Wulan membuka pintu apartemennya pelan. Ia melepas mantel tebalnya dan mengaitkannya pada gantungan baju berbentuk pohon beranting.
Pandangan matanya tertuju pada sebuah foto berbingkai yang ada di atas kabinet. Wulan meraih foto itu dan memperhatikannya sejenak. Foto pernikahannya dengan Pierre. Kebahagiaan jelas terpancar dari wajahnya saat itu.
Foto itu diambil di sebuah chapel (kapel) di Lyon, sebuah kota estetik di timur laut Perancis.
Di sebuah hari musim panas yang indah.
Wulan menarik napas dalam - dalam. Mencoba menghalau rasa nyeri yang tiba - tiba menyerang relung hatinya. Ia menutup bingkai foto dan memasukkannya ke laci kabinet, kemudian menguncinya di sana.
Ia melangkah menuju sofa kesayangannya yang berada di depan televisi dan duduk di atasnya. Tangannya meraih sebungkus rokok di dalam tas yang masih menggantung di pundaknya. Lalu diambilnya sebatang dan menyalakannya.
Asap mengepul dari mulutnya. Seiring dengan hembusan napasnya yang berat. Rasa lelah menghadapi anak - anak SMA bengal itu tak sebanding dengan rasa lelahnya melupakan kepahitan yang terjadi dalam hidupnya.
Wulan benar - benar lelah. Lalu kesepian.
Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Menatap langit - langit ruang apartemennya sembari mendorong asap rokok ke udara.
***
AREA STALINGRAD, SURESNES, PARIS.
Max membanting rokok yang baru saja dihisapnya dan menginjaknya dengan sepatu nike warna hitamnya, begitu melihat Etienne berlarian ke arahnya.
"Lama sekali!" hardiknya.
"Désolé (maaf), Ibuku menyuruhku menjaga adikku sebentar."
Max mendecak sebal. "Mana barangnya?"
Etienne merogoh saku jaketnya dan memberikan satu bungkus kecil kardus berlapis kertas yang sudah dilakban seluruhnya. Max mengambil bungkusan itu dari tangan Etienne dan memasukkannya dalam kantong jaketnya.
"Ayo, mereka sudah menunggu."
Max berjalan menelusuri trotoar diikuti oleh Etienne di belakangnya. Ia menutup kepalanya dengan hoodienya. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam kantong jaketnya.
Sampai di sebuah gang sepi, dia memperhatikan sekelilingnya. Ada dua orang remaja yang telah menunggunya. Keduanya berkulit hitam.
Max mengeluarkan bungkusan yang ada di dalam jaketnya dan memberikannya pada salah satu remaja itu.
"250 euro."
"Mahal sekali," protes salah seorang dari mereka yang memakai jaket berwarna merah.
"Hei, ini barang bagus. Dari Maroko," ujar Max kesal.
"Awas kalau kau bohong."
Max mendecak. "Uangmu akan kukembalikan kalau barangnya tidak bagus."
"Je suis d'accord (aku setuju)."
Max mengulurkan tangannya meminta pembayaran dari dua remaja itu. "Cepat berikan uangnya."
Si jaket merah merogoh kantongnya lalu memberikan dua lembar 100 euro dan satu lembar 50 euro pada Max.
"Merci (terimakasih)," ujar Max sembari menepuk - nepukkan lembaran - lembaran berwarna hijau muda itu ke tangannya. "Allez (ayo)," ujarnya memberi isyarat pada Etienne untuk pergi dari tempat itu.
"Kita pesta malam ini?" tanya Etienne seraya mensejajarkan langkahnya dengan Max yang berjalan cepat menelusuri trotoar di antara gedung - gedung kumuh Stalingrad.
"Non (tidak). Kita beli minum saja di E. Lecrerc, kita minum di dekat - dekat sana."
"Hmm .. Okay."
Etienne mengikuti saja kemana Max akan pergi. Seperti biasanya selama ini ia tidak pernah protes atas apa pun yang Max katakan.
***
SUPERMARKET E. LECRERC, SURESNES.
"Semua menjadi 175 euro," kata seorang kasir pada Wulan setelah selesai memasukkan semua barang belanjaannya pada tote bag yang dibawanya.
Wulan merogoh dompet di tasnya dan mengeluarkan dua lembar 100 euro lalu memberikannya pada si kasir.
"Merci (terimakasih)," ucap Wulan ketika menerima uang kembalian sebesar 25 euro yang diberikan oleh si kasir padanya.
Wulan meraih tote bagnya lalu berjalan keluar dari supermarket. Udara dingin menyambutnya begitu ia berada di luar. Satu tangannya merapikan syal yang melilit lehernya demi menghalau rasa dingin yang menusuk.
Ia berjalan menelusuri trotoar yang cukup ramai dengan orang - orang berlalu lalang di sana.
"Hei, Miss!"
Satu panggilan membuatnya terkejut. Dia menoleh ke arah asal suara dan mendapati dua orang remaja, satu berkulit hitam dan satunya berkulit putih, yang tengah duduk santai di sebuah pot besar yang dibuat mengelilingi pohon ash besar.
Max dan Etienne. Keduanya memegang botol minuman dan dengan asyiknya menghisap rokok di tangan mereka.
"Mau bergabung, Miss?" tawar Etienne sembari terkekeh. Sementara Max menatapnya dengan dingin.
Wulan mendekat ke arah keduanya dan menggeleng pelan.
"Kenapa berkeliaran di sini dan minum - minum seperti ini, hah?" hardik Wulan sebal.
Etienne terbahak. "Wah, kau sexy sekali, Miss."
"Benar - benar tidak sopan!" seru Wulan geram. "Kalian ini bukannya berada di rumah dan belajar, malah minum dan merokok di tempat umum seperti ini. Mau kulaporkan pada Kepala Sekolah?" ancamnya.
Tawa Etienne dan Max meledak. Membuat Wulan merasa jengah.
"Kau ini kolot sekali ya?" ujar Etienne.
"Umur kalian bahkan belum cukup untuk membeli minuman beralkohol seperti ini. Benar - benar manipulatif."
"Ayolah, Miss ... akan lebih seru kalau kau mau bergabung dengan kami, lihat ... kami masih punya beberapa botol untuk dihabiskan malam ini."
Wulan menghela nafas dalam - dalam. "Pulang dan kerjakan PR kalian seperti anak - anak sekolah yang normal!"
Etienne dan Max saling pandang sejenak. Kemudian tawa keduanya pun meledak.
"Lihat dia kuno sekali," ujar Etienne pada Max.
Wulan berusaha bersikap setenang mungkin. Ia pun memutuskan untuk tak meladeni dua anak bengal itu dan berlalu dari hadapan mereka. Masih terdengar gelak tawa keduanya hingga jarak Wulan yang telah beberapa meter jauhnya dari mereka.
***
Max membuka pintu apartemennya pelan. Ruang tamu nampak gelap. Dia berjalan dengan hati - hati agar tak membuat suara - suara yang bisa membangunkan Ayahnya.
"Max? Baru pulang?"
Suara berat itu terdengar bersamaan dengan lampu ruangan yang menyala tiba - tiba. Seorang pria paruh baya tengah duduk di atas kursi menyilangkan kakinya dan menatapnya dengan tatapan mata tajam.
Max menyeringai tanpa menjawab pertanyaan pria yang tak lain adalah Ayahnya itu.
"Mana uangnya?" tanya pria itu.
"Uang apa?"
Sang Ayah bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Max lalu dengan kasar meraih jaketnya dan menggeledah isi kantongnya, dan menemukan dompetnya di sana.
"No, Papa!" seru Max sembari merebut kembali dompet yang kini telah berada di tangan Sang Ayah.
"Mau membohongiku ya? Kau pikir aku tidak tahu kau punya uang dari hasil penjualan cannabismu, hah?"
Plakkk.
Satu tamparan mendarat di pipi Max hingga meninggalkan jejak kemerahan di sana.
"Breng sek!" maki Max sembari mengelus pipinya yang terasa panas.
Sang Ayah tersenyum miring seraya menghitung lembaran uang dari dompet Max.
"Masuk ke kamarmu sana!" seru Sang Ayah seraya melemparkan dompet yang telah kosong pada Max.
Max memungut dompet yang tergeletak di lantai dan melangkah menuju kamarnya dengan perasaan geram. Ia membanting pintu kamarnya dan memukul dinding kamar dengan keras. Melampiaskan amarahnya di sana.
"Putain de merde (breng sek)!!! makinya.
***
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
🐊⃝⃟ Queen K 🐨 코알라
Poor Max 🥺🥺🥺
2021-07-29
2
Seikha Aludra
Pantesan max😒
2021-07-05
2
Daisy🇵🇸HilVi
lah kirain max anak orang kaya🙄
2021-05-29
2