Tangan besarnya itu mulai mencengkram kuat pada rahangnya yang kecil, lalu mengarahkan wajahnya untuk menyaksikan orang-orang yang Ana kenal saat ini. "Lihatlah, sebentar lagi kau akan seperti mereka, pel4cur kecil."
Bukannya merasa takut, Ana malah meludahi wajah Felix. Rasa takut yang tadinya menguasai dirinya berubah amarah yang tak sanggup ia bendung, saat mendengar perkataan yang begitu melukai hatinya.
Plak....
Alhasil tamparan Felix langsung mendarat ke pipi kanan gadis malang itu, hingga dari sudut bibirnya keluar sedikit darah segar.
Felix yang sudah merasa geram, menatap satu persatu keempat orang yang di sekap nya.
"Siapa yang bertanggung jawab memilihkan wanita jal.ang ini?" tanya Felix sambil mengeluarkan pistolnya dari saku dalam jasnya.
"Sa-saya, Tuan?" suara Darwin bergetar menjawab pertanyaan Felix.
Door...!!
sebuah timah panas melesat menembus kepala Darwin hingga tewas seketika. Darahnya berceceran kemana-mana.
Lia yang berada tepat di sampingnya berteriak histeris menyaksikan kengerian itu. Bau anyir darah mulai menguar memenuhi ruangan. Sedangkan Loli hanya tertegun, tatapannya kosong dan tubuhnya mulai gemetaran. Sedangkan Hendra hanya bisa pasrah sambil menundukkan wajahnya.
"Tu-tuan saya mohon ampuni kami, hiks...hiks...hiks..." Ana menangis memohon pengampunan. Berharap pria bengis itu berbelas kasih melepaskannya dan yang lainnya.
Ekor mata ketua organisasi Wolf Syndicate itu menatap dingin ke arah Ana yang putus asa. Gadis yang begitu garang melawannya saat itu, seperti kehilangan taringnya saat ini.
"Tuan, saya tidak bersalah! Ini semua salah jalang itu, Tuan. Wanita itu yang membuat kekacauan ini, lepaskan saya, Tuan!" Lia terus mengomel, menghardik adik sepupunya itu. Menyakinkan Felix bahwa dirinya tidak bersalah, namun penjelasan Lia dengan bernada tinggi, hanya membuat Felix yang mendengarnya semakin muak.
Door...!!
Satu tembakan lolos tepat di jantung Lia, dan sepupu Ana itu pun tewas.
"Kakak!" Teriaknya. Menyaksikan kakak sepupunya yang meregang nyawa dengan cara yang sangat mengenaskan.
"Saya mohon, Tuan, hentikan! Saya yang bersalah di sini, bunuh saya saja!" pinta Ana putus asa dengan air matanya yang luruh.
"Terlalu bagus kalau kau langsung mati. Aku akan menyiksamu dulu, menguliti tubuhmu lalu ku buang ke hutan untuk di jadikan santapan hewan liar." Ancamnya, sembari mengacungkan pistolnya ke kepala Ana.
"Tuan. Ana bukan gadis jahat, dia hanya di jebak. Ampuni dia, Tuan?" Loli memohon berurai kan air mata dengan tubuh yang penuh luka.
Kembali Loli mengingat rentetan kejadian yang membuatnya harus mengalami kejadian ini. Dirinya mulai menyesali keputusannya melibatkan Ana. Ia merasa bahwa yang di alami temannya itu karena kesalahannya.
"Apa kalian tidak tahu sedang berurusan dengan siapa?!"
Felix hendak mengarahkan pistolnya ke arah Loli yang memejamkan matanya pasrah.
"Tuan, saya mohon ampuni dia. Lakukan apapun pada saya, jika anda menginginkan nyawa saya, bunuh saja saya. Hiks...hiks...tapi tolong, lepaskan Kak Loli."
Kata yang begitu saja keluar dari mulutnya. Entah sadar atau tidak, Ana sudah terlanjur mengucapkan itu, dan respon Felix mengulas senyum licik.
Felix menatap Ana yang masih menangis, Lalu lidah tebal tak bertulang itu menjilat buliran air matanya yang luruh di kedua pipi, sampai lidah itu menelusup ke dalam mulut gadis yang putus asa itu, melumat bibir ranumnya dengan rakus di hadapan orang-orang yang masih berada di sana.
Melihat itu, Demis segera mengalihkan pandanganya ke sembarang arah sedangkan yang lainya hanya bisa menelan ludah, menyaksikan.
Setelah menikmati manis bibirnya, Felix melepas semua ikatan gadis itu, dan menggendongnya keluar dari ruangan pengap tersebut.
Sementara Loli dan Hendra di ampuni.
***
Duduk mengamati layar laptop yang berisi rekaman CCTV kejadian kemarin. Ini lah yang kini di lakukan Felix. Karena rasa penasaran latar belakang wanita yang membuat kekacauan di acaranya, bos mafia itu memerintahkan Demis mencari tahu informasi tentang Ana dan keluarganya.
Beberapa menit kemudian datanglah Hendra.
"Anda memanggil saya, Tuan?"
"Kau tahu kesalahanmu sangat fatal, Hendra. Harusnya hari ini kau sudah terkubur di dalam tanah, dan karena kecerobohanmu, aku hampir kehilangan nyawa dan reputasiku." Kata Felix sambil membuang nafas kasarnya. "Tapi mengingat kesetiaanmu padaku dan hasil kerjamu yang bagus sebelumnya, aku memberikan satu kesempatan untukmu."
"Terimakasih, Tuan. Saya berjanji tidak akan mengecewakan anda." Ucap Hendra menyakinkan, kemudian berlalu pergi setelah di perintah tuannya.
Felix lalu mengambil ponselnya. "Max, siapkan kepulanganku besok, dan siapkan beberapa baju wanita" perintahnya dari balik benda pipih tersebut.
***
Keesokan di pagi hari yang cerah, terlihat Ana yang tengah sibuk di bantu seorang pelayan wanita untuk memakai dress yang di sediakan Felix untuknya.
Ana begitu cantik bak Dewi Aprhodite, yang terkenal di legenda yunani sebagai dewi yang paling cantik diantara dewi-dewi cantik yang lain.
"Anda sangat cantik, Nona." Puji si pelayan.
"Terima kasih" jawab Ana, memasang wajah datar.
Ana menatap sedih pantulan dirinya di depan cermin. Tak ada harapan dan masa depan, itulah isi pikirannya saat ini. Meski dia selamat dari maut, tapi hidup dalam genggaman pria berperangai bengis seperti Felix sepertinya tak ada bedanya dengan kematian.
Sepintas dia mengingat kakeknya sambil menahan air matanya. Bagaimana kabar kakeknya? Apakah kakeknya baik-baik saja jika hidup sendiri tanpanya nanti?Ketakutan-ketakutan inilah yang menghantui hatinya saat ini.
"Kau sudah siap?" suara bariton seorang pria yang berada di ambang pintu. Ana langsung menoleh ke arah sumber suara itu. Saat tahu itu Felix, wajahnya semakin muram dan langsung tertunduk.
Sambutan tak menyenangkan atas kedatangannya, membuat pria itu melangkah menghampiri Ana.
"Angkat wajahmu!"
Ana mengangkat wajahnya, tapi tak melihat Felix sama sekali. Pandangannya ia alihkan ke arah lain karena sangking bencinya gadis itu pada sosok pria di hadapannya.
Felix tersenyum sinis melihat tingkahnya, lalu tangannya mendekap tubuh sang pemilik pinggang ramping itu. Tubuh Felix yang jauh lebih tinggi, membuatnya dengan jelas melihat wajah cantik Ana yang tanpa celah.
Kemudian dia mendekatkan wajahnya pada wanita yang di rengkuhnya. Begitu dekat wajah keduanya, sampai menyisakan sepersekian senti saja.
"Kau masih ingat dengan kesepakatan kita, bukan?" ucapnya bernada rendah. "Kau harus ikut denganku ke Rusia, karena sekarang kau milikku, budakku. Ingat itu!" Lalu melepas dekapannya dan meninggalkan kamar tersebut.
Ana mengepalkan tangan sambil menyaksikan kepergian Felix. Begitu muak dia karena dianggap budak oleh pria tak berhati itu.
"Ayo, Nona, anda juga harus pergi." Ucap Megan, anak buah Felix.
***
Ketika sampai di bandara, lekas Felix dan anak buahnya masuk kedalam pesawat.
Felix duduk berhadapan dengan Ana, sedangkan Demis duduk berdampingan dengan Maxim yang berada di kursi belakang Felix. Di ruang terpisah ada beberapa anak buah Felix juga.
Ana yang pertama kali naik pesawat sudah pasti merasa takut. Meski tempat duduknya nyaman, tapi baginya itu tidak cukup untuk mengatasi ketakutannya. Saat pesawat mulai take off, Ana semakin ketakutan sambil memejamkan matanya dalam. Entah kenapa kepalanya terasa pusing saat itu.
Setelah pesawat sudah mencapai ketinggian dan kecepatan yang di tentukan, perlahan Ana mulai tenang. Beberapa kali dia mengatur nafasnya.
"Apa kau takut?" tanya Felix dengan menyilangkan kedua kakinya.
"Sedikit."
Jawaban Ana yang terdengar ketus itu di tanggapi senyuman sinis oleh Felix. Ini pertama kalinya dia di perlakukan acuh oleh seorang wanita dan dia masih bisa bersabar.
Kalau wanita lain mungkin sudah dia hadiahi timah panas ke kepalanya.
***
"Demis, apa kau tak merasa ada yang aneh pada Tuan Felix?" tanya Maxim.
"Tidak." Jawabnya singkat.
"huuufft!" Maxim menghela nafasnya dalam, melihat pria dingin di hadapannya itu.
"Tuan Felix sepertinya tertarik pada wanita itu."
Tiba-tiba Demis berhenti dari kegiatannya mengetik laptop, lalu menatap dingin ke arah Maxim.
Seketika Maxim menutup mulutnya. Dia tahu akan bahaya jika sampai membuat suasana hati tangan kanan bosnya itu buruk.
"Dasar pria berhati es" gumam Maxim.
Setelah penerbangan yang cukup panjang, sampailah mereka di bandara Moskow tepat sore hari. Segera rombongan Felix menuju mansion.
Iring-iringan mobil telah sampai di depan gerbang, lalu masuk menuju bangunan utama.
Mansion Felix, dibangun di atas lahan 210 hektar, dengan luas mansion 1000 m². Di lahan itu juga terdapat lapangan golf, squash, arena bowling, area berkuda dan beberapa danau buatan di sekitarnya. Tak diragukan lagi kalau kediaman Felix masuk dalam kategori mansion yang super mewah.
Di saat Ana keluar dari mobil, matanya sudah di suguhkan pemandangan yang luar biasa. Matanya membola tak percaya.
"Benarkah ini rumah?" Ana membatin penuh kagum, sampai mulutnya terus menganga sembari mengucek matanya.
"Tutup mulutmu, nanti gigimu kering!"
Seketika Ana menutup mulutnya rapat, lalu menunduk menyembunyikan wajahnya dengan rambut indahnya yang tergerai. Dia sangat malu.
"Ayo masuk!"
Lalu Felix melangkah masuk ke pintu utama mansion, diikuti Ana.
"Selamat datang, Tuan?" sambut kepala pelayan yang bernama Ester.
Ester sudah bekerja dengan keluarga Yusupov sebelum Felix lahir. Bahkan semua penghuni mansion tahu bahwa Ester seperti keluarga bagi Felix.
"Ester, siapkan kamar untuknya. Ajarkan dia, bagaimana bersikap hormat pada majikannya." Ekor matanya melirik tajam ke arah Ana. Seketika gadis itu terkesiap, sadar perkataan yang tegas itu di tujukan padanya.
Sedangkan para pelayan lain mulai bergosip membicarakan wanita baru yang di bawa pemilik mansion ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 135 Episodes
Comments