Cinta Dalam Perselingkuhan
"Mau sampai kapan kamu mempertahankan perempuan yang tidak bisa memberikanmu keturunan?" Ucap wanita paruh baya didalam bilik kamarnya.
"Bu, aku lagi banyak masalah di kantor. Harusnya Ibu tidak terus-terusan menanyakan hal yang sama padaku, apalagi disaat seperti ini, memangnya Ibu tidak lelah?"
Tok tok tok ... Nayla mengetuk pintu kamar dengan pelan.
"Bu, Mas, makan malam sudah siap." Nayla memanggil suami dan ibu mertuanya untuk makan bersama.
.
.
.
Nayla hanya membolak-balik nasinya dipiring, ia tampak seperti orang yang telah kehilangan selera makan. dengan pandangan sedih, fikirannya telah berkecamuk tak karuan. Bagaimana tidak, walaupun mungkin hanya sekilas perkataan yang ia dengar, namun tetap saja membuat hatinya serasa teriris mendengar percakapan suami dan ibu mertuanya tadi.
Apa maksud ucapan Ibu pada Mas Bian. Aku tak menyangka Ibu bisa mengucapkan hal seperti itu tentangku. Perkataan Ibu tadi seolah-olah memberitahukan pada Mas Bian kalau aku ini adalah perempuan mandul! Sungguh sangat keterlaluan. mata Nayla mulai berkaca menahan air mata.
.
.
.
Sudah berhari-hari Nayla tak banyak bicara di rumah, Ia hanya mengisi kesehariannya dengan menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah. Selepas Nayla mengerjakan pekerjaan dirumah, ia pun kembali menghabiskan waktunya dengan mengurung diri didalam kamar.
.
.
.
"Coba tegur istrimu itu! Sudah berhari-hari kerjaannya hanya didalam kamar saja. Ngapain sih dia? Hari baru pukul 8 malam. Masa iya sudah tidur," cibir Bu Siti.
"Biarin ajalah Bu, yang penting kan dia sudah menyelesaikan tugasnya dirumah. Mungkin saja dia lelah, makanya memilih tidur lebih awal." Jelas Bian.
"Itulah Bi, Kamu selalu saja membela istrimu itu! Untuk apa sih Kamu memanjakan perempuan itu? Kamu nggak bakalan dapat apa-apa dari memanjakan dia!"
"Nggak usah mulai lah Bu! kenapa sih, Ibu seperti itu pada Nayla. Memangnya Ibu tidak merasa kasihan padanya?" Balas Bian.
"Apa, kasihan— Kamu lihat adik Kamu! dia sudah punya anak. Memangnya Kamu tidak malu didahulukan oleh adik sendiri?"
"Sudahlah Bu— dari pada aku melawan Ibu, Lebih baik aku pergi tidur juga." Bian berlalu pergi kekamar meninggalkan ibunya.
.
.
.
Nayla buru-buru mengusap air matanya saat mengetahui Bian mendatangi kamar mereka, lagi-lagi ia harus mendengar hal yang menyakitinya. Hatinya sangat sakit mendengar semua ucapan mertuanya tadi. Jelas saja dia mendengarnya, Bu Siti seolah sengaja membesarkan nada suaranya agar terdengar oleh Nayla.
.
.
"'Nay, kamu belum tidur?" Bian memegang bahu Nayla.
"Sudah, Mas. Aku hanya terbangun." Jawab Nayla tetap dengan posisinya yang menghadap tembok, Nayla tak ingin suaminya melihat matanya yang telah sembab.
"Yasudah, kalau begitu tidur lagi ya." Bian mengecup kepala Nayla dan berbaring disampingnya.
...----------------...
Hari sudah pagi, Bian yang telah bersiap untuk pergi bekerja, mencoba membangunkan Nayla.
"Nay, mas berangkat kerja dulu."
Sontak Nayla langsung duduk ditempat tidurnya dan melihat jam yang telah menunjukkan pukul 07:00 pagi.
"Maaf, Mas. Aku kesiangan. Bagaimana ini? Apa aku masih sempat membuatkanmu bekal?" Ucap Nayla memegang kepalanya yang sedikit pusing.
"Nggak usah Nay, tadi sudah dibuatkan Ibu. Sepertinya kamu sakit, Wajahmu pucat sekali. Kalau Kamu merasa tidak enak badan, lebih baik kamu lanjut tidur lagi! nanti, kalau ada apa-apa kasih tau Mas ya." Bian mengecup kening Nayla sembari membaringkannya kembali ketempat tidur.
Nayla merasa tenang dengan sikap suaminya yang masih sangat perhatian padanya. Walaupun kini Ibu mertuanya telah banyak berubah, setidaknya suaminya masih menyayanginya.
Aku bersyukur sekali, mas Bian masih begitu memperdulikanku. Walaupun ibu sekarang sudah berubah, setidaknya mas Bian tidak terpengaruh.
Nayla kembali melanjutkan tidurnya.
.
.
.
Sudah hampir tengah hari, Nayla bangun dan pergi ke kamar mandi.
Nayla yang telah beranjak keluar dari kamar mandi, melihat Bu Siti tengah duduk dimeja sambil memotong sayuran.
"Baru bangun Nay?" Tanya bu Siti dengan nada yang sedikit sewot.
"Iya, Bu. maaf ya Bu, Aku sudah membuat Ibu repot tadi pagi,"
"Bukannya semalam kamu tidur cepat ya, kok bisa kesiangan sih? Untung saja kamu tidak hidup dijaman Ibu. Kalau jaman Ibu— mana ada menantu yang berani bangun siang dirumah mertua, kalaupun ada. Pasti disimbur air biar tidak jadi kebiasaan!" cibir bu Siti.
"Aku pamit kekamar dulu Bu." Nayla yang tidak ingin menanggapi ucapan mertuanya, memilih pergi kekamarnya untuk memakai busana.
Dasar menantu belagu, mentang-mentang dibelain anak saya. Mulai berani ngacangin omongan saya! oceh Bu Siti dalam hati.
Nayla segera memakai pakaian dan mengeringkan rambutnya. Ia hanya sibuk mengeluhkan nafas panjang sedari tadi.
"Baru juga sekali aku bangun siang, tanggapan Ibu sudah seperti itu. Padahal aku hanya merasa tidak enak badan makanya sampai kesiangan seperti tadi,"
"Naaayy, kalau kamu sudah selesai tolong bantu Ibu ya." Teriak bu Siti.
"Iya, Bu."
...----------------...
Di kantin kantor. Bian, sedang makan siang bersama rekan kerjanya.
"Kudengar-dengar— adikmu sudah punya anak, Apa iya?" ucap Dani.
"Kamu dapat kabar dari mana?" Tanya Bian.
"Dari istriku, dia diceritain sama ibunya. Yakan kamu taulah, mertuaku dan ibumukan tetanggaan."
"Yah, begitulah." Bian menjawab singkat.
"Lucu juga ya, adikmu yang baru menikah 2 bulan tau-tau sudah punya anak. Sedangkan Kamu, yang lebih dulu tiga tahun malah belum bisa memiliki anak," ucap Rio yang juga ada disitu.
Bian menaruh alat makannya dan berdiri dengan wajah kesal.
"Maksudmu apa, bicara seperti itu?" Tanya Bian dengan nada tinggi.
Bian cukup tersinggung dengan ucapan Rio hingga membuatnya sangat kesal dan memilih pergi meninggalkan kantin untuk meredakan emosinya.
Walaupun ia tersinggung, namun Bian merasa ucapan Rio ada benarnya. Ia merasa malu karna didahului oleh adiknya.
...----------------...
"Tolong kamu bersihkan kamar Mike ya! Sudah 3 bulan dia tidak menempati kamar ini, pasti banyak debunya. Sekarang ya!" Perintah bu Siti.
"Iya, Bu." Nayla mulai membersihkan kamar itu, padahal perutnya sedikit lapar, karna belum memakan apapun sejak pagi.
Dengan badan yang mulai terasa lemas ia tetap memaksakan diri, untung saja kamar Mike tidak begitu besar hingga ia bisa segera menyelesaikannya.
Walaupun kamar itu kecil, Namun debu-debunya banyak sekali. Belum lagi pakaian-pakaian yang bergeletak dimana-mana. Kerjaan yang tadinya biasa saja, terasa berat bagi Nayla dengan kondisinya yang tidak begitu sehat.
Selepas ia membersihkan kamar, laparnya justru telah hilang— hingga ia lebih memilih kembali kekamarnya untuk beristirahat.
"Manasih si Nayla, Pakaian kotor Mike malah cuma ditaruh dikeranjang bukannya dicuci." Cibir bu Siti.
Pasti tidur lagi, baru bersihkan kamar saja sudah pergi tidur lagi. Dasar pemalas! Geram bu Siti
Bu Siti pergi mendatangi kamar Nayla untuk membangunkannya. Namun pintu kamarnya terkunci.
"Sialan, pake dikunci segala."
Buk buk buk.. Bu Siti mengetok pintu kamar nayla dengan keras.
"Nay, kamu tidur lagi? Kenapa pakaian kotor tidak dicuci? Coba lihat jam berapa ini! Kamu belum masak, nggak lama lagi Bian datang." Teriak bu Siti.
Nayla keluar dengan lemas.
"Maaf Bu, aku nggak enak badan."
"Ya ampun Nay, baru juga bersihkan kamar sudah nggak enak badan. Sana pergi masak! ibu mau jalan dulu sudah janjian sama bu Maya. Oh iya jangan lupa pakaian yang dikeranjang itu dicuci. Jangan cuma ditaruh begitu! Kamu ini malas sekali." Bentak bu Siti.
"Baik, Bu."
Dengan badan yang lemas, Nayla kembali mengerjakan semua yang dipinta mertuanya itu.
"Ini pertama kalinya ibu memarahiku terang-terangan."
Sikap ibu mertuanya yang dulu sangat menyayanginya kini telah berubah total.
Semakin Nayla mencoba untuk tenang, air matanya justru mulai berjatuhan.
.
.
Apakah di dalam pernikahan diwajibkan untuk mempunyai anak, apa aku diterima sebagai menantu hanya untuk memberikan keturunan? Siapa yang tidak ingin mempunyai anak, aku juga ingin. Namun aku bisa apa, kalau memang aku belum diberi kepercayaan untuk memiliki keturunan!
Nayla menangis sembari memukul dadanya yang begitu sakit dengan sikap mertuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments