Anak Yang Tak Diakui

Anak Yang Tak Diakui

Bab 1.

"Menik, bangun sayang!" Bisik ibu yang sudah masuk ke kamar Menik dan berjalan mendekati tempat tidur Menik.

Menik yang merasa tidur nyenyaknya terganggu, ia  menggeliat dan membuka mata. Dilihatnya Ibu yang sudah mengenakan pakaian rapi seperti hendak pergi, membuka lemari baju Menik.

Mata Menik langsung terbuka.

 "Ibu, ada apa, Bu?" Tanya Menik dengan suara kecil yang parau khas suara anak kecil bangun tidur. Karena Menik berusia sekitar tiga setengah tahun.

"Ayo bangun! Terus ganti baju! Kamu ikut Ibu!" 

Menik bangun dari tidurnya. Ia duduk di ranjang dengan pikiran bahagia mendengar Ibu akan mengajaknya.

"Beneran, Bu? Menik Ikut ke pasar? Tanya Menik memastikan ucapan Ibunya.

Ibu masih mencari baju untuk ganti Menik tanpa menyalakan lampu kamar.

"Iya. Ayo bangun!" Ibu membimbing Menik berdiri di atas tempat tidur. Lalu melepas baju tidur Menik dan menggantinya dengan baju yang diambilnya dari lemari baju.

"Kamu ganti dengan baju dan celana ini. Ini baju dan celana pemberian dari Mbah Nyai Jaenah, lho!" Ucap Ibu mengenang baju itu sambil memakaikan baju ke badan Menik. 

Baju atasan model baju perempuan, ada renda dan hiasan pita dengan bawahan celana kain panjang. Saat dikenakan Menik, Menik merasa sangat nyaman dan hangat.

Pagi ini berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Menik yang biasanya bangun setelah matahari sudah muncul dan saat keluar kamar sudah tidak menemukan Ibu di rumah. 

Ibu yang selalu bangun malam sekitar pukul empat, untuk menyiapkan barang dagangan yang dibawanya ke pasar untuk dijual. Dan akan berangkat ke pasar sebelum pukul enam, nanti pulang dari pasar pukul sebelas. Begitu terus setiap hari. 

Sehingga Menik bisa bertemu Ibu pada siang harinya sampai malam sebelum Menik tidur lagi.

Untuk mandi pagi, Bapak yang memandikan Menik. Terus sarapan, Menik sarapan sering dilayani oleh budhe. Terkadang juga Bapak yang membelikan sarapan untuk Menik di warung, jika Bapak ada waktu dan tidak terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

Menik kecil sama sekali tidak pernah mengeluh. Ia menjalani hari-harinya dengan happy karena memiliki banyak teman yang seusia dengannya.

Tijah mengajak Menik ke depan rumah menunggu mobil angkutan langganan Tijah biasanya.

Menik tersenyum menoleh pada ibunya. Tijah tidak membawa barang dagangan seperti biasa, ia hanya membawa satu kantong tas yang berisi baju ganti Menik.

Sepuluh menit kemudian mobil yang ditunggu tiba.

"Mbah Nyai, aku bareng ya?" Ucap Tijah saat mobil telah berhenti di depannya. Ternyata yang berhenti bukan mobil langganannya melainkan mobil Mbah Nyai Jaenah.

"Iya, Jah. Kayak sama siapa. Ayo naik! Keburu siang pasarnya bubar!" Ucap Mbah Nyai Jaenah menyuruh Tijah segera naik ke mobil.

"Ayo nak!" Setelah pintu mobil terbuka, Tijah mengangkat Menik dinaikkan ke dalam mobil. Dan Tijah menyusul masuk kemudian.

Di dalam mobil penuh dengan barang dagangan Mbah Nyai. Tapi masih ada tempat untuk duduk Tijah dan Menik.

"Ini anakmu Jah?" Tanya Mbak Nyai setelah mengamati Menik yang duduk anteng di sebelah Tijah sambil memeluk lengan Tijah. Menik tampak imut.

"Iya Mbak Nyai. Ini baju yang dipakai genduk baju yang dikasih sama Mbah Nyai waktu itu loh Mbah." Tijah memberitahu Mbah Nyai supaya senang pemberiannya telah dipakai dan tidak disia-siakan.

"Elah, apa iya? Kok masih bagus padahal sudah lama to Jah?" Mbah Nyai merasa senang pemberiannya bermanfaat.

Menik hanya diam dengan mata berkedip-kedip mendengarkan kedua orang tua itu berbincang.

Beberapa menit kemudian mereka sampai pasar tujuan. Tijah menuju tempat kiosnya berada dan langsung membuka pintu dan papan bedak. Kemudian menata barang dagangannya yang berupa aneka macam sembako.

"Mbak Yu Tijah, bocah kecil ini anakmu?" Tanya beberapa orang sesama pedagang teman Tijah di pasar itu.

"Iya Mbak Yu. Ini Monik anakku." Ucap Tijah memperkenalkan anaknya pada teman-temannya sambil menata barang dagangannya.

"Nduk, duduk sini, Nduk!" Tijah menyuruh Menik duduk di dalam kios, kalau diluar takutnya mengganggu orang yang lewat lalu lalang membawa barang dagangan maupun belanjaan.

"Aku duduk sini, Bu!" Menik tidak mau masuk ke kios. Ia sangat penasaran dengan aktifitas orang-orang pasar yang jarang dilihatnya, sehingga ia tetap berdiri di depan kios dekat dengan pintu kios ibunya.

Tijah tidak memaksa anaknya itu. Tapi ia tetap mengawasi anaknya sambil melayani pembeli yang silih berganti berdatangan membeli padanya.

"Mbak Yu, anakmu kok imut gini to? Hemm gemes aku," Mira teman jualan Tijah mendekati kios Tijah sambil mencubit pipi Menik yang gembil itu saking gemesnya.

Tijah tersenyum mendengar ocehan teman-temannya.

"Ini Menik, Mir. Kamu masih ingat, nggak?" Tijah berusaha mengingatkan pada temannya itu saat kejadian dua tahun yang lalu.

***

Dua tahun lalu

Tijah mengajak Menik kecil ke pasar. Menik yang berusia satu setengah tahun, baru saja bisa jalan dan masih belajar bicara. Ia bisa berjalan dan terkadang masih suka jatuh, Ia bisa bicara tapi masih belum jelas, dan kata-katanya hanya bisa dimengerti oleh orang-orang terdekatnya saja, terutama ibunya.

Di emperan kios Tijah ada beberapa pedagang yang numpang jualan. Mereka memasang tikar karung untuk alas jualan. Ada pedagang buah langsat, jeruk, ada pedagang kue basah semacam kicak, cenil yang dibungkus dengan daun pisang, ada juga pedagang sayuran.

Sementara Tijah melayani banyak pembeli di kiosnya, Menik lepas dari dalam kios. Ia sering keluar ke emperan kios, berjalan mondar mandir di sana dan mengganggu pedagang yang ada di emperan kios Tijah.

"Mbak Yu, aku titip anakku, ya!" Ucap Tijah dari dalam kios dengan suara sedikit keras supaya dapat didengar oleh pedagang di emperan kiosnya.

"Iyo, Jah. Kamu tenang saja. Aman kok anakmu!" Sahut para pedagang itu.

Pedagang -pedagang itu merasa bersyukur dibolehkan numpang jualan di emperan kios Tijah. Sebagai balas budinya mereka ikut membantu menjaga dan mengawasi Menik yang tidak bisa diam itu.

"Empe. Empe." Ucap Menik berdiri didekat penjual buah langsat sambil menengadahkan kedua telapak tangannya.

"Apa Nduk? Sebentar ya Nduk," ucap pedagang buah itu kepada Menik si bocah balita sambil melayani pembeli yang berdiri di depannya.

Menik kemudian diam sambil terus memperhatikan buah langsat yang menurutnya buah itu bentuknya sangat menarik. Buah yang bergerombol dalam tangkai, buah yang berbentuk bulat-bulat berwarna kuning.

Setelah pembeli pergi, Menik kembali berucap,

"Empe. Empe." Sambil menengadahkan kedua telapak tangannya.

Pedagang  itu cuek dengan tingkah polah Menik, karena ia menunduk sibuk menghitung uang yang barusan diperolehnya.

Tijah yang sudah selesai melayani para pembeli di kiosnya, ia melongokkan kepala keluar kios guna melihat anaknya si Menik bocah balita kecil mungil itu yang menggemaskan itu.

Terpopuler

Comments

Wirda Lubis

Wirda Lubis

lanjut

2024-01-17

1

Langit Biru

Langit Biru

terima kasih kak @Kenzi Alkafi atas like nya, silahkan dilanjut membacanya ya kak,
semoga suka, dan buat pembaca yang lain tolong jgn lupa beri like, koment, dan hadiah atau votenya ya heeeheee....
salam dari kami 🤗🤗🤩🤩

2023-11-29

2

Langit Biru

Langit Biru

hai @semua 🤗🤗
memulai aktifitas baru, up lagi ni yaahh
jangan lupa mampir untuk membaca!

2023-11-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!