Tamparan di pipi kiri

“Aaaghh, Bian tolong ibu.”

Bian berlari mendekati bu Siti yang terbaring di lantai.

“Lihatlah Bian, Tega sekali Nayla mendorong ibu hingga terjatuh seperti ini.”

“NAYLAAA. Keterlaluan kamu!”

“Mas, aku tidak mendorong Ibu sama sekali. Ibu terjatuh sendiri.”

“Jangan percaya Bian, Dia marah pada Ibu karena ibu mengatakan padanya sup buatannya itu hambar. Dia mengamuk dan membuang supnya ketempat sampah lalu mendorong Ibu dengan panci sisa sup sampai ibu terjatuh, kalau kamu nggak percaya— lihat saja ditempat sampah!"

Bian yang telah membantu ibunya duduk langsung berdiri menengok tempat sampah yang ada didapur, dan benar saja— ia melihat banyaknya makanan yang terbuang. Darahnya terasa mendidih, Bian naik pitam dan mengepalkan tangannya.

“Keterlaluan kamu Nayla, hanya karena ibu memberitahukan yang benar padamu kamu justru membuang-buang makanan dan bahkan berani mendorong ibuku!” teriak Bian hingga urat dilehernya nampak jelas.

“Mas, aku bersumpah. Justru ibu lah yang berbohong. Bahkan pakaian yang ku cuci tadi di kotori dengan tanah dan mau tidak mau aku mencucinya ulang.”

PLAAAKKKK. Tamparan keras mendarat di pipi kiri Nayla,

Pipi yang telah merah itu terasa terbakar, Nayla menyentuh pipinya dengan mata membulat tak percaya.

Bahkan bu Siti yang melihat itu menutup mulutnya, walaupun ia sedikit puas— namun bu Siti terkejut karena Bian sampai menampar Nayla.

“Keterlaluan kamu Mas,” ucap Nayla dengan suara yang bergetar.

Dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangisan, Nayla berlari dan pergi meninggalkan Appart.

“Mau kemana kamu!” teriak Bian

Nayla tak menggubrisnya, ia langsung pergi begitu saja bahkan tanpa mengenakan alas kaki apapun.

Nayla berlari menuju tangga darurat, ia turun dengan tergesa-gesa.

Sedangkan Bian yang menatap pintu Appart yang telah tetutup selepas kepergian Nayla langsung menendang panci yang ada di depannya hingga terhentak ke dinding.

“SIAAALL.”

Nayla yang berlari entah kemana terjatuh karena kakinya tersandung batu,

Ia menahan tubuhnya dengan tangan yang telah bersentuhan dengan jalan.

“Nayla,” panggil suara yang nampak tak asing di telinga Nayla.

Nayla mengangkat kepalanya menuju suara itu,

“Ternyata benar, ini kamu. Ada apa denganmu?" ia langsung mendekati Nayla dan mencoba mendirikan tubuh Nayla.

Nayla yang sudah tak tahan dengan yang terjadi barusan, langsung memeluk tubuh itu dan menangis sejadi-jadinya.

“Arnold.” dengan suara bergetar, Nayla memeluk tubuh Arnold dengan erat.

Ya, itu adalah suara Arnold. Saat Arnold menutup kliniknya dan berjalan keluar ia melihat Nayla yang sedang berlari dan terjatuh, ia tak yakin apa yang dia lihat itu benar Nayla atau bukan. Namun Arnold semakin mendekat untuk memastikan, dan benar saja– dia memanglah Nayla.

Mata Arnold membulat, ia tak menyangka bertemu dengan Nayla dengan keadaan seperti ini.

Ia ikut memeluk tubuh Nayla yang sedang menangis hingga terisak, entah hal apa yang baru saja Nayla lalui hingga ia seperti ini. Hanya itu yang ada di fikiran Arnold.

“Ikutlah denganku!” Arnold menarik tangan Nayla dan membawa Nayla masuk ke kliniknya.

Arnold tak ingin orang-orang melihat Nayla dengan keadaan seperti itu, Arnold mendudukkan Nayla dan mengambilkan beberapa obat serta tissu untuknya.

“Ini,” Arnold memberikan tissu pada Nayla untuk menghapus air matanya.

Tak lupa ia juga kembali membawakan air minum untuk Nayla agar Nayla bisa tenang.

Dengan nafas yang masih terisak Nayla meminum air itu perlahan.

Arnold membersihkan dan mengobati kaki Nayla yang terluka, entah apa yang telah Nayla injak saat ia berlari tadi hingga meninggalkan sayatan-sayatan ditelapak kakinya, bahkan lututnya ikut berdarah karna terjatuh tadi.

Nayla yang hanya diam, tak merasakan perih apapun. Rasa sakit di hatinya jauh lebih perih dibandingkan obat yang Arnold teteskan di beberapa lukanya.

Nayla hanya memandang Arnold yang nampak telaten mengobatinya tanpa sepatah katapun.

“Apa kamu tidak penasaran?” tanya Nayla pelan.

“Tentang apa?”

“Karena aku menangis, atau mungkin karena aku berlari.”

“Tentu saja aku penasaran, tapi— aku lebih mengkhawatirkan lukamu saat ini dibanding rasa penasaranku. Lain kali, pakailah sendal atau sepatu! Jangan biarkan kakimu bertelanjang seperti ini.”

Nayla hanya diam dan menundukkan kepalanya.

“Apa kau bekerja disini?” tanya Nayla kembali.

“Iya, ini adalah klinikku. Okee, semua luka dikakimu telah ku obati.”

Arnold kini duduk disamping Nayla.

“Bagaimana perasaanmu sekarang? Apa sudah baikan?”

Nayla menggeleng pelan, tentu saja hatinya masih sakit dengan hal tadi.

Ia kembali menundukkan wajahnya dan menahan air mata.

“Tunggu, coba kulihat.” Arnold memegang dagu Nayla hingga wajah Nayla berhadapan dengan wajahnya.

Arnold menaruh helai rambut Nayla ke daun telinganya, matanya membulat melihat warna merah yang terpampang jelas dipipi kirinya. Nayla memegang tangan Arnold dan mencoba melepaskannya namun Arnold justru memegang wajahnnya dengan kedua tangannya.

“Apakah ini perbuatan mertuamu?”

Air mata Nayla menetes dan menggeleng pelan.

“Lalu, apa suamimu yang melakukan ini padamu?” dengan suara lantang Arnold nampak sangat marah melihat bekas tamparan di pipi Nayla.

Nayla hanya menunduk dan kembali menangis, sikap Nayla membuat Arnold faham bahwa ini memanglah perbuatan suaminya.

Kini Arnold melihat telapak tangan Nayla yang sedikit tergores, mungkin karna menahan tubuhnya saat terjatuh di jalan tadi.

Arnold menarik tangan dan kembali mengobatinya.

Bahkan tangan kecilmu ikut terluka. Batin Arnold.

“Maafkan aku, aku sudah merepotkanmu?”

“Sekarang, katakan padaku! Apa yang sebenarnya terjadi?”

Nayla menarik nafas panjang, dan mulai menceritakan segalanya pada Arnold.

Arnold menggeleng tak percaya mendengar semua cerita Nayla, baru kali ini Arnold mendengar seorang perempuan yang juga seorang ibu yang begitu jahat. Terlebih lagi dengan perlakuan suaminya.

“Apa suamimu sudah gila, seharusnya dia mendengar penjelasanmu terlebih dahulu. Tapi dia justru menampar istrinya sendiri. Ibu dan anak sama-sama tidak punya hati, bukankah ini termasuk kekerasan dalam rumah tangga.”

Nayla hanya diam, ia sadar dengan semua ucapan Arnold tapi Nayla hanya bisa pasrah dengan kenyataan yang ada.

“Mau sampai kapan kamu tersiksa seperti ini Nayla. Aku saja tidak sanggup mendengarnya,”

“Aku yakin dia tidak sengaja, dia hanya terbawa emosi karna sandiwara ibunya.”

“Maksudmu, kamu ingin memaafkannya lagi, begitu?”

Nayla diam.

“Nay, aku tau kita memang baru kenal. Bahkan setelah sekian lama kita dipertemukan kembali walau dengan keadaan seperti ini. Tapi tolong dengarkan aku, lelaki yang telah berani main tangan walau dengan ketidak sadaran sekalipun kedepannya pasti akan semakin meringankan tangannya dan kembali berbuat kasar. Aku mohon, aku tidak ingin melihatmu seperti ini.”

“Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, tapi— untuk saat ini. Aku akan menjelaskan apa yang terjadi lebih dulu, aku memang terkejut dengan perlakuanya. Tapi aku yakin kalau dia tau yang terjadi, pasti dia tidak seperti itu. Bisa saja kini dia telah menyesal.”

“Baiklah kalau memang kamu berfikir seperti itu, tapi berjanjilah satu hal padaku. Bila kedepannya suami dan mertuamu kembali berbuat kasar, tinggalkan mereka dan datanglah kepadaku.”

Mata Nayla membulat mendengar ucapan Arnold, ia hanya mengangguk pelan walau tak memahami maksud Arnold yang sesungguhnya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!