“Bukankah, tadi kamu pamit untuk mengambil sepeda? Ibu kok tidak melihat sepeda yang seharusnya bersamamu?” tanya bu Siti yang sedang menggendong mikayla diteras.
“Sepedanya sudah hancur Bu, saat aku pulang— ada seorang pemuda yang tidak bisa mengendalikan motornya, posisi motor itu melaju karna turun dari tanjakan. Katanya tadi rem motornya itu blong, dia langsung menabrak sepeda dan terjatuh. Untungnya saja aku tidak ikut tertabrak.”
“Ya ampun— kamu gimana sih Nay bawa sepedanya, Berarti sepedanya udah nggak bisa di gunakan sama sekali?”
“Nggak bisa lagi Bu, hancurnya parah.” ucap Nayla pelan.
“Ibu kok malah lebih khawatir sama sepedanya sih, kamu nggakpapa kan Nay?” ucap Bian dari dalam yang mendengar percakapan mereka.
"Tapi, itu kan sepeda peninggalan bapakmu Bi."
"Yasudah lah Bu, kalau memang sudah waktunya hancur. Ya mau diapa." Jelas Bian.
“Mas, kamu dirumah?” tanya Nayla.
“Iya, Nay. Mas hari ini pulang lebih cepat. Coba mas lihat! Apa kamu terluka?” Bian segera memerika tubuh Nayla.
“Aku nggakpapa kok, mas.”
Sepertinya— suasana hati mas Bian hari ini, sedang baik. Nayla terharu dengan kekhawatiran Bian.
.
.
...----------------...
.
.
Dirumah Nek Emma, Arnold menceritakan kejadian di bengkel tadi sambil membantu nek Emma yang sedang melipat.
“Lalu, bagaimana dengan keadaan Nayla.” tanya nek Emma.
“Untungnya dia tidak kenapa-kenapa.”
“Hheeeuuhhmmmmm…..” nek Emma menghela nafas panjang.
“Nenek kenapa?” tanya Arnold.
“Nenek kefikiran Nayla, kemarin ada arisan dirumah bu Maya. Mereka juga sedang masak besar, karena merayakan anaknya yang hamil anak kedua. Bu Siti, mengajak Nayla kesana hanya untuk disuruh bekerja didapur. Nenek melihat sendiri Nayla yang kesusahan seorang diri. Mungkin karna kelelahan, Nayla tidak sengaja memecahkan piring. Bu Siti mengomeli Nayla di depan banyak orang. Bahkan memakinya habis-habisan karna hanya dia yang belum punya anak di kampung sini.” jelas nek Emma.
“Keterlaluan sekali mertuanya. Kalau aku jadi Nayla, mungkin aku sudah pulang kerumah orang tuaku.”
“Mungkin, kalau dia memang punya. Ya bisa,”
“Maksud, Nenek?”
“Sudahlah, tidak baik bila kita selalu menceritakan kehidupan orang lain. Itu sudah menjadi takdir Nayla, mungkin karena itu dia memiliki hati yang sangat tabah. Akhir-akhir ini kamu sangat antusias mendengar kisah orang lain.”
“Tidak, aku hanya merasa simpati padanya. Sejak pertemuan pertama kami, ekspresi wajahnya selalu terbayang dalam ingatanku.”
“Ekspresi apa maksudmu?” tanya nek Emma.
“Seperti wajah, yang begitu ingin di cintai. Mimiknya itu— membuatku ingin memberikan kasih sayang.”
“Heeii, sadarlah! Nenek memang menyukai Nayla. Tapi bukan berarti kamu boleh menyukainya. Ingat! Dia itu milik orang lain.”
“Iyyaa nek, aku faham. Ku usahakan untuk mengontrol akal sehatku.”
.
.
...----------------...
.
.
“Mas sudah mendengar semuanya dari Dani, Nay. Sekali lagi, mas minta maaf. Ibu sangat jahat padamu,” ucap Bian yang mengetahui perlakuan ibunya dirumah bu Maya.
“Sudahlah mas, sudah berlalu.”
“Kamu pasti sangat menderita, mas sungguh bodoh.”
“Mas— jangan menyalahkan dirimu, aku beneran nggakpapa.”
“Nay, mas nggak mau ibu semakin menjadi-jadi padamu. Sepertinya— ini sudah saatnya kita pindah.”
Nayla yang terkejut dengan ucapan Bian, langsung menggenggam kedua tangan Bian untuk meyakinkan lagi ucapannya.
“Mas, apa mas bersungguh-sungguh?” ucap Nayla dengan penuh harap.
“Sungguh!”
Nayla sontak memeluk tubuh Bian dengan perasaan bahagia.
“Tapi, Mas. Bagaimana dengan ibu?”
“Tidak perlu mengkhawatirkan ibu, lagi pula— ibu tidak akan kesepian lagi. Mike kan ada, nanti biar mas yang membicarakannya pada ibu.”
.
.
...----------------...
.
.
“Laura, sebenarnya ada apa denganmu? Kamu selalu menghindariku. Sudah hampir enam bulan kita tidak bercinta, aku merindukanmu. Katakan saja, apa sebenarnya salahku” tanya Raka.
“Berhenti untuk berpura-pura tidak tahu! Kamu kan, yang membocorkan hubungan kita? Asal kamu tau ya, Arnold telah meninggalkanku!”
“Tunggu, jadi— maksudmu, Arnold sudah tau? Bukankah itu bagus. Kita tidak perlu lagi menyembunyikan hubungan kita.”
“Hubungan, dengar ya Raka— aku tidak pernah menganggap hubungan kita itu spesial! Kamu hanya mainan bagiku! Dan asal kamu tau, mainanku nggak cuma satu.”
“Jujur saja, Laura. Setiap kita bercinta, kamu sendiri yang selalu bilang kalau aku adalah lelaki yang paling membuatmu puas.”
“Ha ha ha.. dasar bodoh. Bahkan permainan kata dalam bercinta kau anggap serius. Ingat ya, mulai sekarang jauhi aku! Aku mungkin memang wanita gila yang bermain dengan lelaki cupu sepertimu. Tapi aku tidak bodoh, untuk memilih lelaki yang pantas mendampingiku!” ucap Laura, angkuh. Berlalu meninggalkan Raka.
Dasar wanita sialan! Jadi selama ini, dia mepermainkanku. Awas kamu Laura! geram Raka.
.
.
...----------------...
.
.
“Bu, ada yang mau aku bicarakan dengan Ibu." ucap Bian memasuki bilik kamar bu Siti.
“Kenapa, Bi?” tanya bu Siti.
“Begini, sekarang kan— Mike dan istrinya sudah tinggal disini. Bahkan, mereka membawakan Ibu cucu yang selama ini sangat Ibu inginkan.”
“Lalu,”
“Aku berencana untuk kembali tinggal ke appartku bersama Nayla. Mungkin besok, karna besok aku libur.”
“Apa? Maksudmu— kamu mau pindah? Kamu mau ninggalin ibu disini?”
“Bu, Ibu kan tau— jarak dari sini kekantor itu memakan waktu yang cukup lama. Hampir dua jam loh bu, kalau aku di apart. 40 menit pun aku sudah sampai di kantor, aku hanya ingin punya cukup waktu untuk istirahat.” jelas Bian.
“Tetap saja, kamu meninggalkan ibu. Kamu kan tahu, ibu tidak bisa bila tidak ada Nayla, ibu ini sudah tua. Memangnya kamu tega menyuruh ibu untuk bekerja dirumah, pekerjaan rumah tangga itu adalah hal yang paling melelahkan!” keluh bu Siti.
“Bu— kalau memang Ibu merasa tidak bisa untuk bekerja dirumah, nanti aku dan Mike akan merundingkan agar Ibu bisa punya pembantu dirumah. Ibu menyayangiku kan, aku juga sangat menyayangi Ibu! Jadi aku mohon, turuti keinginanku kali ini.” bujuk Bian.
“Baiklah, tapi dengan satu syarat.”
“Apa itu, Bu?”
“Ibu, mau— setiap kamu libur. Kamu sama Nayla harus menginap disini!”
“Siap, bos.” ucap Bian dengan semangat sembari memberi hormat pada ibunya.
“Jangan senang dulu, kalau kamu sampai mengingkari janji. Maka ibu yang akan pergi kesana!”
“Iya, Bu. Iyaa— terima kasih sudah mau mengerti.” Bian memeluk ibunya.
.
.
.
Bian memasuki kamarnya untuk mengabari Nayla, hasil dari pembicaraannya dengan bu Siti.
“Bagaimana, Mas.” Nayla penasaran.
Dengan pelan, Bian menganggkat tangannya perlahan dan memberikan jempol, menandakan hasilnya baik.
“Yyyeeeeeiiyyyy, makasih Mas.” Nayla langsung memeluk Bian dengan perasaan yang begitu senang.
Ternyata kamu yang menghasut Bian untuk pindah, huhhhhh— silahkan bersenang-senang untuk saat ini Nayla. Kamu fikir, kepindahanmu akan membuatmu bebas dariku. Perbuatanmu justru membuatku semakin marah dan mulai membencimu! Lihat saja nanti, di appart nanti kamu akan lebih menderita dibanding disini! oceh bu Siti, yang menguping pembicaraan Bian dan Nayla di luar kamar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments