Mondar mandir kebingungan, ini lah yang tengah di rasakan Ana di situasi yang begitu mencemaskan bagi dirinya. Entah bagaimana caranya dia harus memenuhi janjinya kepada Edi untuk melunasi hutang itu besok.
Saat itu dia hanya berucap begitu saja untuk menghindari si lintah darat tersebut, namun kini situasi malah semakin membuatnya terjebak. "Aku harus bagaimana?" gumamnya sambil menggigit kuku ibu jarinya.
Kakek Arman melihat cucunya yang seperti itu pun juga merasa bingung dan tidak tenang, karena yang di pertaruhkan sekarang adalah nasib Ana.
"Ana, maafkan kakek." Ucap Kakek Arman dengan suara bergetar seraya putus asa.
Ana berhenti dari kegiatan nya, lalu menghampiri sang kakek yang sedang duduk di kursi kayu, merendahkan tubuhnya di depan kakeknya sampai posisi tubuh mereka sama.
Di tatapnya wajah yang begitu tua tak berdaya, membuat hati Ana sedih. Bagaimana hatinya tidak sedih. Harusnya di sisa usia tua, kakeknya tidak harus bekerja keras, apalagi menanggung seorang cucu sepertinya yang harusnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya, meskipun dia tahu bahwa Ibunya sudah meninggal, dan Ayahnya tidak tahu dimana keberadaannya.
Di genggam tangan keriput itu, sambil memandang wajah cemasnya, "Kakek, Ini bukan salah kakek, Ana akan cari jalan keluar untuk melunasi hutang kita, Ana janji." Mencoba menenangkan kakeknya, meskipun dalam hati dia sendiri pun tak tenang.
Tiba-tiba saja Ana teringat dengan sepupunya, Lia. Segera Ana mengambil ponsel miliknya.
"Halo, Kak? Ini Ana."
"Ya ada apa?!" tanya Lia bernada ketus seperti biasannya jika menerima telepon dari Ana.
"Kak, Ana ingin minta tolong pada Kakak, tapi..."
"Tapi apa?! Bicara yang benar, dong! Jangan membuang waktuku!" balas Lia tak ramah.
"...Kak, Ana boleh pinjam uang 100 juta, nggak?"
"Nggak!" begitulah jawaban Lia yang singkat, padat dan tak peduli.
"Tolong lah kak? Ana sangat membutuhkan uang itu besok."
"Apa kau pikir cari uang itu mudah?! Memang bagaimana kau akan melunasinya? Kamu saja masih nganggur gitu." Begitu ketus jawaban Kakak sepupunya itu, membuat Ana mulai putus asa. Bagaimana dia tidak putus asa, kalau jalan keluar satu-satunya tak ia dapatkan.
Ana pun memutuskan sambungan teleponnya. Namun selang beberapa detik, ponselnya berdering kembali dan layar ponsel menunjukkan bahwa yang menghubunginya adalah Lia.
"Baiklah aku akan kirim uangnya lewat rekening ibuku, tapi ingat, kau harus mau menerima pekerjaan yang aku tawarkan waktu itu."
"Tapi, Kak..." Belum sempat Ana berbicara, sambungan telepon sudah di putus oleh Lia.
Ana meneteskan air mata. Akhirnya dia akan segera terbebas dari Edi. Sejumlah uang yang rasanya mustahil dia dapatkan, nyatanya ia dapatkan juga dalam waktu singkat. Meskipun itu hasil berhutang.
"Ada apa, Nak?"
Lekas Ana menyeka air matanya dan menghampiri Kakeknya. Menceritakan semuanya, termasuk dirinya yang harus bekerja sebagai ganti uang yang dia terima dari Lia.
Arman masih terdiam. Pria baya itu masih bingung keputusan seperti apa yang harus dia ambil. Jika dia tidak melunasi hutangnya, Ana akan di ambil Edi, namun jika hutangnya lunas, mau tidak mau Ana pun harus pergi dari sisinya juga. Dan pada akhirnya Ana akan tetap jadi korbannya.
"Ana, sangat berat rasanya kakek untuk melepas mu." Menatap lekat kedua netra biru milik cucunya, "baiklah Kakek mengizinkanmu, tapi itu hanya sementara sampai hutang kita lunas, setelah itu segera kembali pulang."
Ana langsung memeluk kakeknya itu, "Ana janji akan langsung pulang setelah hutang kita lunas, Kek."
Akhirnya izin dari Arman pun turun merestui kepergian cucunya.
Sedangkan di waktu yang bersamaan di tempat lain, tepatnya di sebuah kamar hotel, dua manusia yang birahi saling memuaskan di atas ranjang.
"Siapa tadi sayang?" tanya seorang pria yang tengah asyik menggoyangkan pinggulnya, menikmati tubuh wanita yang ada di bawahnya.
"Mmgh...bukan siapa-siapa. Hanya adik sepupuku yang bodoh." Jawab Lia.
...***...
Keesokan harinya, Ana menghampiri rumah Bibinya yang tak lain ibu Lia.
"Bibi Erni!" panggil Ana beberapa kali sembari mengetuk pintu kayu bercat coklat tersebut.
Tak berapa lama pintu terbuka, di susul dengan keluarnya seorang wanita paru baya dari dalam rumah.
"Ana, masuklah, Nak?" Erni mempersilahkan keponakannya itu masuk.
"Terimakasih, Bi Erni, tapi Ana tidak bisa berlama-lama."
Erni paham maksud kedatangan keponakannya itu, segera dia mengambil uang transferan dari putrinya dan memberikan pada keponakannya tersebut.
"Ini Nak, ambilah, dan segera bayarkan hutangmu pada Tuan Edi, agar keluargamu tidak di ganggu olehnya." Sembari menyodorkan sebuah amplop coklat yang berisikan uang sesuai yang di kirim oleh putrinya.
"Terimakasih Bi." Lalu memeluk Bibinya erat, seraya berkata bahwa dia sangat berterimakasih. Kemudian segera keluar dari rumah tersebut.
"Tunggu Ana!"
panggilan Erni menghentikan langkahnya. Ana berbalik, mantap Bibinya yang memasang raut wajah menyesal.
"Ana, Bibi minta maaf atas apa yang menimpa mendiang ibumu di masa lalu. Bibi sangat menyesalkan semuanya."
Begitulah ungkapan Bibinya yang tiba-tiba, hingga membuatnya mengingat kembali tragedi mengerikan yang menimpa mendiang ibunya dulu. Sebuah pelecehan yang hampir merenggut kehormatan ibunya, yang tidak lain pelakunya adalah mantan suami Bibinya sendiri.
"Bibi tidak usah khawatir, itu bukan salah Bibi, itu salah orang itu" sambil menggenggam tangan Erni. "Bi, Ana juga minta tolong sekali lagi, tolong jaga kakek di saat Ana nanti tak ada lagi di desa." Pintanya seraya memohon. Karena Ana tahu Kakeknya tidak mungkin di tinggalkan sendirian.
"Kamu tenang saja, Bibi pasti akan menjaga Kakekmu, cepat pergilah, temui Tuan Edi."
Ana lalu menganggukkan kepalanya, kemudian segera menuju rumah si Tuan Tanah tersebut.
Sesampainya di rumah Edi, Ana di persilahkan masuk ke dalam rumah oleh seorang pelayan wanita. Rumah itu terlihat cukup besar dan mewah untuk sekelas rumah orang kaya di desa.
Nampak pria berkulit hitam manis dan bertubuh tegap, yang usianya sekitar 40 tahun, keluar menemui Ana.
"Selamat datang Ana, apa kau kesini membawa uangku atau menyerahkan dirimu sendiri karena tak bisa melunasi hutangmu?" Begitu percaya diri Edi, mengira Ana tak bisa melunasi hutangnya.
"Maaf Tuan Edi, Saya kesini karena saya ingin melunasi hutang saya." Jawab Ana dengan tegas, menampik semua ucapan Edi.
Tawa keras keluar dari mulut Edi, hingga suaranya menggema ke seluruh ruangan.
"Jangan bercanda denganku, mana mungkin kamu punya uang sebanyak itu untuk melunasi hutangmu."
Tak mau berlama-lama, Ana langsung menyerahkan amplop coklat yang berisi uang sejumlah 100 juta tersebut. Edi langsung membulatkan matanya tercengang, tak percaya kalau Ana bisa melunasi hutangnya kurang dari satu hari.
Di cengkeramnya lengan Ana, "kau pikir Aku akan tertipu! Ini uang palsu, kan?!"
"Silahkan Tuan periksa sendiri, uang ini palsu atau tidak, yang pastinya uang ini asli Tuan Edi yang terhormat." Begitu lantang Ana menjawab dengan sedikit menaikkan dagunya.
Amplop itu pun di ambil oleh pengawalnya, lalu memeriksa dan menghitung semua isinya.
"Ini asli Tuan, dan jumlahnya 100 juta." Ucap pengawalnya.
Edi mengacak rambutnya, merasa tidak percaya kalau Ana bisa melunasi hutangnya.
Segera Ana bergegas pergi setelah urusannya selesai. Namun tiba-tiba lengannya di tarik oleh Edi. Tubuhnya pun berbalik berhadapan dengan pria dewasa itu. Wajah mereka saling bertemu. Untuk pertama kalinya Edi melihat wajah cantik Ana begitu dekat, jantungnya berdegup kencang dan darahnya berdesir dengan cepat.
"Ana, kumohon tetaplah di sisiku? Aku menyukaimu." Pengakuan Edi membuat Ana terkejut tak percaya.
"A-apa maksud anda, Tuan?" sembari mengerutkan dahinya kebingungan.
Edi mengungkapkan perasaanya, jika dia mencintai Ana. Bahkan dengan ringannya, mulutnya mengungkapkan sebuah pengakuan mengejutkan, jika dia dulunya pun mencintai ibunya.
Hati Ana begitu meradang, bagaimana bisa pria yang jelas lebih pantas menjadi ayahnya itu mengaku mencintainya dan ibunya. Kegilaan macam apa yang ada di pikiran pria yang mendekap tubuhnya itu. Sudah pasti Ana menolak semua itu.
"Cukup Tuan! Anda tidak pernah mencintai saya atau pun ibu saya, Itu hanya obsesi dari Tuan sendiri" tolak Ana dengan tegas.
"Aku bersungguh-sungguh Ana, aku mencintaimu."
"Anda bilang anda mencintai ibu saya tapi anda buat putrinya menderita. Apa itu di sebut cinta?! Kumohon Tuan, lepaskan saya? Tidak kah anda kasihan pada mendiang ibu saya?"
Edi membatu mendengar perkataan Ana. Tidak terasa air mata keluar dari sudut mata pria tersebut. Perlahan cengkraman tangannya pun di lepaskan.
"Maaf Tuan Edi, saya tidak punya perasaan apapun pada anda. Tapi saya berterima kasih karena sudah mencintai saya dan ibu saya." Ucap Ana, lekas meninggalkan kediaman Edi.
Edi hanya bisa menyaksikan gadis yang di cintainya menjauh dan perlahan hilang dari pandangannya. Hatinya kecewa karena mengalami penolakan untuk kedua kalinya setelah ibunya, yang bernama Delina.
Ada rasa penyesalan di hatinya saat mengingat Delina yang sempat dia cintai. Karena cinta itu pula dia terobsesi memiliki Ana karena kemiripan keduanya.
"Andai waktu itu kau tak merahasiakan penyakitmu Delina, aku pasti membiayai pengobatan mu sampai kau sembuh." Batin Edi lirih.
...----------------...
Sesampainya di rumah, Ana segera mengemasi pakaian dan barang-barangnya untuk keberangkatannya ke Bali malam itu juga.
"Ana jaga kesehatanmu, ingat pesan kakek waktu itu, pergunakan kemampuan bela dirimu untuk melindungi dirimu, Nak"
Ana pun mengangguk mengerti.
Di belainya rambut cucunya itu, kemudian memeluknya erat. Air mata Kakek Arman tak mampu ia bendung, karena harus merelakan kepergian cucunya yang teramat disayanginya.
Seperti membuka kenangan lama. Ia teringat dengan putrinya Delina, tak lain ibu Ana yang juga berpamitan pergi ke Bali, namun kembali dengan keadaan hamil dan membawa luka di hatinya.
Ana berpamitan pada Kakek Arman. Di ciumnya punggung tangan sang kakek, tanda meminta doa restu. Lalu pergi menuju tempat baru untuk mengaduh nasib di pulau Dewata Bali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments
Kumbang 🐞
jadi inget tetangga yang hidup sama neneknya doang, batinnya kuat biarpun perempuan/Sob/
2024-01-26
2
Kiwi Edna
semoga Ana baik-baik saja, dan bertemu orang yang baik di Bali...🥺
2024-01-16
1