Besoknya, Rena kembali ke sekolah. Baru saja dirinya memasuki kelas, Valia langsung menghampirinya dengan raut khawatir. Gadis Betawi itu memeluk Rena sejenak kemudian mengantarnya hingga ke tempat duduknya. Rena melirik sejenak ke arah Revan yang juga sedang duduk di bangkunya.
"Ren, lo baik-baik aja kan? Revan udah cerita semua yang terjadi kemarin sama gue," Valia tampak begitu cemas, tapi di satu sisi ia begitu bersyukur karena Rena masih bisa selamat dari upaya penculikan yang dialaminya kemarin.
"Nggak apa-apa Val, semua berkat Tuan Baskara, kalau nggak ada dia mungkin gue sekarang masih diculik," Rena bergidik ngeri membayangkannya.
"Ape kan gue bilang kemarin, feeling gue tuh kagak pernah salah. Gue beneran khawatir ninggalin lo sendiri. Marah, marah aja deh tuh si babeh, itu mah nggak ada apa-apanya dibanding keselamatan lo. Gue minta maaf ya Ren, seharusnya kemarin kita pulangnya bareng," Valia puas mengomel. Sungguh jika Rena benar-benar diculik saat itu, Valia pasti akan terus menyalahkan dirinya.
"Nggak apa-apa Val. Kali ini juga gue bakal lebih hati-hati kok," Rena tersenyum tenang.
"Mulai sekarang kita pulangnya bareng ya, naik taksi,"
Rena mengangguk setuju. Kemudian menoleh sejenak ke arah Revan.
"Makasih ya buat kemarin,"
"Ngapain makasih ke gue, gue nggak lakuin apa-apa. Ya, gue cuma khawatir, temen kelas gue ternyata yang bakal jadi korban penculikan,"
Revan mulai menaruh rasa penasaran terhadap sosok Rena. Tadi sebelum Rena datang, Revan banyak bertanya kepada Valia tentang bagaimana kehidupan Rena. Yang dari SD sudah kehilangan ibu, ayahnya meninggal dunia beberapa bulan yang lalu, sang kakak yang harus di penjara karena terlibat kasus korupsi dan Rena yang saat ini menumpang hidup di rumah Tuan Baskara.
Revan menilai, kehidupan yang dijalani Rena tidaklah mudah. Ia juga merasa senang, gadis itu memiliki teman yang baik seperti Valia dan juga dipertemukan dengan orang yang baik seperti Tuan Baskara.
Di jam pertama pelajaran Penjaskes, Rena bersama-sama teman sekelasnya di XII MIPA 1 sedang berlari keliling lapangan beberapa putaran untuk pemanasan sebelum praktek permainan Bola Basket. Setelah itu, guru olahraga mereka memberi beberapa materi mengenai permainan Bola Basket.
Sebelum praktek dimulai, sang guru olahraga memanggil Revan untuk maju ke depan. Ceritanya Revan akan diperintahkan oleh sang guru untuk memperagakan dan mempraktekkan teknik-teknik dasar dalam permainan bola basket. Revan menurut patuh. Sebab dirinya sendiri belum lama ini resmi bergabung dengan tim basket sekolah.
Banyak kaum hawa yang begitu kagum terhadap Revan, selain tampan, ia juga begitu multi talent. Segelintir siswa di sekolah, sudah tahu jika Revan juga memiliki band dan merupakan seorang gitaris yang andal.
"Cie, yang lihatin Revan," goda Valia yang setengah berbisik tepat di telinga Rena yang sedang fokus menatap Revan yang sedang menunjukkan teknik-teknik dasar permainan bola basket serta aturan-aturannya.
Rena sontak menoleh, "kenapa sih?"
"Kagum kan, sama dia?"
"Apaan, biasa aja. Dah ah, lagi fokus nih. Bentar praktek pengambilan nilai," Rena tak ingin peduli dengan Valia yang entah kenapa tiba-tiba berpikir jika Rena adalah salah satu pengagum Revan di sekolah.
Rena dan Valia sedang menunggu giliran untuk segera praktek permainan bola basket. Karena huruf nama mereka cukup jauh untuk huruf R dan V, keduanya tampak berlatih bersama menggunakan bola basket yang menganggur. Kedua gadis itu saling oper-oper bola dan rebutan untuk mendribble bola sambil tertawa-tawa. Hal itu menarik perhatian Revan yang sedang bergabung dengan kerumunan siswa cowok teman sekelasnya.
Revan melangkah mendekati kedua gadis itu ketika Rena dan Valia mencoba melempar bola ke dalam ring. Namun gagal masuk, karena bola yang mereka lempar tidak mencapai ring yang tinggi.
"Nah itu dia, suhunya udah dateng," ujar Valia lalu melempar bola yang dipegangnya ke arah Revan yang langsung menangkapnya dengan sigap.
"Tuh ajarin si Rena, gimana tekniknya masukin bola ke ring," ujar Valia yang sengaja menyeret-nyeret Rena agar bisa dekat dengan Revan. Valia punya feeling jika Revan mulai bersimpati terhadap kawannya itu.
"Apa sih Val, lo aja sana," Rena menggeleng.
Revan mendekati Rena dengan penuh semangat sambil membawa bolanya. Ia segera memberikan bola dalam genggamannya kepada Rena. Lalu mendorong pelan tubuh Rena beberapa meter di depan ring basket.
"Oke Ren, jadi kita coba teknik dasar aja dulu ya, namanya jump shot," ujar Revan dari belakang gadis itu. Jarak mereka hanya sejengkal membuat pasang mata yang juga sedang menunggu giliran praktek jadi mengalihkan perhatian pada keduanya.
Valia yang melihat, tak lupa merekam adegan keduanya lewat kamera ponselnya.
"Kalau teknik jump shot itu mengandalkan lompatan, lo harus bisa melompat setinggi mungkin, semampu lo," lanjut Revan, seolah dirinya adalah seorang guru ataupun pelatih profesional.
Rena hanya diam mendengarkan penjelasan cowok itu. Jika cewek lain yang seperti ini posisinya bersama Revan, mereka pasti sudah klepek-klepek dan deg-degan, tapi Rena justru merasa risih.
"Lo harus berdiri selebar bahu," Revan menunduk mengamati bagaimana posisi kedua kaki Rena yang tidak selebar bahunya. "Coba geser kaki lo Ren,"
Rena mengikuti arahan Revan.
"Ya, lagi Ren geser lagi," ucapnya tak lepas menatap kedua kaki Rena yang mulai membuka. "Ok, ini udah selebar bahu lo," lanjut Revan sambil menepukh sejenak kedua bahu Rena.
"Nah, sekarang, tekuk lutut dan luruskan bahu," kata Revan sambil mengatur sendiri bagaimana tekukan di kedua lutut Rena dan juga berusaha meluruskan bahunya.
"Sekarang coba deh, lo lompat setinggi mungkin dan langsung lempar bolanya lurus ke arah ringnya,"
Rena mengangguk dan segera melompat sesuai arahan dari Revan.
Lemparan bolanya gagal masuk ke ring.
Rena menghela nafasnya kecewa, dirinya memang payah kalau pelajaran Penjaskes dan adu fisik.
Revan segera mengambil bolanya dan memberikannya kembali kepada Rena. Kemudian Revan berdiri lagi di belakang gadis itu.
"Cara lo melempar masih kurang tepat Ren," kata Revan dari belakang gadis itu lalu memajukan kedua tangannya dan menempelkan kedua tangannya ke atas tangan Rena yang sedang memegang bola. Revan sedikit membungkuk untuk menyesuaikan tingginya dengan gadis itu.
Kali ini Rena deg-degan. Sebelumnya tidak pernah ada lawan jenis yang pernah menyentuh tangannya.
"1 2 3, lempar Ren!" Revan memberi aba-aba lalu keduanya melempar bola bersamaan dan kini bolanya berhasil masuk ke dalam ring.
"Jadi Ren, lo lemparnya harus lurus ke atas, gue lihat tadi cara lo lempar tuh miring beberapa derajat,"
"Udah ya, makasih," Rena tidak peduli lagi dengan teori-teori dari cowok itu. Ia merasa malu jadi pusat perhatian saat ini.
"Van, gue nggak diajarin juga?" celetuk Valia yang baru saja mematikan rekamannya.
"Udah sini!" panggil Revan sambil menyeringai.
...****************...
Revan kini berusaha mengakrabkan diri dan masuk dalam pertemanan Rena dan Valia. Sebenarnya saat jadi anak baru, Valia adalah orang pertama yang dekat dengannya. Itu karena bangku mereka berdekatan. Selain itu, sedikit banyak karakter Valia dan Revan itu sama-sama ekstrovert. Mereka adalah tipikal orang yang pandai bergaul dan gampang membaur dengan lingkungan yang baru.
"Van, sini gabung!" Panggil Valia saat melihat Revan baru saja selesai memesan menu makanan di kantin sekolah.
"Kok dipanggil sih Val," Rena agak keberatan.
"Ya nggak apa-apa Ren, kan teman sekelas kita," Valia beralasan.
Rena melihat, Revan sedang berjalan mendekat ke arah meja kedua gadis itu yang sedang menikmati makan siang dengan menu gado-gado.
Revan menarik kursi dan duduk di depan kedua cewek itu.
"Gue ikut gabung ya," ucap Revan, menatap keduanya bergantian.
Valia mengangguk setuju, tapi Rena diam saja, sambil fokus menikmati gado-gadonya.
"Lo pesan apa Van?" tanya Valia, soalnya ia dan Rena sudah lebih dulu makan, jadi tidak enak sama Revan yang melihat keduanya makan sementara dirinya belum makan.
"Mie ayam," jawab Revan singkat.
"Eh sama tuh dengan si eneng, dia juga doyan mie ayam, tapi hari ini lagi demen dia makan gado-gado," Valia menyenggol pelan lengan Rena.
"Ya kali tiap hari makan mie ayam di sekolah, bisa eneg gue," Rena kembali risih, terlihat jelas jika temannya itu ada niat untuk selalu membuatnya bisa berinteraksi langsung dengan Revan.
Revan tersenyum saja melihat respon Rena yang tampak acuh.
"Ren, lo traktir Revan juga kan?" tanya Valia lagi
Rena mengangguk saja.
"Wah ditraktir nih, dalam rangka apa? Ulang tahun?" Revan bertanya penuh semangat.
"Bukan. Kemarin waktu bazaar, gue sama Rena jualan aksesoris manik. Dan alhamdulilah ada orang berhati malaikat ngeborong semua dagangan kita,"
"Oh ya. Keren banget tuh," Revan menyeringai senang.
"Lo tahu nggak Van, selain ngeborong dia juga lebihin uangnya," Valia makin bersemangat menceritakan tentang dagangannya kemarin.
Rena merasa tak nyaman, ia tahu Valia itu ekstrovert dan mudah terbuka dengan orang lain. Beda dengan dirinya yang hanya akan bicara ketika ditanya dan menjawab seperlunya.
"Dan coba lo tebak, lebihnya kira-kira berapaan?" tanya Valia makin antusias.
"Berapa emangnya?"
"Satu juta Van. Itu bukan fee lagi namanya, tapi sedekah,"
"Wah keren banget kalian. Sayang banget kemarin gue nggak tahu kalau kalian juga datang ke bazaar itu. Benar-benar surprise banget lihat kalian pas gue manggung," kini Revan dan Valia asyik saling mengobrol, sementara Rena hanya jadi pendengar dan berusaha bersikap wajar.
"Kita malah lebih surprise lagi. Lo ternyata anak band juga, kirain cuman tahu ngelempar bola, petik gitar lu juga jago. Pantes lu banyak penggemarnya," Valia memuji Revan dengan segala pesonanya.
Revan hanya nyengir.
"Sejak kapan lo jadi anak band? Kok bisa sih nyempil jadi salah satu personil band-nya anak Dharma Yaksa?"
"Gue dulu sekolah di Dharma Yaksa, dan gue udah gabung band sejak kelas sepuluh," ungkap Revan.
"Astaga, beneran lo dulu sekolah di Dharma Yaksa. Kok bisa pindah sih?" Valia menatap heran sekaligus penasaran.
"Ya biasalah ada kesalahpahaman, tapi gue malas membela diri. Dah lah pindah sekolah aja. Pengin suasana baru sebelum lulus, siswa Dharma Yaksa tuh persaingannya sengit banget, sakit kepala gue kalau terlalu serius belajar,"
"Ah elu Van, rendah diri banget. Guru-guru aja pada muji Lo juga jago pelajaran eksak,"
"Gue cabut duluan ya," celetuk Rena yang sudah bangkit berdiri. "Kalian makan aja, nanti gue bayar," Rena bergegas pergi ke arah penjual di kantin untuk membayar makanannya dan juga makanan Revan dan Valia.
"Rena!" panggil Valia, namun Rena pura-pura tidak dengar.
"Tuh kan, ngambek dia. Kita keasyikan ngobrol sih, trus lupain dia,"
Revan hanya terus menatap Rena hingga gadis itu berjalan pergi meninggalkan area kantin. Tak lama kemudian pesanan mie ayam pun tiba.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments