NovelToon NovelToon

Cinta Dalam Perselingkuhan

Sifat Asli Mertua

"Mau sampai kapan kamu mempertahankan perempuan yang tidak bisa memberikanmu keturunan?" Ucap wanita paruh baya didalam bilik kamarnya.

"Bu, aku lagi banyak masalah di kantor. Harusnya Ibu tidak terus-terusan menanyakan hal yang sama padaku, apalagi disaat seperti ini, memangnya Ibu tidak lelah?"

Tok tok tok ... Nayla mengetuk pintu kamar dengan pelan.

"Bu, Mas, makan malam sudah siap." Nayla memanggil suami dan ibu mertuanya untuk makan bersama.

.

.

.

Nayla hanya membolak-balik nasinya dipiring, ia tampak seperti orang yang telah kehilangan selera makan. dengan pandangan sedih, fikirannya telah berkecamuk tak karuan. Bagaimana tidak, walaupun mungkin hanya sekilas perkataan yang ia dengar, namun tetap saja membuat hatinya serasa teriris mendengar percakapan suami dan ibu mertuanya tadi.

Apa maksud ucapan Ibu pada Mas Bian. Aku tak menyangka Ibu bisa mengucapkan hal seperti itu tentangku. Perkataan Ibu tadi seolah-olah memberitahukan pada Mas Bian kalau aku ini adalah perempuan mandul! Sungguh sangat keterlaluan. mata Nayla mulai berkaca menahan air mata.

.

.

.

Sudah berhari-hari Nayla tak banyak bicara di rumah, Ia hanya mengisi kesehariannya dengan menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah. Selepas Nayla mengerjakan pekerjaan dirumah, ia pun kembali menghabiskan waktunya dengan mengurung diri didalam kamar.

.

.

.

"Coba tegur istrimu itu! Sudah berhari-hari kerjaannya hanya didalam kamar saja. Ngapain sih dia? Hari baru pukul 8 malam. Masa iya sudah tidur," cibir Bu Siti.

"Biarin ajalah Bu, yang penting kan dia sudah menyelesaikan tugasnya dirumah. Mungkin saja dia lelah, makanya memilih tidur lebih awal." Jelas Bian.

"Itulah Bi, Kamu selalu saja membela istrimu itu! Untuk apa sih Kamu memanjakan perempuan itu? Kamu nggak bakalan dapat apa-apa dari memanjakan dia!"

"Nggak usah mulai lah Bu! kenapa sih, Ibu seperti itu pada Nayla. Memangnya Ibu tidak merasa kasihan padanya?" Balas Bian.

"Apa, kasihan— Kamu lihat adik Kamu! dia sudah punya anak. Memangnya Kamu tidak malu didahulukan oleh adik sendiri?"

"Sudahlah Bu— dari pada aku melawan Ibu, Lebih baik aku pergi tidur juga." Bian berlalu pergi kekamar meninggalkan ibunya.

.

.

.

Nayla buru-buru mengusap air matanya saat mengetahui Bian mendatangi kamar mereka, lagi-lagi ia harus mendengar hal yang menyakitinya. Hatinya sangat sakit mendengar semua ucapan mertuanya tadi. Jelas saja dia mendengarnya, Bu Siti seolah sengaja membesarkan nada suaranya agar terdengar oleh Nayla.

.

.

"'Nay, kamu belum tidur?" Bian memegang bahu Nayla.

"Sudah, Mas. Aku hanya terbangun." Jawab Nayla tetap dengan posisinya yang menghadap tembok, Nayla tak ingin suaminya melihat matanya yang telah sembab.

"Yasudah, kalau begitu tidur lagi ya." Bian mengecup kepala Nayla dan berbaring disampingnya.

...----------------...

Hari sudah pagi, Bian yang telah bersiap untuk pergi bekerja, mencoba membangunkan Nayla.

"Nay, mas berangkat kerja dulu."

Sontak Nayla langsung duduk ditempat tidurnya dan melihat jam yang telah menunjukkan pukul 07:00 pagi.

"Maaf, Mas. Aku kesiangan. Bagaimana ini? Apa aku masih sempat membuatkanmu bekal?" Ucap Nayla memegang kepalanya yang sedikit pusing.

"Nggak usah Nay, tadi sudah dibuatkan Ibu. Sepertinya kamu sakit, Wajahmu pucat sekali. Kalau Kamu merasa tidak enak badan, lebih baik kamu lanjut tidur lagi! nanti, kalau ada apa-apa kasih tau Mas ya." Bian mengecup kening Nayla sembari membaringkannya kembali ketempat tidur.

Nayla merasa tenang dengan sikap suaminya yang masih sangat perhatian padanya. Walaupun kini Ibu mertuanya telah banyak berubah, setidaknya suaminya masih menyayanginya.

Aku bersyukur sekali, mas Bian masih begitu memperdulikanku. Walaupun ibu sekarang sudah berubah, setidaknya mas Bian tidak terpengaruh.

Nayla kembali melanjutkan tidurnya.

.

.

.

Sudah hampir tengah hari, Nayla bangun dan pergi ke kamar mandi.

Nayla yang telah beranjak keluar dari kamar mandi, melihat Bu Siti tengah duduk dimeja sambil memotong sayuran.

"Baru bangun Nay?" Tanya bu Siti dengan nada yang sedikit sewot.

"Iya, Bu. maaf ya Bu, Aku sudah membuat Ibu repot tadi pagi,"

"Bukannya semalam kamu tidur cepat ya, kok bisa kesiangan sih? Untung saja kamu tidak hidup dijaman Ibu. Kalau jaman Ibu— mana ada menantu yang berani bangun siang dirumah mertua, kalaupun ada. Pasti disimbur air biar tidak jadi kebiasaan!" cibir bu Siti.

"Aku pamit kekamar dulu Bu." Nayla yang tidak ingin menanggapi ucapan mertuanya, memilih pergi kekamarnya untuk memakai busana.

Dasar menantu belagu, mentang-mentang dibelain anak saya. Mulai berani ngacangin omongan saya! oceh Bu Siti dalam hati.

Nayla segera memakai pakaian dan mengeringkan rambutnya. Ia hanya sibuk mengeluhkan nafas panjang sedari tadi.

"Baru juga sekali aku bangun siang, tanggapan Ibu sudah seperti itu. Padahal aku hanya merasa tidak enak badan makanya sampai kesiangan seperti tadi,"

"Naaayy, kalau kamu sudah selesai tolong bantu Ibu ya." Teriak bu Siti.

"Iya, Bu."

...----------------...

Di kantin kantor. Bian, sedang makan siang bersama rekan kerjanya.

"Kudengar-dengar— adikmu sudah punya anak, Apa iya?" ucap Dani.

"Kamu dapat kabar dari mana?" Tanya Bian.

"Dari istriku, dia diceritain sama ibunya. Yakan kamu taulah, mertuaku dan ibumukan tetanggaan."

"Yah, begitulah." Bian menjawab singkat.

"Lucu juga ya, adikmu yang baru menikah 2 bulan tau-tau sudah punya anak. Sedangkan Kamu, yang lebih dulu tiga tahun malah belum bisa memiliki anak," ucap Rio yang juga ada disitu.

Bian menaruh alat makannya dan berdiri dengan wajah kesal.

"Maksudmu apa, bicara seperti itu?" Tanya Bian dengan nada tinggi.

Bian cukup tersinggung dengan ucapan Rio hingga membuatnya sangat kesal dan memilih pergi meninggalkan kantin untuk meredakan emosinya.

Walaupun ia tersinggung, namun Bian merasa ucapan Rio ada benarnya. Ia merasa malu karna didahului oleh adiknya.

...----------------...

"Tolong kamu bersihkan kamar Mike ya! Sudah 3 bulan dia tidak menempati kamar ini, pasti banyak debunya. Sekarang ya!" Perintah bu Siti.

"Iya, Bu." Nayla mulai membersihkan kamar itu, padahal perutnya sedikit lapar, karna belum memakan apapun sejak pagi.

Dengan badan yang mulai terasa lemas ia tetap memaksakan diri, untung saja kamar Mike tidak begitu besar hingga ia bisa segera menyelesaikannya.

Walaupun kamar itu kecil, Namun debu-debunya banyak sekali. Belum lagi pakaian-pakaian yang bergeletak dimana-mana. Kerjaan yang tadinya biasa saja, terasa berat bagi Nayla dengan kondisinya yang tidak begitu sehat.

Selepas ia membersihkan kamar, laparnya justru telah hilang— hingga ia lebih memilih kembali kekamarnya untuk beristirahat.

"Manasih si Nayla, Pakaian kotor Mike malah cuma ditaruh dikeranjang bukannya dicuci." Cibir bu Siti.

Pasti tidur lagi, baru bersihkan kamar saja sudah pergi tidur lagi. Dasar pemalas! Geram bu Siti

Bu Siti pergi mendatangi kamar Nayla untuk membangunkannya. Namun pintu kamarnya terkunci.

"Sialan, pake dikunci segala."

Buk buk buk.. Bu Siti mengetok pintu kamar nayla dengan keras.

"Nay, kamu tidur lagi? Kenapa pakaian kotor tidak dicuci? Coba lihat jam berapa ini! Kamu belum masak, nggak lama lagi Bian datang." Teriak bu Siti.

Nayla keluar dengan lemas.

"Maaf Bu, aku nggak enak badan."

"Ya ampun Nay, baru juga bersihkan kamar sudah nggak enak badan. Sana pergi masak! ibu mau jalan dulu sudah janjian sama bu Maya. Oh iya jangan lupa pakaian yang dikeranjang itu dicuci. Jangan cuma ditaruh begitu! Kamu ini malas sekali." Bentak bu Siti.

"Baik, Bu."

Dengan badan yang lemas, Nayla kembali mengerjakan semua yang dipinta mertuanya itu.

"Ini pertama kalinya ibu memarahiku terang-terangan."

Sikap ibu mertuanya yang dulu sangat menyayanginya kini telah berubah total.

Semakin Nayla mencoba untuk tenang, air matanya justru mulai berjatuhan.

.

.

Apakah di dalam pernikahan diwajibkan untuk mempunyai anak, apa aku diterima sebagai menantu hanya untuk memberikan keturunan? Siapa yang tidak ingin mempunyai anak, aku juga ingin. Namun aku bisa apa, kalau memang aku belum diberi kepercayaan untuk memiliki keturunan!

Nayla menangis sembari memukul dadanya yang begitu sakit dengan sikap mertuanya.

Merasa tidak penting

Mimik wajah bu Siti begitu kusut sembari memilah baju-baju yang ada di depannya.

"Bu Siti lagi kenapa sih, kok mukanya kusut begitu?" Tanya bu Maya yang memperhatikan.

"Gimana nggak kusut, si Nayla tuh akhir-akhir ini bikin saya kesal sekali,"

"Nayla, emangnya saya nggak salah denger? Nayla kan menantu kesayangan sampean, bagaimana bisa dia membuat sampean jadi kesal?"

"Itu dulu, Sekarang ya mikir-mikir juga kalau harus terus dibaikin,"

"Emang kenapa sih Bu, si Nayla?" Tanya bu Maya penasaran.

"Nayla ituloh Bu, akhir-akhir ini bertingkah sekali. Apa lagi seharian ini, sudahlah dia bangunnya tengah hari, masa baru disuruh bersihkan kamar aja pas saya lengah tau-tau pergi tidur lagi. Tau nggak alasannya apa, cuma nggak enak badan— Padahal jelas-jelas saya lihat dia seger-seger aja." Keluh bu Siti.

"Mungkin Nayla emang beneran sakit kali Bu,"

"Hallahh, alasannya saja tidak enak badan. Coba deh, Bu maya fikir. Apa yang bikin dia nggak enak badan? Kerjaannya setiap hari cuma tidur-tiduran, belum punya anak aja dikit-dikit sakit. Pantas aja nggak bisa hamil,"

Ya ampun, bisa-bisanya bu Siti ngomong begitu tentang menantunya sendiri. Batin bu Maya yang sedikit terkejut dengan ucapan bu Siti.

"Ibu pilih-pilih baju bayi begini buat apaan emang, mau beliin cucu ya." Bu Maya mengalihkan pembicaraan sembari menunjuk pakaian yang dipegang oleh bu Siti.

"Iyaa niihh, saya nggak sabar mau ketemu cucu saya. Kemarin, terakhir ketemu cuma dirumah sakit. oh iya, Besok kerumah ya Bu! besok saya bakal masak banyak dirumah, Ibu pasti mau lihat cucu saya juga kan, Besok Mike beserta istri dan anaknya akan datang kerumah." Ucap bu Siti dengan antusias.

"Oh ya, bukannya masih kecil Bu— Kok dibolehkan bepergian begitu, Emangnya nggakpapa?"

"Ya jelas nggakpapa dong Bu— kan mereka datang untuk tinggal dirumah, bukan cuma sekedar berkunjung,"

"Oh, jadi Mike berencana untuk tinggal serumah dengan Ibu?"

"Lebih tepatnya sih— saya yang manggil mereka, Saya tuh sepi dirumah. Bu Maya tau sendirilah kan, Bian itu belum dikasih anak sama istrinya. Saya tuh suka iri setiap sore, ngeliat tetangga-tetangga saya pada main sama cucunya."

...----------------...

Nayla sedang mengiris bawang yang akan dia pakai untuk menumis sayur capcay kesukaan Bian.

Namun kepalanya yang seketika terasa sakit membuatnya tak sengaja melukai jari telunjuknya sendiri.

"Aww—" rintih Nayla.

"Nay, kamu kenapa?" Tanya Bian yang ternyata telah pulang dan langsung pergi kedapur untuk menemui Nayla.

"Ya ampun, sayang. Kok bisa berdarah begini?" Bian bergegas membawa Nayla duduk dan mengobati luka Nayla.

Nayla hanya diam menatap suaminya.

"Lihat wajahmu itu pucat sekali, bukannya tadi pagi mas sudah beri tahu untuk istirahat."

"Sebenarnya— tadi aku mau istirahat Mas, tapi—"

"Bian, kamu sudah pulang?" Ucap bu Siti yang telah pulang berbelanja.

Nayla tak jadi melanjutkan omongannya dan segera kembali ke meja untuk menyelesaikan masakannya.

"Iya baru aja sampai. Ibu dari mana?"

"Ini, Ibu habis belanja baju-baju bayi buat anak Mike. Coba kamu lihat, lucu kan." Ucap bu Siti sembari merentangkan baju itu.

"Iya, lucu. mereka jadi tinggal disini?"

"Ya jadilah Bi— kan ibu yang minta."

Tinggal, apa maksud omongan mas Bian dan Ibu? fikir Nayla yang belum mengetahui apa-apa.

"Loh, Nay. kamu belum selesai masak? Kok lama sekali sih, Suami sudah pulang kok baru motong-motong sayur- Gimana sih kamu."

"Bu, Nayla itu tidak enak badan. Kita hari ini pesan makan saja, biarkan Nayla istirahat."

"Apa, pesan makan? Ngapain sih harus pakek pesan makan segala, nanti kebiasaan. Jaman Ibu aja nggak ada yang namanya pesan-pesan makanan. Kalau memang Nayla nggak mau masak, biar Ibu saja yang kerjakan!" Cetus bu Siti.

"Bu, jangan samakan jaman Ibu sama jaman sekarang. Jaman kita itu beda, kalau memang tidak bisa— kenapa harus dipaksakan untuk memasak. Nanti Nayla tambah sakit gimana?"

"Sudahlah Mas, nggak perlu pesan makan. Dikit lagi selesai kok, tinggal ditumis saja sebentar. Nggakpapa." Ucap Nayla.

Ada apa dengan Ibu akhir-akhir ini, kasihan Nayla. Dia pasti sedih dengan sikap Ibu. lirih Bian sembari memperhatikan istrinya.

.

.

.

Bian melihat Nayla yang sedang mengganti sprei dan mendekatinya.

"Sini, biar Mas bantu—" ucap Bian merapihkan ujung sprei.

"Nay, Mas minta maaf ya— Akhir-akhir ini sikap Ibu sangat aneh padamu."

Nayla hanya diam dan tak menanggapi ucapan Bian.

"Jangan diam aja dong sayang, mas sungguh minta maaf." Bian menggenggam tangan Nayla.

"Mas, apa maksud omongan Mas dan ibu tadi?" Tanya Nayla.

"Omongan apa sayang?"

"Tentang Mike." Ucap Nayla singkat.

"Oh, itu— Ibu memanggil Mike untuk mengajak istri dan anaknya tinggal disini, Dan seperti yang kamu dengar tadi— sepertinya mereka setuju dengan permintaan ibu." Jelas Bian.

"Kenapa Mas tidak cerita?"

"Maaf sayang, Mas lupa— Mas fikir ibu sudah kasih tau kamu. Yaudah sih Nay, cuman begitu aja kok."

"Begitu aja, Begitu gimana maksud Mas? Apa Mas tidak bisa menanyakan pendapatku lebih dulu? Dulu, saat Mas mengajakku untuk tinggal disini— mas meminta pendapatku lebih dulu bukan? Apa pendapatku sudah tidak penting?" Ketus Nayla.

"Nay, kamu kan tahu— Tujuan kita kesini karna ingin menemani ibu yang kesepian semenjak ayah tiada. masa iya, kamu tega ibu sendirian?"

"Mas kok nggak faham, sih sama ucapanku. yang aku mau itu, Harusnya Mas tanyakan dulu pendapatku! Sudah cukup aku terluka dengan sikap Ibu yang sangat berubah. Sekarang, aku makin merasa kalau keberadaanku disini tidaklah penting!"

"Maafkan mas, bukan maksud mas membuatmu merasa seperti itu. Mas betulan lupa, mas janji. Lain kali— kalau ada apa-apa, mas akan langsung memberitahukannya padamu." Bian memeluk Nayla untuk meredakan amarahnya.

Nayla hanya diam berusaha menenangkan amarahnya.

Walau ia merasa sedikit lega telah mengeluarkan uneg-unegnya, tetap saja kekecewaan atas perlakuan ibu mertuanya telah menguasai hatinya.

.

.

Hari sudah makin malam, Bian dan Nayla tengah berbaring untuk tidur.

dengan posisi mereka yang saling berhadapan, Nayla terfikirkan ingin memeriksakan diri ke dokter.

"Mas, apa sebaiknya kita pergi konsultasi ke dokter?" Tanya Nayla sembari menatap Bian.

"Kalau memang menurutmu itu cara terbaik untuk kita. Mas akan menuruti apapun yang kamu ingin lakukan!" Bian mengecup kening Nayla.

...----------------...

Hari ini, Mike beserta keluarganya akan datang.

Nayla yang sudah sangat sibuk sedari pagi didapur sedang menyiapkan makanan untuk kedatangan mereka, Nayla tampak sangat kewalahan.

Bu Siti yang terlihat begitu gembira asyik bersenandung sambil membuka sarung bantal bayi.

"Kenapa di buka Bu?" Tanya Nayla.

"Mau ibu ganti dengan yang lebih lembut, anak bayi itu kulitnya sensitif. Jadi tidak bisa sembarang pakai jenis kain."

"Siapa nama anak Mike bu?"

"Namanya Mikayla Azahra," jawab bu Siti.

"Cantik sekali namanya, Bu."

"Iya, Tiara pintar sekali memberikan nama untuk anaknya. Dan yang paling buat Ibu itu terharu, Mike menambahkan nama belakang ibu dibelakang nama anaknya."

Ibu terlihat bahagia sekali, bila aku dan mas Bian memiliki anak— Apa ibu juga akan sebahagia sekarang. lirih Nayla.

Peri Kecil

“Bagaimana keadaan dirumah sakit?” tanya wanita tua usia 60an, yang sedang memasak didapur.

“Sibuk, seperti biasa nek.” ucap Arnold.

“Lalu, mengapa kamu malah datang kesini?"

“Aku datang karna, sangat merindukan wajah cantik Nenek.” Arnold menggoda neneknya.

“Jangan terus-terusan menggoda nenek, lebih baik gunakan waktu mudamu untuk mencari pasangan. Lihatlah dirimu, karna terlalu sering bergaul dengan nenek. Para wanita diluar sana tidak ada yang mendekatimu.”

“Siapa bilang, tidak ada. Banyak kok, perempuan yang tergila-gila pada cucu Nene yang tampan ini. Justru aku yang menolak mereka! Nenek harus tau, dari semua wanita yang ada, aku belum pernah menemukan wanita yang lebih cantik dari Nenek.”

“Dari pada mendengarmu membual terus, lebih baik sekarang kamu makan. Cepat kemari! Nenek sudah memasakkan ayam kecap kesukaanmu.”

“Nenekku memang yang terbaik.” Arnold mengacungkan jempol pada neneknya.

.

.

*

.

.

“Wahhh, cucu nene sudah datang.” ucap bu Siti yang sedang bergegas menuju pintu untuk menyambut kedatangan cucunya.

“Siniii! biar ibu gendong. Dari pagi ibu sudah menunggu kalian.”

“Lelahnya.” ucap Mike meregangkan badannya dan berbaring disofa.

“Bagaimana kabar ibu?” tanya Tiara basa-basi.

“Ibu, baik. Kamu pasti lelah juga— Naayy.. antar barang-barang Mike dan Tiara ke kamarnya!” teriak bu Siti.

“iya, Bu.”

“Nggak usah, Bu. biar kami yang bawa sendiri.” ucap Tiara.

“Jangan, kalian itu baru saja datang. Pasti sangat lelah, apa lagi kamu selama perjalanan menggendong Mikaylakan. Pasti tanganmu pegal.”

Nayla datang dan melihat tumpukan tas yang lumayan banyak.

“Mike, Tiara, apa kabar?” tanya Nayla.

“Baik kak, mas Bian kerja ya.”

“Iya, mas Bian masih di kantor. Silahkan istirahat! kalian berdua pasti lelah, Biar aku yang antarkan barang-barang kalian.”

“Makasih, Kak.”

Mike dan Tiara langsung pergi beristirahat di kamar mereka.

“Nay, kalau kamu nanti sudah mengantarkan barang mereka— Cepat siapkan makanan di meja ya! kamu harus selalu memperhatikan makanan Tiara. Usahkan, jangan sampai makanan dirumah kosong! Karena dia mengasihi anaknya—pasti dia akan selalu merasa lapar.”

“Baik, Bu.”

.

.

“Tanganku pegal sekali, aku nggak nyangka rumah Ibumu sejauh ini.” keluh Tiara.

“Sekarang kamu faham kan, bagaimana perjuanganku semasa kita pacaran. Kamu selalu menuntutku untuk mendatangimu di kos setiap hari. Tentu saja aku tidak bisa.”

“Sudahlah, Mas. itukan sudah lalu, Oh iya— kenapa kamu tidak membantu kakak iparmu saja. Barang kita itu banyak loh."

“Biarin ajalah, aku satu bulan terakhir ini selalu di telfon ibu. Ibu menjadikanku pelampiasan untuk mengeluarkan keluh kesahnya tentang kak Nayla, gara-gara itu aku jadi ikutan kesal padanya.”

“Memangnya, ada apa dengan kak Nayla?” tanya Tiara penasaran.

“Ibu bilang, kalau dia itu sekarang malas-malasan. Kerjaannya hanya di kamar dan nggak keluar kecuali lapar, Ibu mengeluh karna kelelahan mengurus rumah— Bahkan, bekal mas Bian Ibu juga yang buat.”

“Masa iya sih, Mas. Tapi, kok— kelihatannya tidak seperti itu.” ucap Tiara heran.

“Mas juga awalnya nggak percaya, tapi ini kan ibu sendiri yang cerita. Ibu tidak mungkin mengada-ada, Toh buat apa kan? Makanya mas tidak terlalu menanggapinya tadi.”

.

.

“Mike— aku mau memasukkan barang-barangmu.” ucap Nayla di balik pintu kamar Mike.

“Masuk aja kak, pintunya tidak di kunci.”

Nayla bolak-balek mengantarkan tas itu satu persatu,

Sekarang aku sadar— ternyata, ini alasan ibu menyuruhku untuk membersihkan kamar Mike. Kemarin karna tidak enak badan, aku hanya mengerjakan apa yang disuruh ibu tanpa bertanya.

Mengapa aku merasa seperti pembantu akhir-akhir ini ya? Tidak.. tidak.. aku tak boleh berfikir seperti itu, bagaimanapun juga aku harus mematuhi perintah mertuaku. Batin Nayla.

“Tiaaa— sepertinya Mikayla lapar. Dari tadi dia berusaha untuk memasukkan jarinya kedalam mulut.” ucap bu Siti yang melewati Nayla sembari membawa Mikayla pada ibunya.

“Makasih banyak ya kak, Nay.” ucap Tiara yang melihat Nayla selesai mengantar semua tas dan kopernya.

“Sama-sama,”

“Nggak perlu berterima kasih begitu- sudah seharusnya dia membantumu, Kamu kan lelah karna terlalu lama menggendong, Kalau kamu paksa untuk mengangkat barang, nanti kamu sakit. Kan kasihan Mikaylanya kalau kamu sampai sakit. Ibu itu sudah lebih dulu merasakannya, makanya ibu lebih memahamimu.” ucap bu Siti yang sedikit menyinggung Nayla.

Nayla yang tak ingin mendengar ucapan bu Siti lebih lama, langsung berlalu pergi kedapur menyiapkan makanan untuk Mike dan Tiara.

sebenarnya mau sampai kapan ibu menyinggungku perihal anak, rasanya kepalaku hampir pecah mendengarnya terus-terussan. Gumam Nayla yang mulai kesal.

.

.

Mike dan Tiara turun untuk makan,

“Makan yang banyak ya Tia\~ ibu bilang, kalau sedang mengasihi bawaanya lapar terus. Kalau mau apa-apa, jangan sungkan bilang sama kakak ya.” ucap Nayla tersenyum.

“Makasih banyak, ya kak.”

“Mikayla mana, sama ibu ya?”

“Nggak kok, kayaknya dia kekenyangan. Jadi, sekarang dia lagi tidur.”

“Apa kakak boleh melihatnya?” tanya Nayla.

“Tentu saja, boleh.” ucap Tiara dengan senyum ramahnya.

“Lihat mas! masa iya, yang di ucapkan ibu itu benar. Sikap kak Nayla sangat berbanding terbalik dengan apa yg kudengar tadi.” ucap Tiara ketika Nayla telah meninggalkan mereka.

“ Jadi orang itu— jangan terlalu mudah menilai, kamu tinggal sehari aja belum kan, sama si Nayla. masa udah ngambil kesimpulan begitu. Nayla sama ibu sudah 2 tahun hidup bersama, jadi ibu sudah pasti lebih tau!”

Tiara diam sembari mengangguk pelan, mencoba memahami penjelasan Mike.

Walaupun ucapan mas Mike masuk akal, tetap saja aku merasa ada yang janggal. Gumam Tiara.

.

.

Nayla memasuki kamar Mike dan mendapati Mikayla yang sedang tertidur dengan lelap.

“Cantik sekali, seperti Peri— Peri kecil yang manis.” ucap Nayla yang tengah memandangi wajah mungil Mikayla dikamar.

‘’Duhh, gemasnya.” Nayla mencium pelan tangan kecil Mikayla yang sedang mengepal.

Melihat Mikayla, aku jadi merasa iri dengan orang-orang yang telah memiliki anak. Kapan yaa- aku bisa memilikinya juga.

.

.

Nayla ikut terlelap di samping Mikayla sambil menggenggam tangan kecilnya.

“Nay, kamu ngapain tidur disini?”

belum 5 menit Nayla tertudur. Bu Siti telah masuk ke kamar Mike hingga membuatnya terbangun.

“Maaf Bu, aku ketiduran.”

“Tidur terus, bosan ibu dengar kamu yang selalu beralasan ketiduran. dari pada kamu nanti malas-malasan lagi— Sana pergi ke apotek nek Emma! Jangan lupa bawa resep obat ibu seperti biasa.”

.

.

*

.

.

Nayla memasuki apotek dan terdiam kaku melihat lelaki yang berdiri didepan etalase.

“Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?” ucap Arnold.

“Mmm— nenek Emma mana ya?”

“Ahh, nenek ada dihalaman belakang. Lagi nyiramin tanamannya, Saya cucunya.”

“Owh, cucunya. Kalau begitu, Saya mau membeli ini.” Nayla memberikan kertas resep punya ibu mertuanya pada Arnold.

Sembari menunggu Arnold menyiapkan obat, Sania tampak lama berdiri melihat tes kehamilan di atas meja kasir.

Apa aku membelinya ya, mmm… tidak tidak. Aku kan tidak terlambat, tapiii— aku merasa penasaran. Apa aku beli aja ya? Nayla terus memikirkan itu.

Arnold memperhatikannya sedari tadi,

“Ini obatnya. Apa ada yang lain?”

Dengan ragu Nayla akhirnya memutuskan.

“Aku mau ini juga satu ya, tolong di bungkus terpisah!” Naylapun memutuskan untuk membelinya.

“baiklah,”

.

.

.

Melihat resep yang ia beri, sepertinya wanita itu sering kesini. Tapi, mengapa aku baru melihatnya?Fikir Arnold sembari memperhatikan Nayla yang telah keluar dari pintu apotek.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!