"Ana!" panggilan seseorang yang tak asing baginya. Netranya mencari sumber suara itu, dan terlihat disana ada Loli di antara penghuni resort yang panik.
"Kak Loli!" seru Ana melambaikan tangannya, lalu menghampiri wanita berkulit eksotis tersebut.
Keduanya langsung berpelukan. Saling menenangkan dan menguatkan. Kondisi dan situasi yang tak pernah mereka prediksi sebelumnya membuat keduanya khawatir.
"Ayo kita pergi!"
Loli mengajak Ana untuk menjauh pergi dari area titik kumpul evakuasi.
"Kalian mau kemana?" tanya sosok pria tinggi besar yang sudah berada di belakang mereka.
Keduanya terkejut, tapi berusaha untuk tetap tenang agar tak di curigai. kemudian menoleh ke arah pria itu berada dengan mengulas senyum di paksakan.
"Ka-kami mau ke toilet, Pak." Jawab Loli cemas.
"I-i-iya pak, kami mau ke toilet. Perut kami mulas karena syok." Sahut Ana menambahkan.
"Kau tadi yang bersama Tuan Felix, kan? Nanti segera ke ruangan Pak Hendra, ada yang perlu kami tanyakan mengenai orang yang menyerang Tuan Felix." Ujar pria itu.
Ana menelan saliva nya, lalu menjawab sedikit gagap. "Ba-baik pak.
Bergegas mereka pergi ke toilet. Sesampainya di sana, Ana terduduk lemas di kloset duduk sembari meremas rambutnya sendiri.
"Kak, kenapa bisa sekacau ini?"
Sudah pasti Loli pun juga merasa frustasi. Karena dia pikir rencananya akan mulus-mulus saja tanpa ada keributan berarti. Tapi di luar dugaan, rencananya malah membuat satu resort kacau.
***
"Eh, Lia. Apa benar tamu yang kita layani itu anggota mafia?"
"Ya benar." Sembari memoles bibirnya dengan lipstik di depan kaca wastafel toilet.
"Astaga! seberapa jauh kau mengetahuinya?"
"Breng.sek! Kenapa kau banyak tanya?! Aku juga baru tahu. Kau tanya saja sama Om Darwin." Kesalnya. Lalu pergi meninggalkan toilet, di susul dengan wanita tadi.
Bagai disambar petir di siang bolong, Ana dan Loli yang tidak sengaja mendengar percakapan kedua wanita itu dari dalam toilet, kini semakin cemas. Tak ada dalam pikirannya jika ternyata mereka sedang berurusan dengan mafia. Dan itu artinya keduanya sedang berurusan nyawa.
"Kak, bagaimana ini?" semakin kuat meremas rambutnya frustasi. Gadis malang itu kebingungan, ketakutan dan tak tahu arah.
Loli sendiripun tak habis pikir rencananya bersama Ana akan berbuah petaka.
"Ana, maafkan aku. Ini semua salahku. Andai aku..." menangis menyesal Loli di hadapan gadis yang hampir dia jebak.
Tak ada yang bisa Ana ucapkan. Memang benar ini semua terjadi karena Loli, tapi hanya menyalahkan orang lain akan percuma saja. Karena situasinya sudah di luar kendalinya.
"Ana, kau harus segera kabur, aku sudah dapatkan uangnya dan itu cukup besar. Aku akan membaginya denganmu, kamu segera tinggalkan pulau ini. Kalau bisa, pindah lah rumah dengan kakekmu ke tempat yang jauh. Karena aku yakin mereka akan melacak mu. Apalagi identitasmu juga di miliki resort ini." Jelas Loli. Tangannya menggenggam erat tangan Ana yang berkeringat dingin. Ia sangat paham ketakutan yang di rasakan temannya saat ini.
Ana mengangguk menahan tangis. Harapannya mencari uang untuk memperbaiki ekonomi dan kehidupan sulitnya di desa berbuah sia-sia. Bahkan kini dia harus berurusan dengan mafia.
***
"Tuan Felix!" Demis memanggil berkali-kali sembari menepuk pipinya, mencoba menyadarkan tuannya yang pingsan.
Tak berapa lama Felix berangsur sadar. Dia membuka matanya dan mencoba berdiri dengan bantuan Demis. Dia menuju sofa dan duduk di atasnya. Terasa sakit dan pusing kepalannya karena efek obat bius yang di berikan. Entah berapa dosis obat bius yang di berikan Ana padanya.
Sambil memijit pelipisnya, Felix berusaha mengingat apa yang terjadi.
"Dimana gadis Itu? Dimana Ana...?!!" teriakan Felix begitu menggema hingga ke penjuru ruang kamar tidur yang sangat berantakan, dengan ranjang yang sebagian telah hangus terbakar.
"Apa maksud, Tuan?" tanya Demis tak mengerti.
Felix menatap Demis dengan tatapan membunuh, kemudian mencengkram kemeja hitamnya. "Kau tahu siapa yang membuat kekacauan ini, Demis?!"
"Tidak, Tuan."
Kemudian satu pukulan dari pria yang di kuasai amarah itu, mendarat di wajah Demis hingga sudut bibirnya mengeluarkan darah segar.
"Rubah sial.an itu! Ana yang membuat kekacauan ini!" teriaknya kembali.
Dahinya mengerut mendengar penjelasan tuannya. Bahkan dia sulit percaya jika semua ini di perbuat oleh gadis biasa seperti Ana. Apakah tuannya berhalusinasi? Rasanya tidak mungkin, karena yang terakhir bersama atasannya itu, salah satunya, Ana. Lagi pula, bagaimana mungkin bosnya berbohong soal kekacauan yang hampir merenggut nyawanya.
Demis masih setia berdiri di hadapan tuannya menunggu perintah.
"Cari Ana sampai dapat, dan bawa dia di hadapanku! Jangan sampai gagal!"
Perintah dari Felix pun di turunkan. Lekas Demis melakukan pencarian bersama anak buah yang lain.
***
Di kosan, Ana segera mengemasi barang-barangnya. Karena ia harus segera melarikan diri dengan menaiki kapal. Tanpa berlama-lama Ana menuju pelabuhan untuk melakukan pemberangkatan malam ini.
Sampai di pelabuhan, dia menyempatkan menghubungi Loli, tapi sayangnya tak ada jawaban. Ada rasa tak tenang dalam hatinya saat teleponnya tak di angkat oleh Loli. Namun dia sadar, bahwa yang perlu di khawatirkan nasibnya saat ini adalah dirinya sendiri, dan dia kembali fokus untuk kabur saja.
Angin laut malam yang dingin, membawa harapannya untuk segera kembali ke kampung halaman. Entah seperti apa dia akan menceritakan kejadian yang menimpanya pada kakeknya. Tapi setidaknya dia harus keluar dengan selamat dari pulau Dewata.
Dengan memakai topi dan masker hitam, Ana berusaha menyembunyikan wajahnya. Ditambah dengan kupluk hodie yang membungkus kepalanya. Dia sadar, seorang mafia tak akan mungkin melepas begitu saja targetnya. Begitulah yang dia tahu dari beberapa film bergenre mafia yang sering dia tonton.
Ana masuk ke dalam antrian pembelian tiket, dan dia menyadari ada beberapa pria berbadan besar dengan alat komunikasi di telinganya berada di sekitar pelabuhan, seperti sedang sibuk mencari seseorang. Ana tahu, bahwa yang mereka cari pasti dirinya.
Melihat itu, Ana berusaha bersikap tenang agar tak memancing kecurigaan, sampai gilirannya membeli tiket. Setelah itu dia melanjutkan langkahnya menuju pintu masuk ke dalam kapal.
Semuanya berjalan sesuai rencana, sampai pada akhirnya sebuah tangan menarik tubuhnya dari belakang dan membekapnya hingga badanya terasa lemas.
Dia paham dirinya saat ini dalam pengaruh obat bius yang di berikan lewat sapu tangan yang di gunakan untuk membekapnya.
Dengan tenaga yang tersisa, Ana mencoba melawan dengan menusukkan belati yang dia sembunyikan di pinggangnya ke arah perut si pelaku. Sesuai dugaannya, pria itu langsung menghindar menjauh, yang secara langsung Ana pun terlepas dari dekapan pria tersebut.
Kesempatan itu tak di sia-siakan. Ana segera berlari menjauh, menuju kerumunan orang-orang untuk menghindari penangkapan. Akan tetapi pengaruh obat bius itu membuatnya berlari sempoyongan. Pandangannya mulai kabur, suara sekitar yang tadinya jelas terdengar berubah seperti dengungan yang membuat telinganya tak nyaman. Kepalanya pun terasa sakit.
Bruk...!
***
Kedua kelopak matanya perlahan terbuka, memperlihatkan netra birunya yang tampak lelah. Matanya berkejap dan mulai mengedarkan pandangan, memperhatikan sekelilingnya yang sangat asing.
Namun saat kesadarannya sepenuhnya kembali, betapa kagetnya dia saat mendapati kedua tangannya yang terikat menggantung ke atas dengan posisi duduk dan kaki yang diikat di kaki kursi. Tidak sampai di situ, Ana semakin di kejutkan dengan keberadaan beberapa orang yang ia kenali sedang berlutut dalam keadaan kedua tangannya terikat ke belakang. keadaan mereka babak belur.
"Kak Loli!" seru Ana melihat temannya dalam keadaan yang memprihatinkan.
Tangisnya pecah melihat Loli dengan beberapa luka lebam di wajah dan tubuhnya. Di sana juga terlihat Hendra, Darwin dan Lia. Mereka juga sama memprihatinkan nya sama seperti Loli.
Ana terus menangisi keadaan mereka, suara tangisnya yang pilu terdengar lirih. Sayup dia bisa mendengar rintihan kesakitan dari keempat orang yang habis disiksa itu.
Ana meratap dalam tangisannya, dan saat itu lah terdengar suara pintu terbuka, yang menampakkan sosok kejam seorang pria yang bernama Felixsovich Yusupov. Di belakangnya sudah pasti tangan kanannya yang selalu setia menemani.
Langkah kakinya membawa pemilik netra abu-abu itu mendekati Ana, sedangkan Demis berdiri di sisi kanan pintu.
"Kita bertemu lagi rubah licik." Suara Felix penuh penekanan yang mengintimidasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments