dibayar setimpal.''
Kean mendekati Winter lalu menarik orang tersebut menatap matanya.
''Berapa banyak yang kau perbuat!''
''Katanya tidak banyak. Hanya memberikan informasi mengenai kelemahan ketua mafia.''
Mata Kean memanas, ia menghantamnya kelantai lalu menginjak dadanya dengan sadis.
''Kau akan menyesalinya.''
Rain menatap sinis Winter yang tersenyum senang. Young menepuk bahu Kean lalu berbisik pelan.
'Jangan mengotori tanganmu dengan sampah.'
Kean berdecak kesal lalu pergi begitu saja. Untuk pertama kalinya Young didengarkan oleh Kean. Rain yang tidak tahan lagi mendengar jeritan dan senyuman Winter yang psikopat melayangkan pisaunya menusuk jantungnya.
''RAIN!!''
Rain tidak menanggapi lalu memilih pergi. Banyak yang berubah, tapi hanya Kean yang tidak berubah.
Dunia yang mereka tapaki kini akan terguncang kembali. Entah akan berubah kearah mana, Rain tidak akan memilih jalan yang membuatnya menderita.
Persahabatan mereka perlahan telah pecah bahkan sebelum mereka menyadarinya. Atau bahkan mereka tak pernah bersahabat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments