Cinta Yang Berbahaya
Suara dering ponsel terdengar nyaring di ruang tamu sederhana dengan dinding yang mulai berjamur di setiap sisinya. Seorang gadis belia dengan cepat menyambar ponsel yang berada di atas meja tamu, seperti telepon itu memang sudah sangat dia nantikan.
"Halo, Kak Lia. Bagaimana dengan kabar lowongan kerja yang Kakak janjikan? Apa aku bisa kerja disana?" Seru Ana tak sabar.
Seperti yang terlihat, gadis bernama Ana tersebut begitu berharap dengan kabar yang akan di sampaikan Kakak sepupunya.
"Kau ini tidak sabaran sekali. Memang ada lowongan, tapi apakah Kakek Arman akan memberi mu izin jika kau bekerja di Bali." Balas Lia dari sambungan telepon mereka.
"Siapa, Nak?"
Seketika Ana terkesiap mendengar suara pria yang kini sudah berada di belakangnya. Dia menoleh ke belakang, "Ka-kakek?" gugupnya sembari tersenyum ragu pada pria baya tersebut, seolah menyembunyikan sesuatu.
"Dari siapa?" tanya Kakek Arman.
"I-itu, dari Kak Lia, Kek." Jawabnya kembali.
"Oh... Lia? ya sudah, lanjutkan pembicaraan kalian." Kata pria baya yang di panggil kakek oleh Ana tersebut.
Dengan langkah kaki agak menyeret serta tongkat penyangga yang selalu di bawanya, kakek Ana menuju teras depan.
"Hei, Ana, bagaimana? Apa Kakek Arman setuju? Jangan bilang kau tak di beri izin seperti sebelumnya!" Suara Lia yang tinggi menyadarkan Ana, hingga dia kembali fokus dengan pembicaraan.
Seperti yang di sampaikan Lia lewat sambungan telepon, Ana sebenarnya sudah beberapa kali mendapatkan kesempatan bekerja, hanya saja itu di luar kota, jauh dari desanya. Karena Hal itu lah tak satupun dari kesempatan kerja itu yang di ambil Ana, sebab tak mendapatkan izin sama sekali dari Kakeknya.
"Kak, tolong berikan aku waktu sehari saja. Aku akan berusaha menyakinkan Kakek kali ini." Pinta Ana pada sang sepupu.
"Duh, kau ini. Lagi-lagi karena pemikiran kolot Kakek mu itu, makanya kau tak maju-maju dan akan tetap miskin seumur hidupmu." Ujar Lia. Ana mendengar itu bisa merasakan Kakak sepupunya itu seperti jengkel padanya.
"Maaf, Kak. Kak Lia tahu sendiri, aku tidak mungkin pergi tanpa seizin Kakek."
"Terserah kau saja, tapi ini terakhir kalinya aku membantumu. Jika kali ini gagal juga, aku tak mau membantumu lagi. Aku tunggu jawabanmu selama 24 jam dari sekarang!" Jelas Lia dengan tegas, lalu sambungan telepon terputus.
Ana duduk di kursi kayu jati di ruang tamu, menatap layar ponsel sambil menggigit kuku ibu jarinya. Sekali lagi situasi ini membuatnya dalam kebimbangan dan rasa cemas. Sudah jelas karena dirinya harus memutar otak membuat alasan untuk kesekian kalinya agar bisa mendapatkan izin Kakeknya, agar bisa bekerja jauh dari desa kelahirannya.
Cukup lama Ana duduk berdiam diri. Sudah pasti diamnya Ana karena dia sedang mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan lagi keinginannya, apalagi kalau bukan untuk bekerja.
Pada akhirnya dirinya yang hampir setengah jam hanya duduk, kini beranjak dari kursi, menghampiri Kakeknya.
"Kek" suara Ana bernada lembut sembari memijit bahu pria tua yang duduk santai di teras rumah tersebut.
"Ya, ada apa?" Jawab Kakek Arman santai sambil menikmati pijatan cucunya.
Ana merendahkan tubuhnya di depan Kakek Arman, menyamai posisinya duduk. Lalu di genggam tangan keriput kakeknya sembari menatap dalam netra hitam yang mulai berkurang fokus penglihatannya tersebut.
"Kek, Ana ingin bekerja. Tolong berikan izin kali ini saja padaku. Ana janji akan memperbaiki perekonomian keluarga kita, Kek."
Mendengar permintaan Ana membuat pria tua itu menatap serius pada cucunya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hanya menunjukkan mimik wajah yang tersirat penolakan darinya.
Sejak awal Ana sudah mengira Kakeknya pasti tidak akan memberi izin padanya, tapi ini kesempatan terakhir baginya untuk keluar dari jeratan hutang yang melilit keluarganya yang tak berkesudahan.
Ana meraih tangan kakeknya kembali yang sudah bangkit dari duduknya. Menahan pria baya itu agar mau mendengar keinginannya.
"Kek, Ana mohon, Tuan Edi akan terus mengusik keluarga kita. Ana hanya ingin bekerja di luar untuk melunasi hutang pada di lintah darat itu, Kek." Ujar Ana yang masih dalam posisi berlutut.
Arman menghela nafas dalam. Ini untuk kesekian kali cucunya meminta bekerja, tapi dia masih belum siap melepas jauh cucunya yang masih belia itu. Terlalu banyak mata jahat yang mengintai Ana. Dia tidak ingin mengulang kesalahan di masa lalunya.
"Jangan pikirkan itu, Ana. Hutang itu tanggung jawab kakek. Kamu hanya perlu menemani kakek dan bekerja di ladang saja membantu kakek."
"Tapi kakek berhutang untuk biaya sekolah Ana dan itu sudah jadi tanggung jawab Ana juga untuk melunasinya?"
Ana berusaha menyakinkan. Sebab biaya sekolah Ana selama ini sebagian dari berhutang. Karena hasil ladang cabai milik kakeknya itu tidak lah mencukupi, terlebih seringnya ladang Kakek Arman yang sering kali gagal panen.
"Memang kamu mau bekerja di mana?" tanya Arman penasaran.
"Di Bali kek, tepatnya di Gianyar. Ana akan bekerja sebagai house keeping sebuah Resort di Bali. Ana pernah dengar gaji bekerja di Resort lumayan besar. Dengan gaji Ana, kita pasti bisa melunasi semua hutang kita." jelas Ana dengan panjang lebar.
Bukannya senang, Arman langsung menarik tangannya dari genggaman Ana. "Tidak boleh! Kakek tidak mengizinkanmu!" tolaknya dengan nada suara yang mulai meninggi. Arman masuk begitu saja meninggalkan Ana yang masih berlutut.
Ana terduduk lesu di lantai, air matanya luruh. Kenapa? Padahal dia hanya ingin membantu Kakeknya. Sebegitu berbahaya kah dunia luar, sampai-sampai niat baiknya tak pernah di mengerti oleh Kakeknya. Dia hanya ingin terbebas dari jeratan hutang yang mencekik keluarganya.
"Pak Arman!!!"
Begitu melengking suara seseorang yang memanggil nama Kakeknya. Ana mengarahkan pandangannya ke sumber suara tersebut. Matanya membulat penuh kecemasan, sosok pria yang selama ini membuat keluarganya dalam lingkaran hutang yang menjebak, dialah sang lintah darat, Edi.
Ana bangkit berdiri, sedangkan Kakek Arman yang sudah ada di ambang pintu mulai keluar, karena dia pun pasti mendengar namanya di panggil dengan suara teriakan yang cukup keras.
"Tu-tuan Edi?" Suara Kakek Arman bergetar, tubuhnya pun gemetar penuh kekhawatiran, yang jelas pria baya itu paham maksud sang Juragan Tanah sekaligus lintah darat di desanya itu datang ke rumahnya.
"Bayar hutangmu sekarang! Ini sudah jatuh tempo!" teriak Edi tanpa basa-basi.
Pria yang usianya sudah berkepala empat namun masih terlihat bugar itu, mengarahkan pandangannya pada Ana yang berada di samping Kakek Arman. Memperhatikannya dari atas hingga bawah gadis cantik blasteran Asia-Eropa itu, sembari menyunggingkan sudut bibirnya.
"Maaf Tuan Edi, saya belum bisa melunasi hutang saya, mohon berikan saya tenggang waktu, Tuan." Kakek Arman menangkupkan kedua telapak tangan seraya memohon.
Apakah Edi merasa iba? Tentu tidak sama sekali. Si lintah darat itu hanya tersenyum sinis mendengar permohonan Kakek Arman, dan mungkin terbesit rencana licik di kepalanya.
"Baiklah, Aku bisa membuat hutangmu lunas tanpa harus kau bayarkan. "Edi yang kembali menatap Ana sembari tersenyum licik.
Ana yang melihat tatapan pria itu, membuatnya bergidik dan langsung menundukkan pandangan karena merasa risih pada tatapan Edi.
"A-apa yang bisa membuat hutang saya lunas, Tuan?" begitu penasaran Arman dengan tawaran si Juragan Tanah tersebut.
Edi pun mendekatkan bibirnya ke telinga Kakek Arman sambil berbisik, "Aku ingin cucumu, Ana. Aku gagal memiliki putrimu dulu, tapi kali ini cucumu boleh juga." Kemudian menatap jahat ke arah Kakek Arman sembari mengangkat alisnya sebelah.
Bola mata Arman pun membulat, begitu tidak percaya apa yang di minta oleh Tuan Tanah tersebut.
"Tidak mungkin Tuan, cucu saya masih kecil, sedangkan anda sudah berumur dan istri anda juga sudah ada tiga." Bergetar suara Arman menolak keinginan Edi.
"Tenang saja Pak Arman, aku akan menceraikan semua istriku. Dengan Ana saja itu sudah cukup. Aku yakin dia bisa memuaskan ku di atas ranjang."
Alhasil Arman yang mendengar ucapan Edi begitu meradang. Dia tidak terima perkataan Edi yang begitu merendahkan cucunya.
"Brengsek!" teriak Kakek Arman dengan di ikuti pukulan yang mendarat di wajah Edi hingga sudut bibirnya berdarah.
Dua pria berbadan besar dan tegap yang sedari tadi mengawal Edi mulai mengarahkan bogem mentahnya ke arah Kakek Arman, dengan sigap Ana menggunakan tubuhnya untuk menghalangi kedua pria itu, "jangan! Sudah cukup! Berapa hutangnya, besok aku bayar!" teriak Ana dengan lantang, menatap nyalang Edi.
Edi yang mendengar perkataan Ana tertawa terbahak-bahak seolah mengejek ucapan gadis cantik tersebut. Dia memerintahkan kedua pengawalnya untuk mundur dan dengan angkuhnya mendekati Ana yang memperlihatkan raut wajah amarah padanya, tapi Edi bukannya marah, dia malah semakin tertarik pada gadis elok di hadapannya itu.
"Apa kau bilang? Melunasi hutangmu yang membengkak itu? Hahahaha!!" begitu remeh perkataan Edi pada Ana. Karena bagi Edi mustahil bagi gadis seperti Ana bisa melunasi hutangnya dalam waktu singkat.
"Aku pasti membayarnya besok!" dengan suara lantang namun bergetar. Ana membalas ucapan remeh Edi, meski itu sebenarnya hanya gertakan saja, karena tidak ada pilihan lain selain harus membalas keras ucapan pria tersebut.
"Baiklah, aku tunggu kedatanganmu besok beserta uang 100 jutanya, tapi ingatlah Ana, kalau kau tidak dapat melunasinya, kamu tahu sendiri akibatnya." Ancam Edi dengan mengangkat salah satu sudut bibirnya sembari tangannya ingin menyentuh wajah Ana. Namun dengan cepat gadis itu memalingkan wajahnya.
Edi hanya tersenyum melihat reaksi gadis yang di sukainya itu, lalu bersama dua pengawalnya meninggalkan rumah Arman.
Sedangkan Ana segera masuk kerumahnya sambil memapah kakeknya yang nampak terguncang. Di bawalah kakeknya ke kamar tidur untuk beristirahat.
"Ana, kakek ingin istirahat, kamu keluarlah." Perintah Kakek Arman dengan nafasnya yang terengah-engah. Kemungkinan dia dalam kondisi syok saat ini.
Ana menganggukkan kepala, menyanggupi keinginan kakeknya.
Di tempat tidur yang kecil dan sempit, Arman menatap langit-langit ruang tidurnya yang terasa begitu sunyi sendirian.
"Delina, Apa yang harus Ayah lakukan?" Batin Arman dengan air matanya yang mulai menetes dari sudut mata keriputnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
Kumbang 🐞
aku juga mau klo sama kembang desa mah thor!!!
2024-01-26
1
Kiwi Edna
Aku mampir Thor...😁
2024-01-16
1