Baskara bersama Dirga, sekretarisnya sedang mengobrol bersama di ruang kerjanya. Mereka masih membahas soal Alvin dan tindakan korupsinya.
"Sebenarnya sejak awal, aku tidak yakin jika Alvin adalah pelaku tinggal dari kasus korupsi ini," ujar Baskara.
Dirga diam berpikir sambil manggut-manggut pelan, "bisa jadi Bas, dia staf yang begitu polos dan sepertinya memang mudah untuk dipengaruhi dan juga dibodohi," Dirga adalah sahabat Baskara, mereka dulunya menempuh pendidikan di kampus yang sama.
"Tapi semua bukti mengarah padanya," Baskara menatap curiga. "Apa tim pencari fakta sudah memulai penyelidikan lebih lanjut?"
Dirga mengangguk, "aku sudah menjadwalkan hari ini mereka akan bertemu dengan Manajer Keuangan,"
Baskara menatap ragu, tapi kemudian ia tersenyum smirk, "Apa Manajer Keuangan bisa menunjukkan mereka pada kebenaran-kebenaran yang tersembunyi?"
"Kau curiga padanya?" Tanya Dirga.
"Entahlah. Tapi kurasa Alvin bisa jujur sekarang pada kita dan pada pihak berwajib, setidaknya dia akan berpikir tidak akan membusuk sendiri di dalam penjara, jika memang dia bukanlah pelaku tunggal. Mungkin dengan ditangkapnya Alvin dia bisa membongkar semua kebobrokan orang-orang yang bekerja di bagian keuangan perusahaan,"
"Tidak semudah itu Bas. Jika memang Alvin bukanlah pelaku tunggal, berarti di luar sana ada satu atau dua, atau mungkin lebih orang-orang yang seharusnya juga ditangkap, mereka bisa saja mengancamnya kalau buka suara untuk jujur, maka keluarganya akan terancam,"
Baskara terdiam sejenak, seketika ia teringat pada sosok Rena, yang hari ini resmi ia tampung menumpang di rumahnya.
"Alvin itu punya seorang adik perempuan, bisa jadi mereka menggunakannya sebagai media untuk mengancam Alvin agar tutup mulut dan tidak mengungkap kebenaran lain yang tersimpan,"
Baskara kembali dia mencerna. Apa yang dipikirkan oleh Dirga itu ada benarnya.
"Aku dengar katanya kau menampung gadis itu di rumahmu?" Dirga melanjutkan bicaranya.
Baskara meliriknya dengan raut datar.
"Adiknya Alvin," Dirga semakin memperjelas.
"Iya, itu benar. Aku kasihan melihatnya, dia sangat terpukul dengan kasus korupsi yang menimpa kakaknya. Dan rumahnya mau tak mau harus disita untuk menutupi kerugian, jadi aku menampungnya sementara waktu di rumahku yang besar," jelas Baskara.
Kini Dirga yang diam mencerna sambil menatap sahabat sekaligus atasannya.
"Kenapa menatapku begitu? Aku tahu aku memang kesal pada kakaknya, tapi tidak mesti juga aku kesal pada adiknya kan? Aku sungguh kasihan pada nasib malang yang menimpa gadis itu," ungkap Baskara.
Dirga menghembuskan nafasnya sejenak sambil tersenyum sejenak, "awalnya kupikir kau bersimpati padanya karena gadis itu memiliki mata yang persis sama seperti matanya Kinan,"
Baskara tak menggubris, ia tahu dirinya sedikit sensitif jika membahas soal almarhumah sang istri.
"Apa agenda hari ini?" tanya Baskara mengalihkan pembicaraan.
"Ada janji pertemuan dengan klien setelah jam makan siang di restoran Hotel Sentosa," jawab Dirga tak lepas mengamati gelagat Baskara.
"Tolong diundur satu atau dua jam,"
"Kenapa?"
"Aku harus pulang, ada beberapa berkas yang tertinggal, tadi aku terburu-buru ke kantor karena harus memimpin rapat,"
"Kau bisa menyuruh Pak Hasan untuk mengambilnya, atau biar aku sekalian yang ambil,"
"Aku tidak mau Pak Hasan salah ambil berkas, lagipula aku membayarnya untuk menjadi sopir pribadiku saja, aku tidak suka ada orang lain yang mengusik ruang kerjaku,"
"Bas, sampai kapan kamu akan terus disupiri sama Pak Hasan, ini sudah berlalu bertahun-tahun, kau bisa mencobanya pelan-pelan untuk mulai mengandarai mobilmu sendiri,"
"Dirga, aku tidak takut mati jika aku masih trauma menyetir mobil, tapi setiap kali aku menyetir sendiri, kenangan tragis itu sangat menyiksa bathin dan pikiranku. Seharusnya kamu bangga dong, aku berbaik hati mempekerjakan Pak Hasan sebagai sopirku, bahkan sampai sisa umurku aku tidak keberatan membayarnya jika dia terus menjadi sopir pribadiku," Baskara bangkit sambil membetulkan kancing jasnya.
...****************...
Valia tak lepas mengagumi ruang tamu rumah Tuan Baskara yang luas dan dipenuhi dengan perabotan yang mewah dan berkilau.
"Val!" panggil Rena.
Gadis yang masih mengenakan seragam SMA-nya itu menoleh ke arah Rena.
"Gue nggak nyangka Ren, rumahnya sebesar dan sekeren ini. Gue pikir si Luna anak Kepala Sekolah, rumahnya yang paling besar dan mewah, ternyata rumah lo tempati sekarang jauh lebih besar dan mewah, ya emang benar sih, di atas langit masih ada langit," Valia cekikikan pelan.
"Ya wajar, kan rumahnya bos perusahaan,"
Valia seketika tampak sedih, teringat Alvin dan juga nasib sang kawan yang kini hidup menumpang di rumah bos kakaknya.
"Gue sedih banget, Ren," Valia cukup tahu jika Rena adalah anak adopsi di keluarga Alvin. Jadi dirinya memang begitu bersimpati dan berempati yang tinggi dengan nasib seorang Renata. Hidup gadis itu sejujurnya penuh dengan cobaan walau ia masih bisa tersenyum dan tertawa-tawa saat bersamanya. Baru saja Rena dan Alvin saling menunjukkan rasa sayang setelah kematian sang ayah, kini Rena harus terpisah raga dengan sang kakak, yang walau dulu menyebalkan tapi sejujurnya ia sangat menyayangi Alvin.
"Makasih ya Val, udah dijengukin. Gue nggak apa-apa kok, gue baik-baik saja," Rena tersenyum meyakinkan.
"Bosnya abang lo, beneran baek kan?" Valia ingin memastikan. Sejujurnya ia agak khawatir.
"Ya iyalah, kalau nggak baik, mana mungkin dia nawarin aku tinggal di sini sementara waktu,"
Valia diam sejenak, berpikir dengan raut curiga, "gue tuh udah sering baca di novel-novel Ren, lelaki dewasa yang satu rumah sama cewek remaja kayak lo, gue takut lo di apa-apain ih, kata tetangga lo mukanya serem, kumisan, brewokan, kayak om-om gitulah,"
"Val, jangan ngomong sembarangan ih," bisik Rena melotot tajam
"Tetangga lo bilang mirip sugar daddy," bisik Valia.
"Hus! Jangan bicara sembarangan, Tuan Baskara bukan Sugar Daddy, kan nggak enak kalau didengar sama Bu Lasmi," Rena menjepit mulut Valia dengan jemari kanannya, menatapnya gemas sekaligus kesal.
Saat itu juga Bu Lasmi datang membawakan minuman dingin bagi kedua gadis remaja yang sedang duduk bersama di sofa ruang tamu.
"Makasih Bu Lasmi," ucap kedua gadis itu dengan kompak.
Bu Lasmi hanya balas tersenyum, "diminum ya,"
"Iya Bu," sahut Rena sambil mengamati Bu Lasmi yang berjalan pergi meninggalkan ruang tamu hingga hilang dari pandangan.
Rena lalu menyilakan Valia untuk meneguk orange jusnya. Setelah meneguk orange jusnya, saat itu juga Baskara memasuki rumah dan pandangannya tertuju pada dua sosok gadis remaja yang sedang duduk berdampingan di sofa ruang tamu rumahnya.
Rena tampak kaget, ia refleks berdiri menatap canggung ke arah sang tuan rumah.
"Tuan Bas,"
Valia pun ikutan kaget dan juga berdiri, memandangi langsung sosok Tuan Baskara. Tampak sekali raut lelaki dewasa yang tua di mata Valia.
"Kenalin, ini teman saya, Valia," sahut Rena.
"Halo om," Valia tersenyum ramah.
Baskara menatapnya agak kaget.
Rena menyikut pelan pinggang Valia dan keduanya saling berpandangan. Rena seolah berkata jangan memanggilnya dengan sebutan om, tapi Valia tidak mengerti.
"Halo om, saya Valia, teman sebangkunya Rena di kelas," ujar Valia menjelaskan lebih dalam.
"Mohon maaf Tuan Bas," sahut Rena sambil menutup mulut Valia agar berhenti memanggil Baskara dengan sebutan om. Rena bisa melihat jika Baskara tampak kurang nyaman dengan panggilan om yang diberikan Valia kepadanya.
"Silakan kalian lanjut ya," Baskara lalu melenggang pergi meninggalkan ruang tamu dan menuju ke ruang kerjanya.
"Val, jangan manggil dia om," ujar Rena langsung begitu Tuan Baskara meninggalkan ruang tamu.
"Sorry Ren, ya dia emang bapak-bapak kan, aku harus panggil apa? Masa kakak? Masa bapak?"
"Panggil Tuan Baskara lah, please deh Val, aku itu udah syukur banget Tuan Bas mau menampungku di rumahnya,"
"Iya, iya, Ren, sorry ya."
Baskara memasuki ruang kerjanya dan langsung menatap wajahnya di depan cermin besar. Ia memandangi kumis tipis dan juga brewok di wajahnya, setelah kematian sang istri, ia memang jarang memperhatikan penampilannya. Dulu sang istrilah yang sering mencukur kumis dan brewoknya, kini saking sibuknya bekerja ia jadi ada alasan untuk tidak rutin mencukur kumis dan brewoknya.
Baskara menyentuh pelan rambut brewok di wajahnya, "apa aku setua itu sampai harus dipanggil om?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Evi Sugianto
Membayangkan Baskara visualnya seperti aktor babang Turki 😁 cool banyakkk. 🥰
2024-02-05
0