Rena hanyalah seorang murid SMA biasa. Di sekolah, dirinya dipandang biasa-biasa saja, dari segi akademik ataupun popularitas. Biasanya cewek-cewek cantik dan populer di sekolahnya adalah para anggota tim pemandu sorak. Sementara dirinya hanya seorang gadis introvert yang susah memiliki banyak teman, karena Valia berkepribadian ekstrovert, maka gadis itu yang duluan mendekati Rena, hingga mereka bisa berteman dengan baik. Valia adalah sosok teman yang bisa melengkapi kekurangan seorang Rena yang introvert.
Kenapa Valia mau berteman dengan Rena, karena gadis itu adalah tipe yang apa adanya, tidak bermuka dua, kalau main dengan Rena, Valia merasa dirinya tidak harus boros uang jajan karena nongkrong dan minum di cafe kekinian, Valia senang menemani Rena karena gadis itu sehabis pulang sekolah paling suka membuat kerajinan tangan seperti gelang, gantungan ponsel, ataupun kalung yang bahan utamanya terbuat dari manik-manik lucu. Valia pun sering membantu Rena menjual hasil kerajinan tangannya.
Kedua gadis itu kini duduk bersama di kantin saat tiba jam istirahat.
"Gue pesen ya. Mau apa? atau seperti biasa?" Valia menawarkan diri, ia segera berdiri dan akan segera pergi memesan menu makan siang. Rena biasanya bawa bekal, tapi kali ini gadis itu tidak membawa bekal sama sekali.
"Nggak Val, lo aja. Gue beli roti aja," Rena berkata sambil menggeleng pelan.
Valia menghela nafasnya sejenak dan menatap kawannya itu dengan rasa iba, "oke, gue tahu lo saat ini lagi susah, setelah musibah yang menimpa Kak Alvin,"
Rena mengangguk pelan dan tersenyum menatap Valia yang begitu pengertian terhadapnya. Sebenarnya Rena bisa saja mengeluarkan uangnya kalau untuk urusan perut, tapi tadi uang yang di dompetnya terpakai habis untuk membayar seragam putih baru untuk Revan, uangnya sisa tiga puluh ribu, setidaknya itu akan cukup untuk ongkos pulangnya nanti untuk naik ojol. Padahal kalau dipikir-pikir, seragam itu pasti masih bisa putih kembali kalau dibawa ke tempat laundry.
"Jadi gue pesan mie ayam ya, buat lo. Tenang aja, gue yang bayar,"
"Nggak usah repot-repot Val,"
"Aelah, lu kayak nggak anggap gue teman aja ngomong kayak gitu. Kita tuh temenan udah lama, kalau lu lagi banyak duit juga gue nggak pernah nolak tiap ditraktir, nah sekarang giliran gue, dan gue nggak mau ditolak,"
Rena merasa senang sekaligus terharu karena memiliki teman yang tulus dan pengertian seperti Valia, "thanks ya bestie, love sekebon deh,"
Valia balas tersenyum, kemudian bergegas untuk memesan semangkuk mie ayam dan juga bakso untuknya.
"Ren, gue dapet info kalau besok tuh ada bazaar yang diadakan di lapangan SMA Dharma Yaksa, kebetulan ada adik sepupu gue yang jadi anggota OSIS di sana, dan gue udah minta bantuan dia supaya kita bisa ikut partisipasi di bazaar itu dengan buka stand buat jualan kerajinan manik-manik lo," ujar Valia setelah ia kembali sehabis memesan menu makan siang.
"Serius Val?" netra bening Rena, berbinar senang.
Valia mengangguk sambil menyesap pop ice chocolate-nya.
"Gue sayang banget sama lo, Val," Rena merangkul Valia penuh rasa syukur, lalu mengecup sebentar sebelah pipinya tanpa peduli dengan tatapan siswa-siswi lainnya di sekitar mereka.
"Biasa aja neng. Jangan di sini juga, ntar kita disangka lesbi lagi," Valia sok risih, tapi Rena tahu kalau Valia orangnya memang sedikit nyablak soalnya ayahnya adalah orang Betawi.
Rena terkekeh, "nggak usah dipedulikan lah kalau emang nggak benar,"
"Jangan dicuekinlah Ren. Ini tuh sekolah, entar kita jadi korban bully lagi. Apalagi elo itu punya image sebagai cewek baik-baik, jangan sampai rusaklah, kita udah kelas dua belas, bentar lagi bakal lulus,"
"Kalau setelah lulus nanti, lo masih mau nggak, jadi temen gue?"
"Iya dong. Kenapa sih tanya kayak gitu? Gue kurang bukti apalagi kalau gue tuh lebih nyaman temenan sama lo Ren," Valia menatap dalam kedua netra bening Rena.
"Gue bersyukur banget Val, punya teman kayak lo. Setelah orang tua gue meninggal, selain Bang Alvin, cuma lo yang gue punya di dunia ini, makasih ya Val selalu ada saat gue lagi susah dan juga senang,"
"Duh, Rena. Gue kayak mau mewek lu ngomong kayak gitu," Valia berusaha mengendalikan emosinya, tak mau menitikkan air matanya di tempat umum seperti di kantin sekolah. "Apa sih itu, lo mandang gue kayak gitu, mentang-mentang mata lo indah, bening. Gue kalau jadi cowok, pasti udah naksir lo duluan,"
Rena terkekeh pelan. Semua orang yang mengenalnya pasti menyukai matanya, salah satu kelebihan fisik yang ia miliki, anugrah yang diberikan Tuhan sejak ia lahir. Sayangnya, Rena tidak tahu tentang keluarga kandungnya, setidaknya ia bisa menelusuri keturunannya yang memiliki mata indah dan bening seperti matanya, Tapi gadis itu sedikitpun tidak pernah ingin tahu tentang keluarga kandung yang telah membuangnya.
"Sebenarnya gue tuh masih penasaran sama si Tuan Baskara," Valia mengalihkan topik pembicaraan. "Tuan Baskara itu punya anak nggak? Dia pasti sudah menikah kan?"
"Kata Bu Lasmi sudah menikah. Tapi istrinya meninggal lima atau enam tahun yang lalu," jawab Rena yang seketika memikirkan sosok Tuan Baskara di benaknya.
"Oh My God, dia duda ya, dan belum nikah lagi setelah enam tahun kepergian istrinya. Berarti dia tipikal laki-laki yang setia dong, hal yang wajarkan kalau seorang laki-laki ditinggal mati istri, pasti bakal nikah lagi,"
Rena diam berpikir, ia tidak berpikir sampai sejauh itu tentang Tuan Baskara. Kini ia cukup tahu kalau lelaki dewasa itu punya luka duka yang dalam hingga enam tahun berlalu, Baskara tak pernah berpikir untuk mencari apalagi menikahi perempuan lain setelah kematian istrinya. Entah dirinya harus bangga karena Tuan Baskara memilih setia dengan sang istri atau dia harus merasa kasihan karena kesedihan itu sehingga membuat Baskara tak berminat lagi untuk membuka hati dan mencintai perempuan lain.
"Bunga Cinta Lestari aja nikah lagi setelah tiga tahun kepergian suaminya,"
"Lo benar Val, Tuan Baskara itu sangat setia dan sudah cinta mati sama almarhumah istrinya," Rena menarik kesimpulan dari topik pembicaraan mereka tentang Tuan Baskara.
"Sweet banget ya, kayak eyang Habibie tuh, memilih untuk nggak nikah lagi kematian Ainun,"
Rena manggut-manggut.
"Gue doain Ren, lo dapat satu laki-laki yang setia seperti eyang Habibie ataupun seperti Tuan Baskara, yang bakal jadi suami lo nanti,"
"Aamiinkan aja deh,"
Tak lama kemudian, mie ayam dan bakso pesanan mereka telah diantarkan, obrolan pun mereka akhiri untuk menikmati makan siang sebelum bel masuk berbunyi.
Usai makan siang di kantin, kedua gadis remaja itu berjalan bersama hendak menuju kelas, saat mereka melintas di dekat lapangan, perhatian keduanya teralihkan dengan banyak siswa yang berkerumun di pinggir lapangan, tampak antusias menonton beberapa orang bermain basket.
"Revan! Revan! Revan!" terdengar sorak sorai yang meneriaki nama cowok itu.
"Gue penasaran, ngapain tuh si Revan," Valia tampak antusias lalu segera berlari sambil menarik tangan Rena. Kedua gadis itu kini berdiri di pinggir lapangan berdesakan dengan siswi-siswi lainnya yang tak ingin kehilangan momen melihat bagaimana mempesonanya sang siswa baru saat memainkan si kulit bundar berwarna jingga.
Revan tengah bermain basket dengan beberapa anggota tim basket sekolah, sepertinya ia sedang proses perekrutan sebagai anggota baru. Rena mengakui, kalau permainan basket Revan cukup bagus, ia bisa menguasai bola dan hanya beberapa kali saja memasukkan bola ke dalam ring.
Saat itu Revan adalah bintangnya, dan ia sedang bersinar. Banyak adik kelas mereka yang meneriakkan namanya, seolah-olah Revan itu salah satu anggota BTS Korea yang terkenal.
"Keren nggak tuh si Revan?" tanya Valia pada Rena.
Rena mengangguk pelan. Tapi ia masih belum lupa insiden pagi tadi dengan cowok itu, yang masih menyisakan perasaan bete di hatinya.
"Kayaknya dia juga udah punya fans club' di sekolah ini," Valia menatap ke arah kerumunan cewek-cewek kelas sepuluh yang tampak histeris dan tak sabar ingin segera menyapa Revan begitu ia selesai bermain basket.
Permainan basket berhenti sejenak, ia dan kawan-kawannya segera menepi untuk meneguk sebotol air mineral. Revan mengedarkan pandangannya saat ia tengah minum, saat melihat Valia ia melambaikan tangannya soalnya gadis itu lebih dulu melambaikan tangan kepadanya. Kemudian pandangannya terpaku pada sosok Rena yang berdiri di samping Valia. Gadis itu tampak risih di tengah-tengah keramaian dan keributan, pandangan Rena kemudian saling bertaut dengan pandangan Revan yang tak lepas. Saat pertama kali melihatnya, jujur saja Revan cukup terpana saat menatap netra bening Rena.
Rena mengalihkan pandangannya, "Val, gue cabut duluan ya ke kelas," ujarnya dan segara berbalik badan lalu pergi meninggalkan keriuhan.
"Ren, tungguin gue," Valia pun berbalik badan untuk menyusul gadis itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments