Andre menyemburkan air minum yang baru saja masuk ke mulutnya, ia terkejut karena Alan tiba-tiba datang membawakan kertas undangan untuknya.
"Fabian menikah?" tanyanya memastikan.
Alan mengangguk lemah, sangat terlihat wajahnya begitu lelah mengurus segala sesuatu acara pernikahan itu.
"Hahahah!" Andre tertawa terbahak-bahak hingga airmatanya keluar. Entah apa yang membuatnya tertawa seperti itu, hingga Alan mengerutkan keningnya menatap Andre.
"Kau kenapa?" tanya Alan.
"Sepertinya Fabian telah menemukan pawangnya." ucap Andre dan kini suaranya terdengar datar.
Alan semakin bingung dengan ucapan teman bosnya ini.
"Pawang apa maksudnya? Aku tidak mengerti." ucap Alan.
Andre berdiri, matanya terpejam tangannya terangkat. Ia seperti seseorang yang sedang menerawang.
"dia mulai lagi!" ucap Alan dengan memutar bola matanya malas.
Brak!
Andre tiba-tiba memukul meja yang ada di depannya, dan hal itu membuat Alan terkejut bukan main. Jangan ditanya keadaan jantungnya saat ini, dia benar-benar hampir pingsan.
"Hei! kau sudah membuatku terkejut, sialan!" makinya pada Andre.
Andre membuka matanya lalu menatap datar Alan tanpa beban, kemudian menenggak kembali gelas yang berisi jus melon itu hingga habis tak bersisa.
Alan mengusap dadanya, mencoba menguatkan diri menghadapi pria itu.
"Pasti Tante Ambar yang ingin menikahkan keduanya." ucap Andre.
Alan terkesima, ia merasa Andre ini benar-benar seorang dukun yang tahu segalanya sebelum ia mengatakannya.
"wah! kau hebat sekali bisa tahu itu." Ucapnya kagum.
"Tante Ambar menelepon tadi." jawab Andre santai.
Alan menarik kedua sudut bibirnya, ia begitu kesal dan ingin menarik pujiannya tadi.
"Sudahlah aku mau pulang saja! ngobrol denganmu lama-lama aku bisa ikutan gila!" cibir Alan dengan nada ketus.
"Pulang saja, tidak ada yang melarang." Andre lagi menjawab tanpa beban.
Alan mengusap wajahnya kasar, kesabarannya sudah habis. ia beranjak dari duduknya dan pergi dengan langkah yang cepat. Sementara Andre ia kembali memejamkan matanya lalu tertawa lagi, Alan yang mendengar suara tawa teman bosnya itu seketika bergidik ngeri.
"Dasar orang gila! Tuan Fabian itu pria sempurna tapi kenapa dia mau berteman dengannya, aneh sekali." Gerutunya sembari masuk kedalam mobil.
Alan rencananya akan kembali ke gedung yang akan menjadi tempat pernikahan Fabian dan Olivia, untuk mengurus segala sesuatu acara pernikahan nanti.
Di perjalanan tiba-tiba ia tersadar, bahwa sebenarnya Andre sudah mengetahui pernikahan itu. Ia pun memukul stir mobilnya karena menyesal mengantarkan undangan itu.
"Ah, sial! Awas kau sialan!"
...----------------...
Esok harinya, Fabian sudah berada di samping ranjang Olivia dengan memakai pakaian lengkap. Pagi itu ia akan ke kantor setelah beberapa hari tidak pergi.
Fabian mengelus lembut pipi Olivia, hingga gadis itu pun terbangun. Ia membuka matanya dan tampak terkejut melihat Fabian yang sedang menatapnya dengan tatapan dingin.
"Tuan?" ucapnya lalu bangkit dan duduk di tepi ranjang.
"Aku sudah bersiap dan kau masih tidur! Apa seperti ini caramu melayani suami?" ucap Fabian dengan suara dinginnya.
"hah?! suami? Anda belum menjadi suamiku, Tuan!" Olivia terperangah, ia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang di ucapkan pria itu.
Fabian memegang dagu Olivia hingga gadis itu mendongakkan kepalanya menatap wajah tampan Fabian.
"Aku sudah menjadi suami untukmu! Layani aku, sekarang!"
Olivia menepis tangan Fabian, dia tidak habis pikir dengan ucapan calon suami yang tidak dia harapkan itu. Rasa kesal menghampiri dirinya, ia melihat jam di dinding menunjukkan pukul setengah tujuh.
"Suami? cih! kau bilang kemarin aku tidak akan pernah bisa memilikimu! dan aku hanya sebagai pemuasmu saja! lalu sekarang kau ingin di layani seperti suami, aku benar-benar tidak mengerti orang-orang labil seperti dirimu, Tuan!" Olivia sudah kehabisan stok kesabaran. Fabian sungguh membuatnya semakin frustasi.
cup!
Satu kecupan mendarat singkat di bibir Olivia, hingga membuat matanya membulat. Gadis itu ingin marah. Namun, tatapan lembut Fabian tiba-tiba membuat rasa marahnya menguap begitu saja.
Fabian memberikan sebuah dasi berwarna biru pada gadis itu, Olivia pun bingung dan meminta penjelasan.
"Apa ini?" tanyanya.
Fabian mendongakkan kepalanya, tangannya ia masukkan ke dalam saku. Seketika Olivia pun mengerti maksud pria itu, dadanya tiba berdebar menatap dasi yang ada di tangannya.
"Aku tidak memiliki banyak waktu, Olivia!" ucap Fabian dingin.
Olivia mengatur nafasnya, ia pun berdiri berhadapan dengan pria itu. Dadanya semakin bergemuruh, tangannya sedikit bergetar saat ia berupaya mengalungkan tangannya memakai dasi di kerah baju Fabian. Olivia tak mau menatap pria itu, sebisa mungkin ia fokus pada dasinya.
"Apa seperti ini seorang istri bersikap pada suaminya?!" suara dingin Fabian yang menyapu wajah cantik Olivia seketika membuatnya kehilangan fokus. Olivia tetap diam, mencoba merangkai dasi itu lagi dan mengabaikan calon suaminya.
Tak mendapatkan jawaban, Fabian mengangkat dagu Olivia dan kini mereka saling beradu pandang. Jantung Olivia seakan ingin melompat keluar, ia tak kuasa menatap wajah tampan itu.
"ya Tuhan, lama-lama aku bisa terkena serangan jantung." batinnya.
"Seperti inikah caramu melayani suami?" Fabian mengulang pertanyaannya lagi.
Olivia masih tetap diam menatap Fabian, ia benar-benar terpesona dengan pria itu.
cup!
Fabian kembali mendaratkan bibirnya, namun kali ini lebih lama hingga keduanya saling memejamkan mata.
Beberapa menit bertaut, akhirnya Fabian melepaskan pagutannya. Ia mengusap pelan bibir gadis yang saat ini jantungnya sudah tidak bisa dikondisikan lagi.
Fabian menarik kedua sudut bibir Olivia dengan menggunakan jarinya, hingga terukir senyuman di bibir gadis itu.
"Seperti ini, dan biarkan seperti ini hingga selesai!" ucap Fabian memperingati.
Olivia tak menjawab, ia kembali memasangkan dasi itu dengan senyuman yang masih terbilang kaku. Ia berupaya menahan bibirnya sembari fokus pada pekerjaannya.
Beberapa detik kemudian, ia pun selesai. Gadis itu langsung menjauhkan tubuhnya dari Fabian. Wajahnya memerah menahan malu, ia juga tak mau menatap Fabian yang masih terus menatapnya.
"Sudah pergi sana! Kenapa masih melihatku seperti itu?!" ungkapnya dalam hati sambil melirik sekilas ke arah Fabian.
Fabian masih terus menatap Olivia dengan tatapan dingin, sembari memegang dasi yang telah tersemat di lehernya.
"Cepatlah bersiap, aku tunggu!" ucapnya kemudian berlalu keluar dari kamar.
Setelah Fabian keluar, kaki gadis itu seolah tidak memiliki tulang untuk menumpu berat badannya. Olivia terduduk di lantai, ia nyaris pingsan karena pesona duda angkuh itu.
"Oh ya Tuhan! aku baru sadar kalau dia ternyata tampan!" ucapnya sembari menetralkan jantungnya.
...----------------...
Hampir setengah jam berlalu, Olivia pun selesai bersiap. Gadis itu keluar menuju ruang makan, tampak ragu-ragu ia melangkahkan kakinya saat melihat Ambar dan Fabian sudah berada di tempat itu lebih dulu.
"Aku tidak pantas duduk di sana rasanya." gumamnya dengan jari-jemari saling bertaut.
Olivia hendak berbalik arah sebelum keduanya tahu, ia merasa tidak enak hati jika makan bersama dengan mereka. Olivia merasa tidak cocok berada satu meja bagaikan langit dan bumi pikirnya.
Namun, langkahnya harus terhenti saat suara Ambar bergema memanggil dirinya.
"Olivia! Mau kemana kau?!"
Olivia tercekat, jantungnya berdebar kencang. Perlahan ia membalikkan tubuhnya lalu tersenyum getir menatap Ambar yang tengah menatapnya dingin.
"duduk sini!" ucap paruh baya itu dengan nada dingin.
"Tapi, Nyonya_" ucapan Olivia terputus saat satu tangan Ambar terangkat.
"Duduk!" wanita paruh baya itu menegaskan lagi.
Akhirnya mau tidak mau Olivia duduk di satu meja yang sama, dengan rasa canggung berhadapan dengan calon mertua.
"Makan!" ucap Ambar lagi dengan nada ketus.
Olivia pun menurut, ia tidak membantah sama sekali. Gadis itu mengambil dua potong roti kemudian ia letakkan ke dalam piring yang sudah di sediakan. Sementara itu, Fabian terus melihat pergerakannya, piring miliknya masih kosong.
"ehem!" Ambar berdehem cukup keras seperti memberikan kode pada Olivia. Olivia pun menatap bingung pada Ambar.
"Ada apa nyonya? Apa ada yang salah?" tanyanya.
"tidak ada, aku sudah selesai makan." ucap Ambar lalu beranjak dari duduknya dan pergi begitu saja.
Olivia makin tidak enak hati, ia menyesal keluar dari kamarnya dan ikut bergabung di meja makan itu.
Ambar berbalik dan menatap Olivia dengan tatapan dingin.
"Olivia! kau tahu, calon suamimu itu seperti anak bayi yang harus dilayani setiap saat!" ucapnya kemudian berlalu.
Olivia menatap Fabian, kemudian beralih pada piring kosongnya. Ia pun mengerti, dan langsung sigap berdiri di samping Fabian.
"Anda ingin makan apa, Tuan?" tanyanya berusaha tenang.
Fabian diam tangannya terlipat di dada.
"Oh astaga! Aku sudah sangat frustasi menghadapi pria ini! Kami belum menikah tapi sudah membuatku hampir gila!" batin oleh Olivia meringis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments