Adrienne memperhatikan Wulan dari ia mulai masuk ke ruang guru hingga ia duduk di meja kerjanya. Wanita itu tampak gelisah. Ia sesekali melempar senyum padanya.
"Ada masalah, Wulan?" tanya Adrienne.
"Ya, aku sedang memikirkan salah satu siswa di kelasku. Max," jawabnya.
"Maksudmu .. Maximilian Guillaume?"
Wulan mengangguk.
"Aku sudah kehabisan kata - kata untuknya." Adrienne menggeleng. "Satu bulan lalu dia berseteru dengan Damien, Guru Pembimbing, kau sudah bertemu dengannya?"
"Ya, aku sudah bertemu dengannya. Kenapa mereka berseteru?"
"Max berkelahi dengan anak kelas lain. Damien membawanya ke ruangannya. Dan mereka terlibat percekcokan hingga Max memukuli Damien."
"Ya ampun."
"Tidak ada sanksi untuk Max? Diskors?Dikeluarkan?"
"Dikeluarkan? Mana bisa. Pemerintah mewajibkan sekolah SD hingga SMA dan gratis. Itulah kenapa anak - anak sekolah di negara ini menjadi susah diatur, terutama di kota - kota besar yang terdapat banyak sekali imigran dari Afrika, negara - negara konflik dari Timur - Tengah dan juga negara - negara miskin dari Eropa Timur," terang Adrienne. "Ah, Max hanya diskors selama satu minggu waktu itu."
Wulan mengangguk - angguk. Banyangan wajah Max yang penuh dengan memar terlintas.
"Aku melihat ada memar di wajah Max. Aku hanya berpikir anak itu sedang dalam masalah."
Adrienne mendecak. "Sudah pasti dia banyak masalah. Lingkungan tempatnya tinggal saja penuh masalah."
Stalingrad. Daerah pemukiman di bagian kota madya Suresnes yang banyak ditinggali para imigran. Ia baru tersadar jika jarak dari apartemen tempat tinggalnya hanya beberapa kilometer saja dari pemukiman yang rawan kejahatan itu.
Wulan menghela nafas dalam - dalam. Entah kenapa ia tertarik untuk mengulik kehidupan Max lebih dalam. Ia begitu yakin ada yang salah dengan anak itu.
***
Max memperhatikan pantulan wajahnya di cermin. Dielusnya memar yang ada di samping bibirnya, lalu di pelipisnya. Sudah tak terlalu jelas. Tapi tetap saja membuat wajah tampan dengan rahang yang mulai kokoh itu terlihat berantakan.
Enam belas tahun hidupnya yang menyedihkan.
Max mengelus rambut setengah gondrongnya dan mengikatnya sembarang. Ia menatap mata birunya di dalam cermin. Warna mata sang Ibu yang diturunkan padanya.
Tidak. Max tidak pernah bertemu sang Ibu. Wanita itu meninggal ketika melahirkan dirinya. Ia hanya melihatnya melalui foto - foto kusam yang disimpan sang Ayah.
Ya. Ayah pecundang. Yang selalu saja menyalahkannya atas kematian Isterinya. Lihat dia sekarang. Pemabuk yang tak berguna. Dan memperlakukannya seperti sampah.
Max memukul pelan meja di bawah cermin. Lalu melangkah keluar dari kamarnya. Ia melewati begitu saja sang Ayah yang tengah tertidur pulas di atas sofa, mendengkur dan bergumam tidak jelas.
Ia membuka pintu dengan pelan. Lalu melangkah keluar apartemen.
.
.
Pemandangan dari rooftop gedung apartemen di Stalingrad cukup bagus. Dari kejauhan menara Eiffel hanya tampak puncaknya saja. Selebihnya adalah pemandangan kota Paris tanpa gedung - gedung pencakar langit.
Etienne dan dua orang remaja masing - masing bermata sipit dan berkulit putih menghampiri Max yang tengah duduk di tepi gedung, dengan kaki menjulur ke bawah, dan lengan yang dia tumpu pada besi pengaman.
"Sumbangan bir dari Chen," ujar Etienne sembari membantu si mata sipit yang dipanggil dengan nama Chen itu meletakkan satu krat bir di samping Max.
"Dan rokok dari Fred." Si kulit putih yang memanggil dirinya sendiri Fred itu melempar satu bungkus rokok bermerk Gauloise ke dekat Max.
Max tersenyum senang. Ia menurunkan hoodie yang menutupi kepalanya. Etienne, Chen dan Fred kemudian duduk berjejer di tepian gedung.
"Miss Wulan menanyakanmu tadi siang," ujar Etienne seraya menyalakan rokoknya, kemudian membantu menyalakan rokok di jemari Max.
"Mau apa dia?" tanya Max sembari menghisap rokoknya.
"Dia suka padamu," goda Fred, disusul dengan gelak tawa Chen dan Etienne.
Max mendesis. Lalu mengalihkan pandangannya lurus ke depan.
"Dia melihatku dipukuli Nicholas dan Havier."
Mata Etienne membulat. "Mereka memukulimu?"
Max menunjukkan memar di wajahnya dengan jari telunjuknya. "Aku berhutang 500 euro. Semua gara - gara si Ludovic sialan itu merampas uang yang belum sempat aku setorkan pada mereka." Max menyebut nama Ayahnya dengan geram.
"Merde (sial)!" maki Etienne. "C'est pas bon ça (ini tidak bagus)."
Max mengedikkan bahunya. Lalu menenggak botol bir di tangannya.
"Artinya Nicholas dan Havier tidak akan menyuplai barang pada kita sebelum kita menyetorkan 500 euro pada mereka," ujar Etienne. "Darimana kita bisa mendapat uang sejumlah itu," gumamnya kemudian.
Max memijit kepalanya. "Mereka memberiku waktu dua hari."
"Oh, tidak!" seru Etienne. Ia berpikir sejenak. Sejurus kemudian dia menjentikkan jarinya.
"J'ai une idée (aku punya ide)!"
"Apa?" tanya Fred.
Etienne tersenyum senang. "Max, kau dekati saja Miss Wulan. Lalu curi uangnya."
"Apa dia terlihat seperti wanita yang punya banyak uang?" tanya Max ragu.
"Apa salahnya mencoba."
"Itu ide bagus," sahut Chen.
Max menghembuskan nafasnya kasar. Lalu mengacak rambutnya. Mungkin itu satu - satunya ide yang bisa ia lakukan saat ini. Sejujurnya ia benci melakukannya. Namun sepertinya tidak ada pilihan lain.
***
"A demain (sampai besok), Adrienne," ujar Wulan. "Bye, paul, Bye, Monique."
Wulan mengecup pipi Adrienne yang masih sibuk di meja kerjanya lalu melambai pada Paul dan Monique. Kemudian melangkah keluar dari ruang guru. Ia berjalan menelusuri koridor yang ramai oleh para siswa yang mulai keluar dari kelas masing - masing.
Matanya menangkap sesosok jangkung yang tengah berdiri menyandarkan punggungnya di dinding koridor. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam kantong jaketnya.
Wulan mendekati sosok dengan rambut hitam kecokelatan yang terlihat berantakan itu lalu memiringkan kepala menatap remaja yang tengah menundukkan wajahnya.
"Max ...." Wulan menyentuh lengan Max pelan. "Ça va (kau baik - baik saja)?"
"Aku ingin bicara denganmu, Miss."
Wulan mengerenyitkan dahinya. Heran. Wajah Max tak seangkuh biasanya. Hanya saja tatapan mata birunya masih terlihat dingin.
"Kau bilang aku bisa mengajakmu bicara," ujar Max melihat wajah keheranan Wulan.
"Ah, oui, oui, bien sûr (ya, ya, tentu saja)." Wulan terkesiap. "Kau mau bicara di mana?"
"Paris Dakar, Stalingrad," jawab Max menyebutkan nama sebuah tempat.
"Owh, okay."
"See you soon," ujar Max dalam bahasa Inggris sembari melempar senyum tipisnya. Kemudian berlalu dari hadapan Wulan.
Wulan masih tertegun di tempatnya berdiri. Ia memperhatikan Max yang mulai menjauh. Bibirnya mencebik. Lalu senyumannya pun terbit.
***
PARIS DAKAR, STALINGRAD, SURESNES, PARIS.
Wulan yang baru saja tiba di cafe bercat dominan warna oranye itu tersenyum melihat Max yang telah menunggunya. Ia meletakkan tas selempangnya di atas meja seraya memperhatikan remaja yang tengah sibuk menghisap rokok di jemarinya itu.
"Bukankah tidak boleh merokok di tempat umum?" sindir Wulan seraya memperhatikan sekelilingnya. Mereka duduk di kursi yang berada di luar cafe.
Max hanya menyeringai. Lalu membanting rokoknya ke lantai dan menginjaknya.
"Kau mau minum apa?" tanya Wulan seraya membaca buku menu yang ada di atas meja.
"Terserah kau saja," jawab Max sembari melipat kedua lengannya di depan dada.
Wulan melambai pada pelayan yang ada di dalam cafe. Si pelayan segera menghampiri meja mereka.
"Deux Honey Bee Latte, s'il vous plait (dua honey bee latte, tolong)."
"D'accord, Mademoiselle (baik, nona)." Pelayan itu mengangguk. Lalu membawa buku menunya masuk ke dalam cafe.
Sepuluh menit kemudian, dua cangkir kopi telah tersaji di atas meja.
"Max, apa yang terjadi malam itu?" tanya Wulan memulai pembicaraan.
"Hanya konflik kecil dengan beberapa teman."
"Dan kau dipukuli secara brutal seperti itu?"
Max terkekeh. "Hal seperti itu sudah sering terjadi di Stalingrad."
"Aku akan mendengarkanmu." Wulan menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi.
"Aku punya kehidupan yang buruk. Ibuku meninggal sewaktu melahirkanku, dan Ayahku sangat membenciku."
"Ayahmu sering memukulimu?"
Max mencebik. "Uh - huh."
Wulan memperhatikan memar di wajah Max yang mulai memudar.
"Kau tahu, Max .. kau tidak harus menyimpannya sendiri."
"Kau mau menampung semua keluhanku?" Max menantang tatapan Wulan.
"Ada Guru Pembimbing di sekolah. Kau bisa bicara dengannya," pancing Wulan.
Max terbahak. "Si Menyebalkan Damien?"
"Memangnya ada masalah apa dengannya?" cecar Wulan.
Max mengedikkan bahunya. "Entahlah, aku tidak mempercayainya."
Wulan meraih cangkir kopinya lalu mencecapnya.
"Kau bisa berbicara denganku. Kapan pun kau mau. Tapi, pelan - pelan kau harus merubah sikapmu di sekolah."
"Memangnya sikapku seperti apa?"
Wulan memutar bola matanya. "Cobalah untuk lebih sopan sedikit."
Max terbahak. "Miss, aku tidak suka sekolah, hanya buang - buang waktu saja."
"Tapi anak seumuranmu tidak punya pilihan, Max. Lagi pula, itu untuk masa depanmu," sanggah Wulan.
"Arrête tes conneries (omong kosong)!" hardik Max.
Wulan menghela nafas pelan. "Excusez - moi (permisi), aku harus pergi ke toilet."
Wulan beranjak dari duduknya dan masuk ke dalam cafe. Langkahnya tergesa menuju ke kamar kecil. Ia segera menuntaskan hajatnya buang air kecil di sana. Kemudian mencuci tangannya di wastafel.
Beberapa saat kemudian ia melangkah keluar dan terkejut ketika tak mendapati Max di tempat duduknya. Ia melempar pandangannya berkeliling mencari pemuda itu. Namun sosoknya tak terlihat di mana - mana.
Pelayan menghampirinya dan menyerahkan tagihan padanya. Wulan segera mengambil dompet di tasnya yang tergeletak di atas meja. Ia terperangah ketika melihat isi dompetnya hanya tersisa 100 euro. Padahal sebelumnya ada 600 euro di sana.
Max!
"Ada masalah, Nona?" tanya si Pelayan.
"Owh, tidak, tidak," ujarnya seraya menyerahkan satu lembar 100 euro padanya.
"Tunggu sebentar, aku akan mengambil kembaliannya."
Wulan terduduk lesu. Ia meremas wajahnya berkali - kali. Max mengambil 500 euro dari dalam dompetnya dan pergi begitu saja.
"Ya Tuhan ...."
Uang itu untuk membayar tambahan sewa apartemen.
Pourquoi tu fais ça, Max (kenapa kau lakukan itu, Max)?
***
***
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
Zeeylaa To Zila
badung bnget si lo max
2022-04-03
0
🪴Thalia💚
Aku sey GA heran klo Paris terkenal dgn copetnya.. Hahaha tpi klo ama murid sendiri itu kebelet bangetz.. Sueeeeeek emank Wulan...
2021-12-25
0
Ellys Setianingsih
ayuk sumbang Ms. Wulan
2021-07-24
0