Suara dering ponsel terdengar nyaring di ruang tamu sederhana dengan dinding yang mulai berjamur di setiap sisinya. Seorang gadis belia dengan cepat menyambar ponsel yang berada di atas meja tamu, seperti telepon itu memang sudah sangat dia nantikan.
"Halo, Kak Lia. Bagaimana dengan kabar lowongan kerja yang Kakak janjikan? Apa aku bisa kerja disana?" Seru Ana tak sabar.
Seperti yang terlihat, gadis bernama Ana tersebut begitu berharap dengan kabar yang akan di sampaikan Kakak sepupunya.
"Kau ini tidak sabaran sekali. Memang ada lowongan, tapi apakah Kakek Arman akan memberi mu izin jika kau bekerja di Bali." Balas Lia dari sambungan telepon mereka.
"Siapa, Nak?"
Seketika Ana terkesiap mendengar suara pria yang kini sudah berada di belakangnya. Dia menoleh ke belakang, "Ka-kakek?" gugupnya sembari tersenyum ragu pada pria baya tersebut, seolah menyembunyikan sesuatu.
"Dari siapa?" tanya Kakek Arman.
"I-itu, dari Kak Lia, Kek." Jawabnya kembali.
"Oh... Lia? ya sudah, lanjutkan pembicaraan kalian." Kata pria baya yang di panggil kakek oleh Ana tersebut.
Dengan langkah kaki agak menyeret serta tongkat penyangga yang selalu di bawanya, kakek Ana menuju teras depan.
"Hei, Ana, bagaimana? Apa Kakek Arman setuju? Jangan bilang kau tak di beri izin seperti sebelumnya!" Suara Lia yang tinggi menyadarkan Ana, hingga dia kembali fokus dengan pembicaraan.
Seperti yang di sampaikan Lia lewat sambungan telepon, Ana sebenarnya sudah beberapa kali mendapatkan kesempatan bekerja, hanya saja itu di luar kota, jauh dari desanya. Karena Hal itu lah tak satupun dari kesempatan kerja itu yang di ambil Ana, sebab tak mendapatkan izin sama sekali dari Kakeknya.
"Kak, tolong berikan aku waktu sehari saja. Aku akan berusaha menyakinkan Kakek kali ini." Pinta Ana pada sang sepupu.
"Duh, kau ini. Lagi-lagi karena pemikiran kolot Kakek mu itu, makanya kau tak maju-maju dan akan tetap miskin seumur hidupmu." Ujar Lia. Ana mendengar itu bisa merasakan Kakak sepupunya itu seperti jengkel padanya.
"Maaf, Kak. Kak Lia tahu sendiri, aku tidak mungkin pergi tanpa seizin Kakek."
"Terserah kau saja, tapi ini terakhir kalinya aku membantumu. Jika kali ini gagal juga, aku tak mau membantumu lagi. Aku tunggu jawabanmu selama 24 jam dari sekarang!" Jelas Lia dengan tegas, lalu sambungan telepon terputus.
Ana duduk di kursi kayu jati di ruang tamu, menatap layar ponsel sambil menggigit kuku ibu jarinya. Sekali lagi situasi ini membuatnya dalam kebimbangan dan rasa cemas. Sudah jelas karena dirinya harus memutar otak membuat alasan untuk kesekian kalinya agar bisa mendapatkan izin Kakeknya, agar bisa bekerja jauh dari desa kelahirannya.
Cukup lama Ana duduk berdiam diri. Sudah pasti diamnya Ana karena dia sedang mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan lagi keinginannya, apalagi kalau bukan untuk bekerja.
Pada akhirnya dirinya yang hampir setengah jam hanya duduk, kini beranjak dari kursi, menghampiri Kakeknya.
"Kek" suara Ana bernada lembut sembari memijit bahu pria tua yang duduk santai di teras rumah tersebut.
"Ya, ada apa?" Jawab Kakek Arman santai sambil menikmati pijatan cucunya.
Ana merendahkan tubuhnya di depan Kakek Arman, menyamai posisinya duduk. Lalu di genggam tangan keriput kakeknya sembari menatap dalam netra hitam yang mulai berkurang fokus penglihatannya tersebut.
"Kek, Ana ingin bekerja. Tolong berikan izin kali ini saja padaku. Ana janji akan memperbaiki perekonomian keluarga kita, Kek."
Mendengar permintaan Ana membuat pria tua itu menatap serius pada cucunya. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hanya menunjukkan mimik wajah yang tersirat penolakan darinya.
Sejak awal Ana sudah mengira Kakeknya pasti tidak akan memberi izin padanya, tapi ini kesempatan terakhir baginya untuk keluar dari jeratan hutang yang melilit keluarganya yang tak berkesudahan.
Ana meraih tangan kakeknya kembali yang sudah bangkit dari duduknya. Menahan pria baya itu agar mau mendengar keinginannya.
"Kek, Ana mohon, Tuan Edi akan terus mengusik keluarga kita. Ana hanya ingin bekerja di luar untuk melunasi hutang pada di lintah darat itu, Kek." Ujar Ana yang masih dalam posisi berlutut.
Arman menghela nafas dalam. Ini untuk kesekian kali cucunya meminta bekerja, tapi dia masih belum siap melepas jauh cucunya yang masih belia itu. Terlalu banyak mata jahat yang mengintai Ana. Dia tidak ingin mengulang kesalahan di masa lalunya.
"Jangan pikirkan itu, Ana. Hutang itu tanggung jawab kakek. Kamu hanya perlu menemani kakek dan bekerja di ladang saja membantu kakek."
"Tapi kakek berhutang untuk biaya sekolah Ana dan itu sudah jadi tanggung jawab Ana juga untuk melunasinya?"
Ana berusaha menyakinkan. Sebab biaya sekolah Ana selama ini sebagian dari berhutang. Karena hasil ladang cabai milik kakeknya itu tidak lah mencukupi, terlebih seringnya ladang Kakek Arman yang sering kali gagal panen.
"Memang kamu mau bekerja di mana?" tanya Arman penasaran.
"Di Bali kek, tepatnya di Gianyar. Ana akan bekerja sebagai house keeping sebuah Resort di Bali. Ana pernah dengar gaji bekerja di Resort lumayan besar. Dengan gaji Ana, kita pasti bisa melunasi semua hutang kita." jelas Ana dengan panjang lebar.
Bukannya senang, Arman langsung menarik tangannya dari genggaman Ana. "Tidak boleh! Kakek tidak mengizinkanmu!" tolaknya dengan nada suara yang mulai meninggi. Arman masuk begitu saja meninggalkan Ana yang masih berlutut.
Ana terduduk lesu di lantai, air matanya luruh. Kenapa? Padahal dia hanya ingin membantu Kakeknya. Sebegitu berbahaya kah dunia luar, sampai-sampai niat baiknya tak pernah di mengerti oleh Kakeknya. Dia hanya ingin terbebas dari jeratan hutang yang mencekik keluarganya.
"Pak Arman!!!"
Begitu melengking suara seseorang yang memanggil nama Kakeknya. Ana mengarahkan pandangannya ke sumber suara tersebut. Matanya membulat penuh kecemasan, sosok pria yang selama ini membuat keluarganya dalam lingkaran hutang yang menjebak, dialah sang lintah darat, Edi.
Ana bangkit berdiri, sedangkan Kakek Arman yang sudah ada di ambang pintu mulai keluar, karena dia pun pasti mendengar namanya di panggil dengan suara teriakan yang cukup keras.
"Tu-tuan Edi?" Suara Kakek Arman bergetar, tubuhnya pun gemetar penuh kekhawatiran, yang jelas pria baya itu paham maksud sang Juragan Tanah sekaligus lintah darat di desanya itu datang ke rumahnya.
"Bayar hutangmu sekarang! Ini sudah jatuh tempo!" teriak Edi tanpa basa-basi.
Pria yang usianya sudah berkepala empat namun masih terlihat bugar itu, mengarahkan pandangannya pada Ana yang berada di samping Kakek Arman. Memperhatikannya dari atas hingga bawah gadis cantik blasteran Asia-Eropa itu, sembari menyunggingkan sudut bibirnya.
"Maaf Tuan Edi, saya belum bisa melunasi hutang saya, mohon berikan saya tenggang waktu, Tuan." Kakek Arman menangkupkan kedua telapak tangan seraya memohon.
Apakah Edi merasa iba? Tentu tidak sama sekali. Si lintah darat itu hanya tersenyum sinis mendengar permohonan Kakek Arman, dan mungkin terbesit rencana licik di kepalanya.
"Baiklah, Aku bisa membuat hutangmu lunas tanpa harus kau bayarkan. "Edi yang kembali menatap Ana sembari tersenyum licik.
Ana yang melihat tatapan pria itu, membuatnya bergidik dan langsung menundukkan pandangan karena merasa risih pada tatapan Edi.
"A-apa yang bisa membuat hutang saya lunas, Tuan?" begitu penasaran Arman dengan tawaran si Juragan Tanah tersebut.
Edi pun mendekatkan bibirnya ke telinga Kakek Arman sambil berbisik, "Aku ingin cucumu, Ana. Aku gagal memiliki putrimu dulu, tapi kali ini cucumu boleh juga." Kemudian menatap jahat ke arah Kakek Arman sembari mengangkat alisnya sebelah.
Bola mata Arman pun membulat, begitu tidak percaya apa yang di minta oleh Tuan Tanah tersebut.
"Tidak mungkin Tuan, cucu saya masih kecil, sedangkan anda sudah berumur dan istri anda juga sudah ada tiga." Bergetar suara Arman menolak keinginan Edi.
"Tenang saja Pak Arman, aku akan menceraikan semua istriku. Dengan Ana saja itu sudah cukup. Aku yakin dia bisa memuaskan ku di atas ranjang."
Alhasil Arman yang mendengar ucapan Edi begitu meradang. Dia tidak terima perkataan Edi yang begitu merendahkan cucunya.
"Brengsek!" teriak Kakek Arman dengan di ikuti pukulan yang mendarat di wajah Edi hingga sudut bibirnya berdarah.
Dua pria berbadan besar dan tegap yang sedari tadi mengawal Edi mulai mengarahkan bogem mentahnya ke arah Kakek Arman, dengan sigap Ana menggunakan tubuhnya untuk menghalangi kedua pria itu, "jangan! Sudah cukup! Berapa hutangnya, besok aku bayar!" teriak Ana dengan lantang, menatap nyalang Edi.
Edi yang mendengar perkataan Ana tertawa terbahak-bahak seolah mengejek ucapan gadis cantik tersebut. Dia memerintahkan kedua pengawalnya untuk mundur dan dengan angkuhnya mendekati Ana yang memperlihatkan raut wajah amarah padanya, tapi Edi bukannya marah, dia malah semakin tertarik pada gadis elok di hadapannya itu.
"Apa kau bilang? Melunasi hutangmu yang membengkak itu? Hahahaha!!" begitu remeh perkataan Edi pada Ana. Karena bagi Edi mustahil bagi gadis seperti Ana bisa melunasi hutangnya dalam waktu singkat.
"Aku pasti membayarnya besok!" dengan suara lantang namun bergetar. Ana membalas ucapan remeh Edi, meski itu sebenarnya hanya gertakan saja, karena tidak ada pilihan lain selain harus membalas keras ucapan pria tersebut.
"Baiklah, aku tunggu kedatanganmu besok beserta uang 100 jutanya, tapi ingatlah Ana, kalau kau tidak dapat melunasinya, kamu tahu sendiri akibatnya." Ancam Edi dengan mengangkat salah satu sudut bibirnya sembari tangannya ingin menyentuh wajah Ana. Namun dengan cepat gadis itu memalingkan wajahnya.
Edi hanya tersenyum melihat reaksi gadis yang di sukainya itu, lalu bersama dua pengawalnya meninggalkan rumah Arman.
Sedangkan Ana segera masuk kerumahnya sambil memapah kakeknya yang nampak terguncang. Di bawalah kakeknya ke kamar tidur untuk beristirahat.
"Ana, kakek ingin istirahat, kamu keluarlah." Perintah Kakek Arman dengan nafasnya yang terengah-engah. Kemungkinan dia dalam kondisi syok saat ini.
Ana menganggukkan kepala, menyanggupi keinginan kakeknya.
Di tempat tidur yang kecil dan sempit, Arman menatap langit-langit ruang tidurnya yang terasa begitu sunyi sendirian.
"Delina, Apa yang harus Ayah lakukan?" Batin Arman dengan air matanya yang mulai menetes dari sudut mata keriputnya.
Mondar mandir kebingungan, ini lah yang tengah di rasakan Ana di situasi yang begitu mencemaskan bagi dirinya. Entah bagaimana caranya dia harus memenuhi janjinya kepada Edi untuk melunasi hutang itu besok.
Saat itu dia hanya berucap begitu saja untuk menghindari si lintah darat tersebut, namun kini situasi malah semakin membuatnya terjebak. "Aku harus bagaimana?" gumamnya sambil menggigit kuku ibu jarinya.
Kakek Arman melihat cucunya yang seperti itu pun juga merasa bingung dan tidak tenang, karena yang di pertaruhkan sekarang adalah nasib Ana.
"Ana, maafkan kakek." Ucap Kakek Arman dengan suara bergetar seraya putus asa.
Ana berhenti dari kegiatan nya, lalu menghampiri sang kakek yang sedang duduk di kursi kayu, merendahkan tubuhnya di depan kakeknya sampai posisi tubuh mereka sama.
Di tatapnya wajah yang begitu tua tak berdaya, membuat hati Ana sedih. Bagaimana hatinya tidak sedih. Harusnya di sisa usia tua, kakeknya tidak harus bekerja keras, apalagi menanggung seorang cucu sepertinya yang harusnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, meskipun dia tahu bahwa Ibunya sudah meninggal, dan Ayahnya tidak tahu dimana keberadaannya.
Di genggam tangan keriput itu, sambil memandang wajah cemasnya, "Kakek, Ini bukan salah kakek, Ana akan cari jalan keluar untuk melunasi hutang kita, Ana janji." Mencoba menenangkan kakeknya, meskipun dalam hati dia sendiri pun tak tenang.
Tiba-tiba saja Ana teringat dengan sepupunya, Lia. Segera Ana mengambil ponsel miliknya.
"Halo, Kak? Ini Ana."
"Ya ada apa?!" tanya Lia bernada ketus seperti biasannya jika menerima telepon dari Ana.
"Kak, Ana ingin minta tolong pada Kakak, tapi..."
"Tapi apa?! Bicara yang benar, dong! Jangan membuang waktuku!" balas Lia tak ramah.
"...Kak, Ana boleh pinjam uang 100 juta, nggak?"
"Nggak!" begitulah jawaban Lia yang singkat, padat dan tak peduli.
"Tolong lah kak? Ana sangat membutuhkan uang itu besok."
"Apa kau pikir cari uang itu mudah?! Memang bagaimana kau akan melunasinya? Kamu saja masih nganggur gitu." Begitu ketus jawaban Kakak sepupunya itu, membuat Ana mulai putus asa. Bagaimana dia tidak putus asa, kalau jalan keluar satu-satunya tak ia dapatkan.
Ana pun memutuskan sambungan teleponnya. Namun selang beberapa detik, ponselnya berdering kembali dan layar ponsel menunjukkan bahwa yang menghubunginya adalah Lia.
"Baiklah aku akan kirim uangnya lewat rekening ibuku, tapi ingat, kau harus mau menerima pekerjaan yang aku tawarkan waktu itu."
"Tapi, Kak..." Belum sempat Ana berbicara, sambungan telepon sudah di putus oleh Lia.
Ana meneteskan air mata. Akhirnya dia akan segera terbebas dari Edi. Sejumlah uang yang rasanya mustahil dia dapatkan, nyatanya ia dapatkan juga dalam waktu singkat. Meskipun itu hasil berhutang.
"Ada apa, Nak?"
Lekas Ana menyeka air matanya dan menghampiri Kakeknya. Menceritakan semuanya, termasuk dirinya yang harus bekerja sebagai ganti uang yang dia terima dari Lia.
Arman masih terdiam. Pria baya itu masih bingung keputusan seperti apa yang harus dia ambil. Jika dia tidak melunasi hutangnya, Ana akan di ambil Edi, namun jika hutangnya lunas, mau tidak mau Ana pun harus pergi dari sisinya juga. Dan pada akhirnya Ana akan tetap jadi korbannya.
"Ana, sangat berat rasanya kakek untuk melepas mu." Menatap lekat kedua netra biru milik cucunya, "baiklah Kakek mengizinkanmu, tapi itu hanya sementara sampai hutang kita lunas, setelah itu segera kembali pulang."
Ana langsung memeluk kakeknya itu, "Ana janji akan langsung pulang setelah hutang kita lunas, Kek."
Akhirnya izin dari Arman pun turun merestui kepergian cucunya.
Sedangkan di waktu yang bersamaan di tempat lain, tepatnya di sebuah kamar hotel, dua manusia yang birahi saling memuaskan di atas ranjang.
"Siapa tadi sayang?" tanya seorang pria yang tengah asyik menggoyangkan pinggulnya, menikmati tubuh wanita yang ada di bawahnya.
"Mmgh...bukan siapa-siapa. Hanya adik sepupuku yang bodoh." Jawab Lia.
...***...
Keesokan harinya, Ana menghampiri rumah Bibinya yang tak lain ibu Lia.
"Bibi Erni!" panggil Ana beberapa kali sembari mengetuk pintu kayu bercat coklat tersebut.
Tak berapa lama pintu terbuka, di susul dengan keluarnya seorang wanita paru baya dari dalam rumah.
"Ana, masuklah, Nak?" Erni mempersilahkan keponakannya itu masuk.
"Terimakasih, Bi Erni, tapi Ana tidak bisa berlama-lama."
Erni paham maksud kedatangan keponakannya itu, segera dia mengambil uang transferan dari putrinya dan memberikan pada keponakannya tersebut.
"Ini Nak, ambilah, dan segera bayarkan hutangmu pada Tuan Edi, agar keluargamu tidak di ganggu olehnya." Sembari menyodorkan sebuah amplop coklat yang berisikan uang sesuai yang di kirim oleh putrinya.
"Terimakasih Bi." Lalu memeluk Bibinya erat, seraya berkata bahwa dia sangat berterimakasih. Kemudian segera keluar dari rumah tersebut.
"Tunggu Ana!"
panggilan Erni menghentikan langkahnya. Ana berbalik, mantap Bibinya yang memasang raut wajah menyesal.
"Ana, Bibi minta maaf atas apa yang menimpa mendiang ibumu di masa lalu. Bibi sangat menyesalkan semuanya."
Begitulah ungkapan Bibinya yang tiba-tiba, hingga membuatnya mengingat kembali tragedi mengerikan yang menimpa mendiang ibunya dulu. Sebuah pelecehan yang hampir merenggut kehormatan ibunya, yang tidak lain pelakunya adalah mantan suami Bibinya sendiri.
"Bibi tidak usah khawatir, itu bukan salah Bibi, itu salah orang itu" sambil menggenggam tangan Erni. "Bi, Ana juga minta tolong sekali lagi, tolong jaga kakek di saat Ana nanti tak ada lagi di desa." Pintanya seraya memohon. Karena Ana tahu Kakeknya tidak mungkin di tinggalkan sendirian.
"Kamu tenang saja, Bibi pasti akan menjaga Kakekmu, cepat pergilah, temui Tuan Edi."
Ana lalu menganggukkan kepalanya, kemudian segera menuju rumah si Tuan Tanah tersebut.
Sesampainya di rumah Edi, Ana di persilahkan masuk ke dalam rumah oleh seorang pelayan wanita. Rumah itu terlihat cukup besar dan mewah untuk sekelas rumah orang kaya di desa.
Nampak pria berkulit hitam manis dan bertubuh tegap, yang usianya sekitar 40 tahun, keluar menemui Ana.
"Selamat datang Ana, apa kau kesini membawa uangku atau menyerahkan dirimu sendiri karena tak bisa melunasi hutangmu?" Begitu percaya diri Edi, mengira Ana tak bisa melunasi hutangnya.
"Maaf Tuan Edi, Saya kesini karena saya ingin melunasi hutang saya." Jawab Ana dengan tegas, menampik semua ucapan Edi.
Tawa keras keluar dari mulut Edi, hingga suaranya menggema ke seluruh ruangan.
"Jangan bercanda denganku, mana mungkin kamu punya uang sebanyak itu untuk melunasi hutangmu."
Tak mau berlama-lama, Ana langsung menyerahkan amplop coklat yang berisi uang sejumlah 100 juta tersebut. Edi langsung membulatkan matanya tercengang, tak percaya kalau Ana bisa melunasi hutangnya kurang dari satu hari.
Di cengkeramnya lengan Ana, "kau pikir Aku akan tertipu! Ini uang palsu, kan?!"
"Silahkan Tuan periksa sendiri, uang ini palsu atau tidak, yang pastinya uang ini asli Tuan Edi yang terhormat." Begitu lantang Ana menjawab dengan sedikit menaikkan dagunya.
Amplop itu pun di ambil oleh pengawalnya, lalu memeriksa dan menghitung semua isinya.
"Ini asli Tuan, dan jumlahnya 100 juta." Ucap pengawalnya.
Edi mengacak rambutnya, merasa tidak percaya kalau Ana bisa melunasi hutangnya.
Segera Ana bergegas pergi setelah urusannya selesai. Namun tiba-tiba lengannya di tarik oleh Edi. Tubuhnya pun berbalik berhadapan dengan pria dewasa itu. Wajah mereka saling bertemu. Untuk pertama kalinya Edi melihat wajah cantik Ana begitu dekat, jantungnya berdegup kencang dan darahnya berdesir dengan cepat.
"Ana, kumohon tetaplah di sisiku? Aku menyukaimu." Pengakuan Edi membuat Ana terkejut tak percaya.
"A-apa maksud anda, Tuan?" sembari mengerutkan dahinya kebingungan.
Edi mengungkapkan perasaanya, jika dia mencintai Ana. Bahkan dengan ringannya, mulutnya mengungkapkan sebuah pengakuan mengejutkan, jika dia dulunya pun mencintai ibunya.
Hati Ana begitu meradang, bagaimana bisa pria yang jelas lebih pantas menjadi ayahnya itu mengaku mencintainya dan ibunya. Kegilaan macam apa yang ada di pikiran pria yang mendekap tubuhnya itu. Sudah pasti Ana menolak semua itu.
"Cukup Tuan! Anda tidak pernah mencintai saya atau pun ibu saya, Itu hanya obsesi dari Tuan sendiri" tolak Ana dengan tegas.
"Aku bersungguh-sungguh Ana, aku mencintaimu."
"Anda bilang anda mencintai ibu saya tapi anda buat putrinya menderita. Apa itu di sebut cinta?! Kumohon Tuan, lepaskan saya? Tidak kah anda kasihan pada mendiang ibu saya?"
Edi membatu mendengar perkataan Ana. Tidak terasa air mata keluar dari sudut mata pria tersebut. Perlahan cengkraman tangannya pun di lepaskan.
"Maaf Tuan Edi, saya tidak punya perasaan apapun pada anda. Tapi saya berterima kasih karena sudah mencintai saya dan ibu saya." Ucap Ana, lekas meninggalkan kediaman Edi.
Edi hanya bisa menyaksikan gadis yang di cintainya menjauh dan perlahan hilang dari pandangannya. Hatinya kecewa karena mengalami penolakan untuk kedua kalinya setelah ibunya, yang bernama Delina.
Ada rasa penyesalan di hatinya saat mengingat Delina yang sempat dia cintai. Karena cinta itu pula dia terobsesi memiliki Ana karena kemiripan keduanya.
"Andai waktu itu kau tak merahasiakan penyakitmu Delina, aku pasti membiayai pengobatan mu sampai kau sembuh." Batin Edi lirih.
...----------------...
Sesampainya di rumah, Ana segera mengemasi pakaian dan barang-barangnya untuk keberangkatannya ke Bali malam itu juga.
"Ana jaga kesehatanmu, ingat pesan kakek waktu itu, pergunakan kemampuan bela dirimu untuk melindungi dirimu, Nak"
Ana pun mengangguk mengerti.
Di belainya rambut cucunya itu, kemudian memeluknya erat. Air mata Kakek Arman tak mampu ia bendung, karena harus merelakan kepergian cucunya yang teramat disayanginya.
Seperti membuka kenangan lama. Ia teringat dengan putrinya Delina, tak lain ibu Ana yang juga berpamitan pergi ke Bali, namun kembali dengan keadaan hamil dan membawa luka di hatinya.
Ana berpamitan pada Kakek Arman. Di ciumnya punggung tangan sang kakek, tanda meminta doa restu. Lalu pergi menuju tempat baru untuk mengaduh nasib di pulau Dewata Bali.
"Tuan, kami sudah mengurus semuanya." Ucap seorang pria, sembari menunjukkan potongan tangan yang terbungkus kain hitam di dalam peti.
"Kerja bagus, Demis" suara rendah seorang pria yang sedang duduk di sofa sambil melipat kedua tangannya di dada. Pria tersebut memandangi potongan tangan yang di bawa anak buahnya, sembari setengah tersenyum.
Dia adalah Felixsovich Yusupov. Seorang pemimpin kelompok dunia bawah asal Rusia, yang memimpin salah satu kelompok organisasi besar bernama Wolf syndicate. Kelompok organisasi dunia bawah dengan segala aktifitas ilegal yang mencakup berbagai aktifitas pasar gelap di dalamnya.
"Demis, apakah perjalanan untuk bulan depan ke Bali sudah kau siapkan?" tanya Felix sembari memainkan koin emas di tangannya.
"Sudah Tuan, pertemuan kali ini sudah di tentukan di gedung rahasia kita. Beberapa anak buah kita pun sudah berangkat lebih awal untuk memastikan keamanannya." Jawab Demis sambil memberikan beberapa berkas yang berisi nama-nama yang akan hadir.
"Jacob Adam Smith?" nama yang keluar dari mulut Felix.
" Iya Tuan, Tuan Jacob juga akan hadir di pertemuan nanti."
Felix berekspresi tak suka ketika mendengar nama yang di sebutkan Demis, sembari tetap fokus melihat berkas tersebut.
"Demis, aku butuh hiburan untuk melepas lelah."
Seperti biasa, Demis langsung mengerti apa yang di inginkan tuannya. Lekas dia keluar untuk mendapatkan apa yang diinginkan bosnya tersebut. Dia menuju ke suatu tempat dimana yang dibutuhkan bosnya itu bisa ia dapatkan.
Mobil sedan hitamnya sampai di depan sebuah Club malam di tengah kota Saint Petersburg. Demis turun dari mobil, lalu segera masuk ke gedung Club berlantai dua tersebut.
Beberapa penjaga berbadan besar menyambutnya dengan hormat. Siapa yang tidak tahu Demis, sang tangan kanan pemimpin organisasi Wolf syndicate. Kalaupun ada yang tidak tahu, mungkin itu pengunjung biasa yang baru masuk ke Club tersebut, tapi bagi orang lama di sana, nama itu sudah seperti nama keramat yang musti diingat, karena itulah eksistensi seorang mafia yang memiliki pengaruh besar di dalam dunia bawah.
"Selamat datang, Tuan Demis?" sambutan seorang wanita paruh baya dengan riasan menor yang tengah duduk di sofa bar sambil menghisap sebatang rokok di tangannya. Dia bernama Laura, yang biasa di panggil Madam Laura. Dia adalah pemilik Club malam Bee hive.
"Berikan yang baru untuk Tuan Felix." Ujar Demis tanpa basa-basi.
Laura menyunggingkan sudut bibirnya melihat Demis yang tanpa ba bi bu langsung meminta yang di perintah oleh tuannya.
"Baiklah, ikuti aku." Madam Laura bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju ke sebuah ruang dapur yang kosong, dengan diikuti Demis dibelakangnya. Wanita itu membuka lemari es dua pintu yang cukup besar, kemudian melangkah ke dalamnya, seperti lemari es itu adalah sebuah pintu rahasia yang di samarkan.
Dan benar saja, beberapa langkah memasuki pintu rahasia tersebut, dentuman musik terdengar semakin keras, dan di balik pintu lemari es itu adalah sebuah ruangan yang tak kalah luas dari ruangan sebelumnya, bahkan suasana di ruang Club rahasia tersebut lebih panas suasananya, bukan dalam arti sebenarnya.
Club itu adalah Club khusus untuk di nikmati para pengunjung kelas atas, seperti pengusaha, mafia, bahkan kalangan pemerintah nakal yang haus akan hiburan malam. Bahkan ruangan itu merupakan tempat prostitusi milik Madam Laura yang sengaja ia sembunyikan.
Semua pengunjung di sana menari kegirangan di bawah pengaruh minuman beralkohol yang mereka tenggak. Dan lebih gilanya tempat itu membebaskan pengunjung di sana melakukan apapun termasuk...
Demis tak bereaksi apapun karena dia pun sudah tahu dan sering keluar masuk ke Club malam tersebut untuk menjalankan tugasnya saja.
"Silakan masuk, Tuan Demis." Ucap Laura mempersilahkan.
Disana sudah ada lima wanita yang tengah berdiri dengan pakaian minim mereka yang super ketat, dengan tujuan Demis sendiri yang memilih wanita itu untuk tuannya.
"Bagaimana, Tuan Demis. Mereka semua baru. Aku jamin tak ada yang cacat dari mereka." Ujar Laura penuh keyakinan, "atau anda bawa saja semuanya untuk anda nikmati juga." lanjutnya sambil terkekeh.
Tapi tawa menggodanya seketika sirna ketika Demis melempar tatapan tak suka atas perkataannya tersebut.
Laura menelan ludah, "baiklah, baiklah, anda jangan marah begitu, akan segera saya pilihkan saja."
Kemudian Laura memerintahkan salah satu wanita muda yang di anggap memenuhi syarat untuk melayani Felix untuk maju ke depan.
"Wanita ini namanya Elis, anda bisa bawa sekarang."
Tanpa mengatakan sepatah kata pun pada Laura, Demis langsung membawa wanita di rekomendasikan olehnya.
"Tu-tuan, saya akan di bawa kemana?" tanya Elis yang sudah berada dalam mobil dengan Demis.
Sontak Demis memberhentikan mobilnya. Pertanyaan Elis membuatnya tak yakin wanita yang di bawanya dapat memuaskan tuannya. Karena sangat begitu jelas Elis seperti gadis muda yang tak punya pengalaman apapun.
"Umurmu berapa?" tanya Demis serius.
"18 tahu" jawab Elis ragu.
"Apa yang membuatmu bisa masuk ke Club itu?"
Pertanyaan Demis membuat Elis tak mampu menahan air matanya. "Saya melakukan ini karena keluarga saya terlilit hutang."
Jawaban Elis membuat Demis semakin ragu membawa wanita di sampingnya itu untuk menuju Mansion.
Demis memijat pelipisnya, lalu berkata, "Keluarlah, dan pulanglah ke keluargamu."
Tapi Elis malah menggelengkan kepalanya, "tidak, Tuan. Saya akan lakukan sesuai yang di minta madam Laura. Meskipun saya tidak punya pengalaman, saya sudah di ajari Madam untuk menghadapi Tuan Felix."
Begitu mendengar perkataan Elis, Demis tersenyum sinis. Pada akhirnya bagi Demis wanita sama saja, mau dia mengaku polos atau tidak, kalau sudah tahu siapa Felix, mereka tanpa ragu memberikan tubuh mereka untuk di nikmati tuannya. Dan alasannya sudah pasti, itu demi uang dan pengakuan.
Segera Demis melajukan kembali mobilnya menuju Mansion utama.
***
Di sebuah kamar yang cukup luas dengan beberapa perabotan yang sangat mewah, terlihatlah Felix yang sedang duduk di sofa sambil menikmati minuman favoritnya, wine.
Tak lama terdengar ketukan pintu, di susul suara tangan kanannya. "Tuan, ini saya Demis."
"Masuk!" perintah Felix.
Terlihatlah Demis membawa seorang wanita yang cukup muda dan cantik di hadapannya. Felix cukup puas dengan wanita yang di bawa Demis malam ini.
"Kemari lah!" perintah Felix pada Elis. Lalu matanya melihat ke arah Demis, perintah agar anak buahnya itu keluar.
Demis mengerti dan segera keluar meninggalkan kamar tersebut.
Felix segera memulai kebiasaannya. Dia memerintahkan Elis untuk melayani dirinya tanpa melihat tubuhnya dengan menutup kedua mata Elis, karena Felix memang tidak suka tubuhnya di lihat saat berhubungan.
Suasana yang mulai penuh gairah, membuat keduanya pun berakhir di atas ranjang putih kamar tersebut.
***
Di tempat lain Ana berada.
Perjalanan menuju Bali sekitar 8 jam dari desanya, ia menggunakan bus, kemudian naik kapal untuk menyebrang ke pulau Bali. Hingga sampailah dia ke tempat tujuan yang di janjikan oleh Lia.
Ana merasa hatinya lega karena sampai tujuan dengan selamat. Ia sampai di Bali saat pagi buta karena itu jalanan masih sepi.
Ana menghubungi Lia namun tak ada jawaban.
"Apa Kak Lia masih tidur, ya? Ini kan memang masih sangat pagi." Ucap Ana dalam hati.
Akhirnya Ana memutuskan untuk menunggu di bawah sebuah pohon yang terdapat tempat duduk, sembari beristirahat, melemaskan otot-otot nya yang terasa kaku dari perjalanan yang cukup lama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!