Hari-hari penuh drama terus menghantui kehidupan Alea, terlebih bakat anak-anaknya sering kali membuat beberapa orang tua Iri lantaran Davino dan Devina tidak sekolah tk seperti yang anak-anak yang lainnya. Namun, kecepatan menghitung Davino bisa mengalahkan anak-anak sekolah yang selalu dibangga-banggakan orang tua masing-masing. Begitupun dengan Devina yang pandai menggambar banyak hal hanya dengan melihatnya sekilas.
"Gambarnya jelek banget!" Anak kecil merobek kertas yang dipamerkan oleh Devina.
"Kenapa kamu merobeknya? Saya sudah menggambar itu semalaman," ujar Devina menggigit bibirnya karena menahan tangis.
"Kamu jahat!" Davino mendorong tubuh anak di hadapannya.
"Hey kamu anak haram! Berani-beraninya kamu dorong anak saya!" bentak ibu-ibu yang kebetulan melintas di lahan kosong tempat anak-anak bermain.
"Dio duluan, Bu."
"Halah, kamu memang tidak punya sopan santun. Jelas, karena tidak punya seorang ayah!" Ibu-Ibu menarik tangan Davino dan memukulnya berulang kali.
Sayangnya, Davino sama sekali tidak mengeluarkan air mata sedikit pun, bahkan tidak mengeluhkan sakit. Ia telah terbiasa dengan perlakuan kasar warga padanya. Ia bahkan tidak pernah melaporkan pada sang ibu. Namun berbeda jika ada yang membuat adik atau ibunya menangis, ia sangat marah dan ingin memukul orang.
Setelah ibu-ibu itu puas memukuli dan mencubit, dia pergi menyisakan dua saudara kembar yang sangat pintar dan punya bakat terpendam.
"Kakak?"
"Kakak tidak apa-apa. Ayo, pulang, ibu sebentar lagi datang!" Davino menarik tangan adiknya dan sedikit berlari menuju rumah. Jika sore seperti ini ibunya akan pulang membawa jajanan untuk mereka.
"Adek, jangan laporin kalau kakak dipukul lagi ya!" pinta Davino. Ia terus mencuci bekas merah itu agar tersamarkan.
Devina terdiam, alih-alih menjawab gadis kecil itu berlari ke pintu mendengar salam ibunya.
"Ibu, tangan kakak berdarah!"
"Berdarah?" Mata Alea membola.
Alea segera menyusul putranya ke kamar mandi seperti yang di arahkan putrinya. Sesampainya di sana, ia melihat Davino buru-buru berdiri dan menyembunyikan tangan di balik punggung.
"Mana tangan kakak?" pinta Alea, tetapi Davino bergeming.
"Davino, mana tangan kamu, Nak?"
Perlahan-lahan Davino memperlihatkan tangannya, membuat Alea melihat jelas luka cubitan di lengan putranya. Jika cubitan biasa hanya akan meninggalkan noda merah, tetapi ini cubitan beserta kukunya hingga kulit putih putranya terkelupas.
Alea mengusap pipinya yang langsung berderai air mata. "Ibu sudah bilang, kalau ada yang pukul kamu, pukul balik jika kamu merasa benar, Nak!" Ia terus mengecup kulit terkelupas itu.
"Kakak tidak mau ibu dihina lagi," lirih Davino menunduk.
Karena sering membela anak-anaknya, Alea di keluarkan dari puskesmas, semakin banyak orang yang membenci terutama kepala desa. Bahkan hingga saat ini kedua anak-anaknya tidak memiliki akta kelahiran lantaran dipersulit oleh kepala desa yang tidak ingin memberikan keterangan apapun.
"Ibu, apa kita tidak bisa pergi dari sini? Kita cari ayah. Dalam mimpi adek, ayah sayang sama kita."
"Kalian ke kamar, ibu beli obat dulu biar lukanya ...."
"Tidak mau!" ujar Davino dan diangguki Devina.
"Kalau kakak dan adek ke kamar, Ibu akan pergi memarahi ibu-ibu itu lagi. Kakak tidak mau ibu terus dihina." Davino memeluk ibunya, begitupun dengan Devina.
"Maafin ibu sayang, maafin ibu," lirih Alea. Sudah lama Alea ingin meninggalkan lingkungan tidak sehat tersebut, terlebih di sini dia hanya berjualan kue dan berjalan cukup jauh dari pagi hingga sore, tetapi ia takut jika kembali ke kota dan memanfaatkan ijazahnya, Rocky akan menemukan mereka. "Kita akan pergi dari sini secepatnya ya, Sayang."
"Ibu janji?" Devina menatap ibunya.
"Janji." Alea mengeluarkan jari kelingking dan disambut senyuman oleh kedua anaknya yang sangat sabar di situasi apapun.
"Kalian ke kamar, ibu beli obat dulu, sekalian beli telur buat makan. Sebagai penjanggal, kalian makan sisa kue buatan ibu ya!"
Davino dan Devina mengangguk serempak. Kedua bocah itu duduk lesehan di dalam kamar sambil menikmati kue donat yang telah dingin.
"Adek masih mau?"
"Mau."
Davino langsung membagi dua donat dingin tersebut kemudian minum sepuasnya agar kenyang sehingga telur dan beras yang di beli ibunya bisa digunakan besok.
"Kalau besar, adek mau jadi apa?"
"Adek mau jadi gambar terkenal, biar gambarnya bisa di jual dan uangnya buat Ibu. Kalau kakak?"
"Kakak mau jadi guru matematika, terus banyak uang dan bisa makan sepuasnya." Raut wajah bocah itu saat membicarakan masa depan sanggatlah berbinar.
Sementara di balik pintu, Alea berusaha mati-matian menahan isakannya karena tidak kuasa mendengar cita-cita mulia anak-anaknya.
"Aku terlalu egois, harusnya aku tidak memisahkan mereka dengan ayahnya yang mempunyai banyak uang. Tapi aku tidak sanggup jika berpisah dengan mereka."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 157 Episodes
Comments
Rosmaliza Malik
patut anaknya tak dapat bersekolah sbb takde sijil lahir
2024-02-12
1
Wirda Wati
Bagus pindah alea
2024-02-11
0
𝓐𝔂⃝❥🍁●⑅⃝ᷟ◌ͩṠᷦụᷴfᷞi ⍣⃝కꫝ🎸❣️
kasian anak2 jadi korban, dih ibu2 kok gitu ya ngomongnya apa ngak ada perasaan gitu jahat bener, iya alea yg egois disini tp pahamlah sebagai ibu pasti ngak mau pisah sama anak apa lg ada perjanjian konyol itu.
2024-02-07
3