Cahaya terang langsung menyambut Flora sesaat ia membuka kedua bola matanya. Bersamaan dengan itu, dia menutup kembali matanya, lalu dengan perlahan membukanya kembali dan menyesuaikannya dengan cahaya yang begitu menyilaukan mata.
Flora mengedarkan pandangan dan menyadari bahwa sekarang ia berada di dalam kamarnya sendiri, tentu saja karena dia hafal betul cat dinding dan perabotan kamarnya. Lalu suara obrolan seseorang seketika mengganggunya, dan ia pun kemudian mencari sumber suara tersebut. Di sana, di sofa kamarnya Jingga dan dokter Meira sedang mengobrol serius, Flora tidak bisa mendengar apa yang keduanya bicarakan karena suara mereka sepertinya sengaja dipelankan. Sehingga, Flora hanya bisa menatap mereka dari kejauhan dan mengamati raut wajah Jingga yang berubah-ubah.
Dengan perlahan, Flora mencoba bangun dari pembaringan, namun tersentak saat menyadari tangan kirinya sedang di infus sedangkan tangan kanannya dibebat dengan kain kasa. Dia ingat bahwa karena rasa takutnya tanpa sadar dia mencengkeram pecahan beling sehingga membuat telapak tangannya yang terluka. Mungkin karena pergerakannya yang terlalu cepat, tangannya itu kembali terbentur yang membuatnya melenguh seketika. Karena suara lenguhan kesakitannya, kedua orang itu sontak menoleh, Jingga yang lebih dahulu berdiri dari tempatnya lalu berjalan cepat ke arah ranjangnya dan membantunya untuk berbaring kembali.
"Jingga, aku baik-baik saja," ucap Flora dengan nada lemahnya, sembari tetap berusaha bangun meskipun Jingga tetap menahan tubuhnya.
"Sebaiknya kamu berbaring dulu, Flo. Kamu harus banyak beristirahat." Meira yang sudah menyusul kembali mengecek infusnya dan memintanya untuk berbaring kembali.
Flora mengenal Meira itu dari Jingga, dan dia adalah wanita yang sangat baik hati dan sangat sabar menjaganya. Bagi Flora, dia seperti kakak wanita baginya yang tidak pernah dimiliki. Wanita itu juga tahu akan masa lalunya, dan dia begitu sabar menjaga dan merawatnya jika dia kembali drop seperti ini.
"Tetapi, aku—"
"Jangan keras kepala, Flo," bentak Jingga tiba-tiba yang membuat Flora dan Meira tersentak secara bersamaan mendengar suara bentakan pria itu. Tetapi Jingga memilih abai, dia tetap melanjutkan menumpahkan kemarahannya pada gadis keras kepala di depannya itu. "Berhenti terlihat baik-baik saja, dan jangan menyembunyikan segalanya dariku. Bukankah aku sudah berjanji untuk selalu menjagamu?"
"Ga …."
"Itu apa?" Jingga menyingkap lengan baju Flora yang memperlihatkan bekas luka itu, dua bekas goresan dari benda tajam yang dibuat melintang. "Sejak kapan? Sejak kapan kau kembali melampiaskan segalanya dengan melukai diri sendiri?"
Flora dibuat kalang kabut dengan pertanyaan Jingga, dia tidak tahu kenapa pria itu bisa menemukan luka yang sengaja dibuat tersembunyi agar tidak ada yang menyadarinya. Namun, mengetahui Meira ada di sini sebagai dokter, bukan tidak mungkin kalau wanita itu yang memberitahu semuanya.
"Jawab, Flo! Jangan diam saja!" Suara Jingga yang menggelegar sukses membuat Flora berjengit dan membuat matanya berkaca-kaca.
Meira yang masih berada di sana segera menenangkan pria itu yang sedang diselimuti amarah, hal yang sama sekali tidak bagus mengingat keadaan Flora belumlah stabil. Dan menerima kemarahan pria itu, Meira rasa Flora belum siap.
"Tenanglah, Ga. Keadaan Flora belum membaik, dan lihatlah dia kembali terguncang karena kemarahanmu itu. Biarkan dia beristirahat dan biar aku yang mengajaknya berbicara."
Jingga menoleh sekilas ke arah Flora yang memang terlihat belum membaik, dan kini gadis itu terisak mendengar bentakannya. Namun, Jingga belum selesai, dia harus menyadarkan gadis tersebut bahwa apa yang dilakukannya itu adalah kebodohan.
"Bagaimana aku bisa tenang, Meira. Sedangkan dia kembali melukai dirinya, padahal dia sudah berjanji untuk berhenti, tetapi lihatlah sekarang dia malah melakukannya secara sembunyi-sembunyi." Jingga berhenti, menjeda kalimatnya. Kemudian kembali melanjutkan, "Bahkan dia membuatku terlihat bodoh, dia melukai dirinya sendiri di depanku. Apa kau tahu, aku begitu takut melihatnya tak sadarkan diri karena melukai dirinya sendiri, sedangkan aku tidak diberi kesempatan untuk menolongnya terlebih dahulu. Dan yang membuatku membenci diri sendiri, karena dia melukai dirinya tepat saat dia bersamaku, tepat saat aku menjanjikan untuk selalu menjaga dan melindunginya."
Jingga membuang pandangan wajah ke samping, berusaha menetralkan napasnya yang begitu menggebu-gebu karena amarah. "Meira, dia tidak mempercayaiku, dia tidak mau dilindungi."
"Jingga …."
Pria itu mendesah pelan. "Tolong jaga dia, Meira." Lalu tanpa menoleh ke arah Flora, Jingga langsung berderap meninggalkan kamar meninggalkan suara dentuman yang cukup keras.
Bersamaan dengan perginya pria itu, tangis Flora semakin menjadi-jadi, suara isak tangisnya terdengar bersamaan dengan air matanya yang begitu deras meluruh membasahi pipinya.
Melihat hal itu, Meira segera mendekat untuk menenangkan gadis yang kejiwaannya masih terguncang.
"Meira, Jingga marah sama aku," cicit Flora sembari menatap ke arah Meira dengan tatapan putus asanya.
Meira mengusap punggung gadis itu dengan lemah lembut. "Dia sama sekali tidak marah sama kamu, Sayang. Dia hanya merasa kesal pada dirinya sendiri karena kembali lalai menjagamu."
Flora menggeleng dengan cepat. "Gaga sama sekali tidak bersalah, Meira. Hanya saja … hanya saja aku …."
Meira membawa tubuh bergetar itu ke dalam pelukannya, dan menenangkannya. "Asal kau tahu, Flo. Jingga … aku, kami itu semua sayang padamu. Kami adalah kakak untukmu, jadi jangan sungkan untuk berbagi apa pun masalahmu. Terlebih Jingga, dia itu berusaha keras untuk memastikan kau baik-baik saja dan terus terlindungi. Jadi jangan membuat dia merasa sia-sia menjagamu, sedangkan kamu sendiri memilih untuk mati. Aku mohon, Flo. Jangan lakukan ini lagi, dan cobalah berbagi pada kami jika kau dalam masalah."
Flora kembali menangis meraung mendengar penuturan kata yang diucapkan oleh Meira yang benar adanya. Salahkan saja dirinya yang begitu lemah, dia tidak bisa menghalau rasa takutnya. Padahal orang itu tidak ada lagi di sini, dan Jingga ada di sini untuk menjaganya. Banyak yang menyayanginya.
Setelah hening beberapa saat, Meira kembali bertanya dengan lemah lembut. "Sayang, jadi apa sebenarnya yang membuatmu kembali melukai diri sendiri?"
Flora memilih bungkam, hanya air mata yang memberikan jawaban bahwa dirinya sama sekali tidak baik-baik saja.
"Flo, kamu percaya sama aku, bukan?" Gadis itu mengangguk pelan. Melihat hal itu Meira tersenyum lembut. "Kalau kamu percaya sama aku, tolong jangan sembunyikan apa pun. Aku ini doktermu, dan aku harus tahu apa yang membuatmu kembali se-histeris ini."
"D—dia kembali datang, Meira."
Meira tersentak mendengar 'dia' yang dimaksud oleh Flora. Meira sendiri pun tahu siapa 'dia' yang sebut oleh gadis itu, karena orang tersebut adalah orang yang membuat Flora seperti ini. Tetapi benarkah orang itu kembali mendatangi Flora?
"Apa kau melihatnya sendiri?" tanyanya memastikan.
Flora menggeleng, tetapi air matanya masih setia kembali meluruh membasahi pipinya.
"Lalu?"
"Suara-suara menjijikkannya kembali terdengar di mana-mana. Aku yakin itu dia, dan dia akan kembali datang dan menyakitiku," ucapnya setengah histeris.
Meira dengan cepat menenangkan gadis tersebut. "Tenanglah … tenanglah, Sayang. Itu semua hanya halusinasi saja, dia tidak akan datang dan menyakitimu lagi. Bukankah selama lima tahun ini dia memang benar-benar tidak muncul, bukan?"
Flora mengangguk, tetapi tetap saja dia ketakutan menyadari bahwa kemungkinan orang itu masih bebas di luar sana dan sewaktu-waktu akan datang menyakitinya kembali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments