Fanny pulang kerumah menghampiri sang mama, dan memeluknya erat. Wanita itu merasakan kehancuran yang begitu nyata. Ia menangis tersedu di bahu Mamanya, membuat sang mama tampak iba.
"Kenapa kau menangis, sayang? Apa Fabian tidak melihatmu sama sekali?" Tanya Grace lembut.
Fanny melepaskan pelukannya, riasan diwajahnya sudah tidak berbentuk lagi. Ia terlihat kacau, ia menantikan sebuah harapan selama bertahun-tahun. Berharap Fabian kembali padanya, namun ia malah mendapat kabar mengenaskan itu.
"Dia sama sekali tidak melihatku, ma. Gadis yang ada di sampingnya mampu menghipnotis Fabian agar selalu melihatnya." Ucap Fanny dengan suara terisak.
Grace memeluk sang anak lagi, ia memberikan kekuatan padanya agar sang anak mengurangi kesedihan hatinya.
"Sayang, kau sudah bahagia tidak perlu mengharapkan orang yang sudah membuangmu. Kau cantik, masih banyak pria yang menginginkan mu. Lupakan Fabian, dia bukan jodohmu lagi. Kau harus melanjutkan hidupmu, Fanny." Ucap Grace lembut dengan tatapan yang begitu lekat memberikan sebuah dorongan semangat.
Fanny terlihat tidak suka mendengar ucapan Grace, wajahnya terlihat kesal. Matanya menatap tajam pada Grace.
"Tidak bisa! Aku tidak akan merelakannya! Fabian itu suamiku dan akan tetap menjadi suamiku! Gadis itu tidak boleh merebutnya dariku!" Pekik Fanny sehingga guratan lehernya jelas terlihat akibat amarah yang begitu memuncak.
"Tapi, kau dan dia sudah tidak ada ikatan apapun, sayang. Berhentilah berharap padanya!" Grace mencoba mengingatkan. Namun, upaya itu ternyata sia-sia Fanny akan tetap melakukan segala cara untuk meraih Fabian masuk kedalam hatinya.
Ia pun pergi hendak menemui seseorang yang akan membantunya melancarkan rencananya. Grace tak bisa melarangnya, ia tak ingin membuat sang putri menjadi sangat tidak terkendali. Akhirnya ia membiarkan apa yang ingin dilakukannya.
...----------------...
"Kemana mereka? Sudah pagi ini kenapa belum turun untuk sarapan pagi bersama?" Tanya Ambar pada Alan yang tengah duduk sambil menyeruput kopi paginya.
Saking menikmatinya, ia sampai tidak mendengar pertanyaan orang tua bosnya itu. Hingga membuat Ambar kesal setengah mati.
"Alan!" Teriak Ambar.
Alan begitu terkejut, hingga kopi yang ia pegang tumpah begitu saja dan mengenai celana mahalnya.
"Ah ya, maaf Nyonya. Ada apa?" Ucapnya dan langsung berdiri sembari membersihkan celananya akibat tumpahan kopi dengan menggunakan tisu.
Ambar menghela nafasnya, ia begitu kesal melihat asisten sang anak. Sejujurnya ia ingin marah, tapi ia urungkan sebab ia pikir akan menambah satu garis kerutan di wajahnya.
"Sabar Ambar, tenanglah." Monolognya sembari memegang dadanya.
Setelah dirasa cukup tenang, Ambar pun kembali bertanya pada pria itu.
"Dimana Fabian dan istrinya?"
"Hem, mereka sudah keluar dari hotel malam tadi, nyonya." Ucap Alan.
"Hah? Kenapa mereka tidak memberitahuku?" Tanya Ambar heran.
"Saya tidak tahu, nyonya. Tapi sepertinya tuan Fabian tidak ingin terganggu." Ucap Alan yang mencoba mengingatkan kejadian malam pertama Fabian dengan Fanny. Pada saat itu, Ambar tak hentinya mengganggu keduanya. Hingga mereka tidak jadi melakukannya karena ulah wanita paruh baya itu.
Ambar tidak merasa dengan sindiran itu, ia bersikap dengan santai sambil mengunyah makanannya.
"Bukannya Fabian dan Olivia sudah melakukannya sebelum menikah?" Tanya Ambar.
Alan terdiam sesaat, ia lupa jika Ambar tahu soal bos dan wanita simpanannya itu. Akhirnya ia tak bersuara dan kembali duduk memakan makanannya.
Ambar melirik sekilas kearah Alan, lalu tersenyum samar.
...----------------...
Olivia terbangun karena perutnya terasa keroncongan, ia melihat jam yang di samping tempat tidur. Seketika ia pun terkejut, namun tiba-tiba tangan kekar Fabian menariknya kedalam pelukan.
Olivia tercekat tak mampu bergerak, ia menatap suaminya yang masih terlelap. Hembusan nafas Fabian menyapu wajahnya, Olivia tersenyum tangannya terangkat hendak menyentuh hidung dan bibir Pria itu.
Namun, Fabian tiba-tiba membuka matanya menatap tajam Olivia. Olivia terkejut, ia menarik tangannya.
"Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu itu!" Ucap Fabian dengan suara dinginnya.
"Maaf," ucap Olivia lemah.
Fabian melepaskan pelukannya, ia bangkit dari tidurnya dan langsung masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya setelah melakukan pertempuran hebat dari pagi hingga siang menjelang.
Olivia terduduk, ia mengusap wajahnya merasa menyesal karena sudah terlalu berani menyentuh pria dingin itu.
Ia pun turun dari ranjang, berjalan menuju cermin memperhatikan leher dan dadanya yang memiliki banyak tanda kemerahan, hasil dari pergulatan itu.
Olivia tersenyum getir memandangi tubuhnya, rasanya ia tidak berharga apalagi kembali teringat dengan ucapan Fabian beberapa hari yang lalu.
"Aku sebagai pemuas untuk dua tahun kedepan, selebihnya aku akan di buang. Olivia, aku pinta kau tidak boleh jatuh cinta padanya." Ucapnya sembari terisak.
Gadis itu menyeka airmatanya, ia tak mau berlama-lama menyakiti hatinya. Ia tersenyum getir menguatkan hati yang sudah rapuh.
...----------------...
Beberapa saat kemudian, Fabian selesai dengan ritual mandinya. Ia melihat keseluruhan ruangan itu mencari keberadaan sang istri. Namun, Fabian tidak menemukannya.
Fabian keluar dari kamar, baru beberapa langkah ia berjalan ia mendengar suara nyanyian dari arah ruang makan. Fabian berjalan menyusuri suara itu, hingga akhirnya ia menemukan siapa yang wanita yang tengah bernyanyi dengan suara yang begitu merdu.
Fabian berdiri tak jauh dari tempat itu, ia menyandarkan punggungnya mengamati pergerakan Olivia yang tengah sibuk menyusun roti dan segelas susu di atas meja makan.
"Semoga kau suka dengan roti buatan ku ini," ucapnya sambil tersenyum.
Selesai melakukan tugasnya, Olivia memutuskan untuk duduk menonton televisi di ruang tengah menunggu sang suami selesai. Sebelumnya, ia sudah membersihkan tubuhnya di kamar mandi belakang, lalu bergegas menyiapkan sarapan untuk suaminya.
Fabian selesai dengan memakai pakaian santainya, ia langsung menuju ruang makan untuk menyantap makanan itu. Namun, ia tidak menemukan sang istri. Fabian mencari keberadaan Olivia yang ternyata sedang asyik menonton sebuah film komedi. Ia terbahak-bahak melihat adegan di film itu.
Pria itu menghampirinya dengan membawa piring berisi roti yang dibuat Olivia tadi. Ia langsung duduk di samping istrinya, tanpa beban sembari melahap makanannya.
Olivia terkejut, ia sedikit menjauh namun Fabian menatapnya tajam.
"Buka mulutmu!" Ucap Fabian.
Olivia menurut ia membuka mulutnya dan Fabian langsung menyuapi roti yang tersisa di tangannya.
"Habiskan!" Ucapnya.
Olivia mengunyah makanannya secara perlahan, ada rasa kesal sebab Fabian memberikan roti bekas dari gigitannya.
"Ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?" Tanya Fabian merasa aneh.
"Kau memberiku roti bekas gigitanmu, Tuan!" Ucapnya kesal dengan mulut yang penuh.
Fabian menahan tawanya, ia benar-benar gemas melihat sang istri.
"Jadi kau tak ingin memakannya? Hei! Aku ini suamimu!" Ucap Fabian tak mau kalah.
Olivia menghela nafasnya, ia terdiam sejenak lalu menyambar susu yang di bawa Fabian tadi di atas meja. Kemudian menenggaknya hingga habis. Fabian melotot, minumannya telah habis.
"Hei! Kenapa kau minum itu!" Teriaknya.
Olivia meletakkan gelas susu tadi keatas meja, dengan sedikit membantingnya. Tak lupa ia menyeka bekas susu yang menempel di atas bibir mungilnya.
"Kenapa? Bukannya aku ini istrimu?!" Olivia berteriak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments