Rena meringis kesakitan sambil memegangi lengannya yang menabrak keras dada seseorang. Rasanya tidak seperti menabrak sebidang dada, melainkan sebuah batu, keras dan meninggalkan sakit yang nyut-nyutan di lengannya yang kecil.
"Argh, rese lu!" umpat seorang cowok sambil menatap geram seragam putihnya yang kini berwarna kecoklatan akibat ketumpahan minum karbonasi yang sementara sedang diteguknya sambil berjalan. Tiba-tiba saja seseorang menabrak tubuhnya, karena ia kuat tubuhnya tak gentar, justru yang menabrak, tubuhnya begitu ringkih sampai ia terjatuh dan meringis kesakitan.
Cowok itu menatap ke arah si penabrak yang kini mendongak menatapnya penuh rasa bersalah. Cowok itu ingin mengumpat lagi, ingin mengata-ngatainya seperti dengan kalimat yang umum 'jalan itu pakai mata, bukan pakai dengkul' tapi ia hanya terpaku sejenak saat menyadari bahwa yang menabraknya adalah seorang perempuan.
Rena segera bangkit sambil memegangi lengannya yang terasa sakit, sakit yang masih bisa ia tolerir dan ia tahan untuk tidak terlalu ditampakkan lewat raut wajahnya.
"Sorry ya, gue tadi buru-buru," ucap Rena menelisik wajah si cowok, wajahnya begitu asing, rasanya baru pertama kali ia melihat cowok itu di sekolah ini. Untuk kesan pertama ia menilai cowok itu tampan, meski sorotnya tampak antagonis. Rena tahu, sebab ia yang salah, terburu-buru sehingga merugikan orang lain. Seragam putih cowok itu kini terkena noda kecoklatan dari tumpahan minuman karbonasi yang dibawanya. Rena membaca sejenak papan nama cowok itu, Revandra Wijaya. Cowok itu juga melakukan hal yang sama dengan membaca papan nama gadis itu. Renata Amelia.
"Elu ya, hancurin mood gue pagi-pagi," Revan masih tampak kesal.
"Ya sorry, nanti gue ganti baju lo. Lo anak kelas berapa?"
Revan tak menjawab, ia lalu menggerakkan jemari-jemarinya membuka kancing seragamnya satu per satu. Sambil melirik kesal kepada Rena.
Rena melotot menatapnya, "lo mau ngapain?" apalagi di sekitar mereka banyak siswa yang diam menatap keduanya, seolah-olah dirinya dan Revan adalah mangsa untuk dijadikan bahan gosip satu sekolah. Apalagi Revan adalah anak baru yang baru tiga harian ini eksis di sekolah dan langsung jadi salah satu cowok populer.
"Gue mau ganti baju!" ketusnya, hingga saat ini ia hanya mengenakan kaos singlet putih yang menampilkan siluet dada dan perutnya yang rata. Revan menggenggam sebelah seragamnya dan sebelah tangannya lagi, mencengkram pergelangan Rena dan menyeretnya ikut bersamanya.
"Lepasin! Lo mau bawa gue ke mana?" Rena berusaha berontak, tapi cengkraman Revan begitu kuat, dan tubuhnya yang ringkih dan kecil tak mampu memberi perlawanan berarti. Seketika keduanya jadi konsumsi setiap pasang mata di lingkungan sekolah. Tak hanya menatap, mereka pun saling berbisik-bisik yang pastinya keduanya kini jadi bahan empuk gibahan di kalangan para siswa dan siswi.
Revan sampai menyeret paksa Rena ikut bersamanya ke koperasi sekolah. Cowok itu langsung meminta satu buah seragam baru kepada penjaga koperasi.
Saat Rena berontak lagi untuk melepaskan tangannya, barulah Revan melepas cengkeramannya.
"Lo apa-apaan sih nyeret-nyeret gue ke sini," kesal Rena sambil mengelus-elus pelan pergelangannya yang tadi dicengkeram kuat oleh Revan. Meninggalkan sedikit rasa sakit.
"Katanya mau gantiin baju gue," kata Revan dengan raut datar. Sejurus kemudian ia menerima sebuah seragam putih baru yang terbungkus plastik dari penjaga koperasi.
"Makasih ya Bu, katanya dia yang bayar nih," ucap Revan sambil memakai seragam putihnya yang baru, tidak peduli karena baru jadi tampak kusut karena bekas lipatannya yang kentara. Yang penting ia tidak merasa risih lagi pakai seragam putih yang kotor.
Rena menghela nafasnya, tampak pasrah"ya udah, harganya berapa bu?" tanya Rena sambil mengeluarkan dompetnya dari dalam tas ranselnya.
"harganya seratus dua puluh ribu,"
Rena lalu memberikan selembar uang pecahan seratus ribu dan lima puluh ribu. Ia kemudian menunggu kembaliannya sambil melirik ke arah Revan yang baru saja selesai mengancing seragam putih barunya. Cowok itu tak sungkan membuang seragam putihnya yang kotor ke tempat sampah.
"Oke, lo udah bertanggung jawab. Makasih ya. Makanya lain kali hati-hati kalau jalan, lagian juga bel masuk masih lama, buru-buru banget jalannya sampai nggak lihat-lihat," nada bicara Revan kini tidak ketus lagi, meski wajahnya masih tampak galak.
"Gue udah minta maaf tadi. Nggak usah banyak omong lagi deh," Rena bergegas pergi mendului Revan setelah menerima uang kembaliannya. Gadis itu berjalan dengan langkah cepat menuju ke kelasnya di XII MIPA 1.
Begitu sampai di kelas, ia melihat Valia segera berjalan menghampirinya, kemudian menyapa seseorang di belakangnya.
"Hai Revan," sapa Valia dengan senyum yang ramah.
Rena seketika menoleh ke arah cowok itu, dan menatapnya dengan mata yang melotot tajam.
"Lo ngapain ngikutin gue?"
"Idih, siapa juga yang ngikutin lo. Ini tuh kelas gue juga," jawab Revan, sambil menahan tawanya melihat bagaimana kegeerannya Rena yang menuduhnya mengikutinya sampai di kelas.
Rena tak bisa berkata-kata untuk membalas cowok itu. Kedua matanya mengikuti Revan berjalan ke arah bangkunya, dan kejutan selanjutnya adalah Revan duduk persis di belakangnya.
"Ren, kenapa sih? Lo udah ketemu Revan tadi?"
"Dia siapa? Anak baru?" tanya Rena setengah berbisik tak mau Revan jadi keegeran karena sedang jadi topik pembicaraannya dengan Valia.
"Iya, baru kemarin masuk. Pas Lo nggak datang," jawab Valia sambil melirik Revan yang curi-curi pandang ke arah dirinya dan Rena.
Rena mendengus, setelah itu dirinya tidak ingin peduli lagi. Ia lalu berjalan ke arah bangkunya yang tepat di depan Revan. Ia tampak acuh, tidak mempedulikan Revan yang menatapnya terang-terangan.
Valia pun ikut duduk di bangkunya.
"Van, lo udah kenalan sama Rena tadi?" tanya Valia yang duduk menyamping agar bisa menatap bergantian pada Rena dan Revan yang duduk sejajar.
"Belum sih, tadi kita ada insiden bareng, mana sempat gue ajak kenalan," jawab Revan bersikap santai, setelah tadi ia bersikap judes karena kesalahan Rena yang tidak sengaja menabraknya. Cowok itu segera bangkit dan berjalan ke sisi Rena yang pura-pura sibuk mencari sesuatu dalam tasnya.
"Hai, gue Revan," Revan mengulurkan tangan kanannya dan tak lepas menatap Rena yang kini merasa agak risih.
"Gue Rena," sahut gadis itu tanpa balas menatap Revan, ia bahkan mengabaikan uluran tangan cowok itu.
Revan menurunkan tangannya tanpa merasa marah ataupun tersinggung. Mungkin gadis itu marah padanya karena tadi ia bersikap seenaknya pada gadis itu mentang-mentang insiden tabrakan tadi adalah murni kesalahan Rena saja karena tidak lihat-lihat jalan, padahal dirinya juga salah, tidak fokus menatap jalan di depannya, karena tengah asyik meneguk minuman kaleng berkarbonasinya sambil berjalan. Keduanya pun bertabrakan di belokan.
"Yah Ren, lo kenapa sama Revan?" Valia menatap bingung melihat bagaimana risih dan kesalnya Rena pada sosok Revan. Padahal sejak mengenalnya kemarin-kemarin, Valia menyukai sosok Revan yang cukup humoris, pandai bergaul dan pandai beradaptasi di lingkungan kelas dan sekolahnya yang baru.
"Gue mau nemuin wali kelas dulu, konfirmasi soal ketidakhadiran gue kemarin," sahut Rena segera bangkit, hendak meninggalkan kelas menuju ke ruang guru menemui Bu Dila, wali kelasnya.
Revan kembali duduk di bangkunya dan Valia langsung melemparinya dengan sebuah pertanyaan, "Van, lo tadi ada insiden apa sama Rena? Kelihatannya dia bete banget lihat lo,"
Revan lalu menceritakan semuanya kepada Valia tanpa rasa bersalah, bahkan sesekali ia tersenyum dan tertawa mengingat apa yang sudah ia lakukan pada gadis itu. Membuka baju dan menyeretnya paksa dengan mengenakan kaos singlet, sebetulnya membuat Rena malu. Tapi Revan biasa saja, sebab ia adalah tipe kepribadian yang ekstrovert, beda dengan Rena yang introvert.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments