Rena bergegas ke lapak dagangannya, begitu sampai ia sudah disambut oleh Valia dengan senyum sumringah.
"Ren, dagangan kita habis," ujar Valia senang. "Coba periksa rekening kamu, ada dana yang masukkan? Soalnya tadi bayarnya pakai Qris,"
"Siapa yang borong, Val? Tuan Baskara kan?" Rena begitu tidak sabaran ingin memastikan fakta sebenarnya. Ia bahkan abai dengan perintah Valia untuk memeriksa dana yang masuk ke rekeningnya lewat mobile banking. Tadi saat di jalan ia mendengar bunyi notifikasi pada ponselnya, namun ia abai karena tak mau jadi salah fokus saat di tengah keramaian.
"Kok nanyain Tuan Baskara sih, bukanlah," Valia merasa aneh dengan sikap Rena yang tampaknya begitu mengharapkan sosok itu.
"Lo yakin?"
"Iyalah. Tuan Baskara kan brewokan, yang datang ngeborong tadi orangnya mukanya bersih, wangi, plus rapih," ungkap Valia sambil membayangkan wajah Dirga yang tampan. "Gue juga jadi lupa tadi nanya namanya, ya soalnya lagi fokus menghitung semua harga, takutnya salah kasih jumlah harga,"
Rena hanya diam. Dirinya yakin, jika orang yang memborong dagangannya pastilah Tuan Baskara, si pemilik Kinara skincare dan kosmetik. Bisa saja, tadi adalah orang suruhannya. Rena menatap sekelilingnya berharap bisa menemukan sosok Tuan Baskara di tengah keramaian.
"Ren, lo kenapa sih? Lo nggak dengar tadi gue suruh periksa isi rekening lo, dananya beneran masuk nggak?" Valia begitu tidak sabaran sampai gemas sendiri.
Rena merogoh saku roknya dan mengeluarkan ponsel androidnya. Notifikasi SMS bankingnya sudah masuk, ada dana sejumlah 2.800.000 rupiah masuk ke rekeningnya belasan menit yang lalu. Valia segera mengambil alih ponsel itu, matanya membelalak kaget saat membaca nominal yang tertera.
"Loh, bagaimana bisa dua juta delapan ratus. Ini lebih karena sedekah atau karena salah nominal?"
"Emang tadi totalnya berapa?" Rena percaya pada Valia sebagai teman yang amanah.
"Satu juta delapan ratus Ren, aku ngomongnya pelan dengan artikulasi yang jelas. Masa iya sih bapaknya budek, nggak mungkinlah cakep-cakep tapi budek," Valia berasumsi sendiri.
"Kalau gitu kita cari yuk, buat balikin duitnya," ajak Rena antusias, ia berharap bisa bertemu dengan Tuan Baskara saat ini.
"Nggak bisa ditransfer balik aja Ren, ke rekeningnya?" Valia beranggapan akan susah mencari sosok lelaki yang telah memborong dagangan mereka. Ia sudah berlalu sejak belasan menit yang lalu.
"Nggak bisa Val. Tiga digit terakhir rekeningnya itu nggak kelihatan, disensor," jelas Rena, itu juga alasannya agar ia bisa segera menyisir setiap lokasi bazaar mencari sosok Tuan Baskara.
"Tapi bentar dong, gue minum dulu ya, baru kerasa nih haus banget," Valia melirik ke arah bungkusan minuman dan banana roll yang masih digenggamnya.
...****************...
Baskara dan Dirga mampir di sebuah cafe tak jauh dari lokasi SMA Dharma Yaksa, hanya berjarak beberapa ratus meter. Keduanya memesan minuman yang sama yaitu Americano.
"Kalau dipikir-pikir lagi, adiknya Alvin itu cukup berbakat membuat kerajinan tangan seperti itu. Kalau masa depannya bagus, dia bisa jadi desainer perhiasan nanti," ungkap Dirga saat Baskara sedang meneguk Americano-nya.
Baskara manggut-manggut setuju. Soalnya hari ini ia merasa senang bisa membantu gadis itu dengan melariskan dagangannya walau nyatanya, Dirga-lah yang ia suruh untuk melakukan itu. Dirga bahkan tak lupa menjalankan pesannya untuk melebihkan uang pembelian aksesoris itu sampai satu jutaan.
"Ya kalau senang bantuin anak itu, kenapa harus aku yang ke sana langsung? Kan bagus kalau mereka melihatmu langsung Bas, apalagi si anak yang namanya Valia itu sudah kenal kamu juga kan?"
"Dirga, kamu tahu sendiri aku lebih suka bermain di balik layar,"
Suasana berubah hening, kedua lelaki dewasa itu tampak menikmati Americano-nya masing-masing.
"Bas, mau makan malam di luar, atau aku langsung antar pulang?" tanya Dirga saat menyadari hari semakin petang.
"Kita balik ke Dharma Yaksa, aku harus pastikan kalau anak itu sudah pulang," jawab Baskara sambil melirik arloji mahal yang melingkari pergelangan kirinya.
"Pasti sudah pulang Bas, dagangannya kan sudah kamu borong sore tadi,"
"Aku harus ke sana langsung untuk memastikan Ga," Baskara kekeuh dengan ucapannya tadi.
"Kamu, peduli sama anak itu karena dia, mirip Kinan kan?" tanya Dirga ingin memastikan.
Baskara diam sejenak, itu memang benar. Tapi dia punya alasan lain.
"Saat mengajaknya tinggal di rumahku, aku sudah berjanji padanya untuk menjadi walinya, jadi ya secara tidak langsung, anak itu adalah tanggung jawabku selama kakaknya mendekam di penjara,"
"Sampai kapan Bas? Untuk saat ini kamu masih memandangnya sebagai seorang anak perempuan, seorang anak yang butuh perwalian dan perlindungan dari orang yang lebih tua. Tidak lama lagi, anak itu akan menjelma menjadi seorang gadis dewasa, apa kamu bisa menjamin kalau hatimu tidak akan goyah terlebih kalian sering bertemu muka karena tinggal satu atap?"
Baskara menatap Dirga tak percaya dengan kata-kata yang terlontar dari mulut sahabatnya itu. Baskara tidak pernah berpikir jauh sampai ke sana. Memang ada perasaan senang saat ia membawa gadis itu ke rumahnya, sebab seperti yang Dirga katakan kalau melihat Rena, seakan ia bisa melihat Kinan hidup kembali lewat kedua matanya yang bening.
"Aku tidak pernah berpikir sampai ke sana Dirga. Kamu tahu sendiri, tidak ada yang bisa menggantikan Kinan di hatiku. Dia mati, dan hatiku juga sudah ikut mati bersamanya," Baskara mengucap begitu emosional, sampai Dirga menatap bersalah karena telah melukai perasaan lelaki itu, yang selama sisa hidupnya dipastikan ia akan terus hidup dalam bayang-bayang perasaan bersalah dan penuh penyesalan atas kematian Kinan dan calon bayi mereka, karena keteledorannya saat mengemudi enam tahun yang lalu.
Sebenarnya Dirga akan merasa senang, jika Baskara bisa jatuh cinta lagi dengan perempuan lain selepas kepergian Kinan. Tapi jika itu harus dengan Rena, Dirga merasa keberatan dan tidak setuju, sebab jarak usia keduanya terlalu jauh, selisih usia mereka sampai tujuh belas tahun, ia takut dengan hadirnya Rena, Baskara malah akan mengidap paedofilia. Apalagi usia Rena yang masih di bawah umur, belum cukup 17 tahun.
...****************...
Meski dagangan mereka telah habis, dan keduanya sempat mendapat beberapa pembeli yang custom gelang, Valia menolak untuk segera pulang. Ia memaksa Rena untuk menemaninya menonton konser band indie. Setelah berlelah-lelah dengan urusan dagang, tidak ada salahnya rileks sedikit dengan menikmati hiburan musik yang masih on di atas panggung.
Rena sejujurnya sudah merasa lelah, dirinya yang introvert sebenarnya kurang nyaman di tengah keramaian begini. Tapi demi Valia, ia akan menyanggupi. Gadis itu juga sudah berjuang untuknya, membantunya berjualan.
Kedua gadis itu berdiri di depan panggung hanya di batasi oleh pembatas besi. Band selanjutnya pun tampil, para personilnya satu per satu naik ke atas panggung. Kedua gadis itu tampak kaget saat melihat siapa yang mengisi posisi gitaris. Tak lain dan tak bukan adalah Revan, siswa baru di kelas mereka.
"Gila, itu si Revan! Gue kira dia tahunya cuman basket, sekarang nyambi jadi gitaris juga," cerocos Valia yang tampak kagum memiliki teman yang keren dan berbakat seperti Revan.
Rena diam saja, meski ia sendiri juga tak lepas menatap ke arah sosok Revan yang tampak keren dalam balutan kemeja kotak-kotak hitam dengan celana jeans dan sepatu kets yang senada dengan warna kemejanya.
Band itu lalu memperkenalkan dirinya yang diwakili oleh sang vokalis.
"Selamat sore semuanya. Gue harap kalian akan menikmati hiburan penutup petang ini dari band kami. Kenalin kami dari Blue Band,"
Valia sontak tertawa keras, "ha ha ha lawak banget, personilnya pada keren-keren, cakep-cakep, masa iya band-nya diberi nama Blue Band. Margarin kali,"
Rena ikut tertawa namun, tawanya tak bersuara. Pemilihan nama Blue Band itu memang sangat lucu, benar-benar di luar ekspektasi mereka. Rena jadi merasa sepertinya nanti ia akan memberanikan dirinya bertanya langsung pada Revan mengapa band-nya itu menggunakan nama Blue Band, persis nama sebuah merek margarin yang beredar di tengah masyarakat.
"Mungkin maunya kayak Ungu Band kali, tapi cuman bisa jadi Blue Band," celetuk Rena.
"Ih, Renaku, udah jago ngelawak juga ya," Valia langsung terkekeh dengan jokes yang dilontarkan Rena tadi. "Bener deh, hari ini lelahnya gue sehabis mencari nafkah jadi buyar karena Blue Band-nya si Revan sama jokes dari lo," Valia kembali tertawa sambil memegangi perutnya.
"Oke, oke, terima kasih dari para penonton atas sambutan tawanya yang meriah sore ini," ucap sang vokalis lewat pengeras suara. Ia lalu mendengarkan pertanyaan dari salah satu penonton, yang bertanya apa filosofi sehingga band mereka dinamakan Blue Band.
"Yang nanya kenapa nama band kita adalah Blue Band. Pasti bukan anak dari Dharma Yaksa kan? Kalau anak Dharma Yaksa pasti pada tahu kalau kita menamain band ini dengan nama Blue Band simple aja sih, karena semua personil band ini adalah penyuka warna biru," jawab sang vokalis. "Dan kenalin gue Bryan sebagai vokalis, kemudian di belakang kiri gue ada Revan sebagai gitaris utama,"
Revan menangkupkan tangannya dan tersenyum ke arah lautan penonton.
"Revan! Revan!" teriak Valia sekencang mungkin sambil melambaikan kedua tangannya. Revan seolah mencari dengan kedua matanya di mana asal suara itu, ia cukup mengenali suara Valia. Dan akhirnya cowok itu melihat Valia tersenyum riang menatap ke arahnya. Revan balas melambaikan sebelah tangannya dan seketika kedua matanya juga mendapati Rena yang berdiri diam dan kalem di samping Valia. Keduanya saling berpandangan sejenak, tapi Rena kemudian mengalihkan pandangannya. Revan pun tersenyum samar.
"Lanjut Fajri sebagai gitaris kedua, dan di belakang kanan gue ada Aldo sebagai drummer," lanjut sang vokalis memperkenalkan anggotanya yang lain.
Aldo tersenyum sambil memukulkan stik drum-nya.
"Baiklah, sebagai penutup kegiatan bazaar sore ini, satu buah lagu ciptaan band kami yang berjudul Meraih Angan,"
Revan pun bersiap dengan Fajri dengan menggoreskan senar gitar listrik mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments