Appart

"Sudah lama sekali kita tidak pulang ke Appart mas, aku jadi bersemangat."

"Syukurlah, Nay. Mas senang, melihatmu kembali ceria begini."

Mereka memasuki lift, bersama.

Bukankah itu, Nayla. Ahh— tidak mungkin, aku pasti salah lihat. lirih Arnold yang sekilas berpapasan dengan Nayla.

Arnold mecoba kembali menoleh untuk memastikan penglihatannya, namun pintu lift sudah lebih dulu tertutup.

Nayla dan Bian yang telah sampai di Appart mereka, langsung masuk untuk membuka kain-kain yang membungkus perabotan yang ada.

"Untung saja kita bungkus ya mas, kalau nggak pasti sudah berdebu banget. Kayaknya hari ini aku harus beres-beres, supaya malam nanti kita tidurnya nyaman."

"Iya Nay, mas bantuin. Oh iya, kita pesan makanan aja ya. Mas, nggak mau kamu cape. Jadi kamu fokus beres-beres aja!"

"Makasih, ya— mas. Kamu sangat perhatian."

"Sama-sama, sayang." Bian mengelus kepala Nayla.

.

.

...----------------...

.

.

"Silahkan tanda tangan disini,"

Arnold menandatangani dokumen pembelian Appart.

"Selamat ya pak, bapak salah satu customer saya yang beruntung bisa membeli appart dengan harga yang terbilang murah."

"Sama-sama pak, dari awal saya datang. Memang sudah merasa sangat cocok, apalagi— penghuni lamanya, sepertinya sangat merawat appart ini." ucap Arnold.

"Betul, pak. Kebetulan— yang tinggal disini kemarin adalah seorang perempuan. Dia terpaksa menjualnya karna mau pulang ke kampung untuk merawat orangtuanya. Saya kenal dekat dengan pemilik sebelumnya, oh iya— kalau begitu. Saya pamit dulu pak, semoga betah." Ucap pria itu dan pergi meninggalkan Arnold.

"Okee, sekarang tinggal mencari tempat untuk membuka klinik."

Arnold yang merasa sangat bergembira karna akan membuka klinik pribadinya.

Pergi kerumah nenek Emma untuk memberi kabar itu.

Arnold tampak sengaja memasuki gang, melewati rumah Nayla.

Ia membawa mobil dengan pelan sambil menengok berharap melihat Nayla, namun ternyata ia tidak melihatnya.

"Sepertinya— dia, ada didalam." Ucap Arnold.

Wanita itu sungguh mengusik fikiranku akhir-akhir ini. oceh Arnold dalam hati.

"Nek," panggil Arnold yang sudah memasuki rumah nek Emma.

"Nenek di sebelah," teriak nek Emma yang sedang menyusun barang di apotek.

"Syukurlah, kamu datang. Tolong susunkan obat yang ada di dalam kotak itu! Pinggang nene rasanya mau patah, karena banyak tunduk saat mengambil barang."

"Nek, saya mau beli resep yang biasa ya." Ucap bu Siti yang telah memasuki apotek.

"Bu Siti, tumben sekali. Biasanya Nayla yang mengambilkannya?" Tanya nek Emma.

"Nayla, sudah nggak ada nek. Makanya saya yang datang, Nayla kembali ke tempat tinggalnya yang kemarin bersama Bian." Jelas bu Siti.

"Wah, itu bagus sekali."

"Bagus gimana sih, nek. Dia terlalu malas untuk mengurus ibu mertuanya yang sakit-sakittan ini, makanya pergi."

"Tidak baik, melarang anak yang ingin pulang kerumahnya sendiri. Siapa tau, karna setelah sekian lama tidak berduaan— mereka bisa mendapatkan momongan, seperti yang bu Siti, mau."

Momongan, momongan, perempuan kalau memang sudah mandul ya tetap mandul. Bicara apa sih nek Emma ini, bikin saya kesal saja. celoteh bu Siti.

"Ini obatnya,"

"Makasih, ya nek."

"Ha ha ha haaa.." Arnold tertawa.

"Apa yang kamu tertawakan?" Tanya nek Emma

"Tidak, ada. Hanya saja— wajah bu Siti tadi, terlihat seperti tidak terima saat nenek menasihatinya."

"Biarkan saja, dia memang harus sekali-kali dinasihati agar sadar." Jelas nek Emma.

.

.

...----------------...

.

.

"Ya ampun, banyak sekali tumpukan piring kotor."

Ucap bu Siti yang melihat wastafelnya dipenuhi alat makan yang kotor.

"Mikeeeee, Mikeeee," teriak bu Siti.

"Kenapa, bu."

"Coba kamu lihat ini!"

"Apanya bu?" Mike bingung.

"Ini loh— piring kotor, numpuk begini. Tiara ngapain sih, kok piring nggak di cuciin?"

"Aku nggak salah dengar, Bu? Ibu nyuruh Tiara?"

"Kalau bukan Tiara, memangnya siapa lagi!"

"Bu, Tiara mana bisa Bu— dia kan ngurusin Mikayla.”

“Waktu kamu sama Bian masih kecil aja, ibu bisa kok ngerjain pekerjaan rumah. Masa Tiara nggak bisa! Manja banget.”

“Yasudah Bu, karena Ibu dan Tiara tidak bisa— untuk saat ini, Biar aku yang bersih-bersih dirumah. sampai kita dapat pembantu. Tapi, aku minta tolong sama ibu, untuk tetap masak ya. Tiara itu nggak tau masak, aku trauma memakan masakannya.”

Kenapa siih, anak-anakku mendapatkan istri yang nggak ada gunanya semua. Yang satu rajin, tapi mandul! Yang ini pula, punya anak tapi pemalas dan tidak tau apa-apa. Sial sekali hidupku! oceh bu Siti.

“yasudah kalau begitu, cepatlah cari pembantu untuk ibu!”

.

.

...----------------...

.

.

“Mas, makanannya sudah datang. Ayo makan!”

Nayla dan Bian akhirnya bisa makan setelah seharian membersihkan rumah,

“Nnymmmm.. sudah lama sekali kita tidak makan burger langganan kita.” ucap Bian.

“Iya, mas. Momen-momen seperti ini adalah yang paling aku rindukan saat berada dirumah ibu. Kita beres-beres bersama, masak bersama, kita banyak melakukan hal bersama. Saat dirumah ibu, aku mengerjakan apapun selalu sendiri.”

“Maaf, ya sayang. mau tidak mau kita harus mengikuti tradisi ibu! Dari pada harus mendengar ocehannya lebih baik di turuti bukan. Yang penting, Sekarang kita sudah kembali, jadi— mari kita menebus semua hal yang telah lama tidak kita kerjakan bersama.” ucap Bian sembari menggenggam tangan Nayla.

Nayla tersenyum manis,

“Kalau kamu sudah makan, bagaimana kalau kita membersihkan diri bersama.” Bisik Bian

Nayla terkejut dengan bisikan Bian hingga membuat pipinya merah seketika.

setelah sekian lama, akhirnya mas Bian mengajakku lagi. batin Nayla.

Malam yang telah dirindukan Nayla, akhirnya terwujud.

Perlakuan ibunya terhadap Nayla, telah kembali menggerakkan hati Bian untuk lebih menyayangi istrinya.

Saat-saat ia sempat bosan melihat istrinya, kini telah musnah dan tak memperdulikan penampilan lagi.

Jelas saja, ia tak perduli. Karna ia sadar perlakuan ibunya yang memperlakukan Nayla seperti babu, membuat Nayla tak sempat untuk merawat diri lagi.

Kini, tatapan yang tadinya kosong kembali berbinar. Mereka yang telah bersama di dalam bathub kamar mandi, kini saling bertatap lembut.

Bian yang kini tidak tahan melihat Nayla, mulai menyentuh tubuh Nayla yang tak lagi dibaluti kain apapun.

Hanya sentuhan pelan telah membuat Nafsu Nayla mulai tak bisa ia kontrol.

Desahan lembut itu langsung keluar saat Bian mengecup lehernya dengan mesra, Bian yang merasa Nafsunya sudah sangat tinggi— tanpa fikir panjang, langsung menyatu dengan Nayla.

.

.

...----------------...

.

.

Dimana Nayla sekarang ya— batin Arnold yang mulai merindukan wajah Nayla.

“Ada apa sebenarnya denganku, aku tidak boleh seperti ini pada istri orang lain. Aku harus mencari cara, agar tidak terlalu mengingatnya!”

Walau baru bertemu beberapa kali, Nayla mampu membuat Arnold selalu terbayang-bayang wajahnya. Apa lagi, saat terakhir mereka bertemu. Tawa lepas Nayla begitu melekat di hati Arnold, bagi Arnold, Nayla adalah wanita pertama yang memiliki tawa indah.

.

.

.

.

Berbeda dengan Arnold yang mencoba untuk tak terlalu memikirkan Nayla lagi.

Nayla yang masih begitu mencintai suaminya. Kini kembali behagia, karena sikap suaminya yang kini telah kembali seperti dulu.

Nayla dan Bian yang telah bercinta dengan panas, kini tengah tertidur pulas.

Saking bahagianya, Nayla terlelap dengan senyuman di wajahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!