Bab 8.

"Ibu mau pulang?" Tanya Gun.

"Kamu ikut ibu?" Bukannya menjawab, justru Tijah balik bertanya pada anaknya. 

Ia berharap semua anak-anaknya ikut bersama dia pulang.

Tiba-tiba Budi masuk ke dapur.

"Kalau mau pergi jangan ajak anak-anak!" Bentaknya.

"Gun, panggilkan adikmu, ya?" Tijah menyuruh Gun. 

"Iya Bu." Gun langsung berlari keluar mencari saudaranya.

Setelah membentak, Budiono pun ikut langsung keluar. Ia tidak memberi kesempatan Tijah untuk bicara.

Selesai mengemas bawaannya, Tijah duduk dimuka pintu dapur menunggu anak-anaknya.

Tidak lama keempat anaknya datang.

"Ibu sama adikku Miftah mau pulang. Kalian bertiga di sini baik-baiknya, belajar yang rajin, jaga kebersihan dan kesehatan, ya! 

"Bu, aku kepingin ikut pulang, tapi besok aku sekolah," ucap Gun.

"Iya, kamu sekolah yang rajin. Jangan suka bolos! Lain waktu ibu sama Miftah kesini lagi. Atau kalau pas libur sekolah kalian ke tempat ibu, ya!" 

Tijah membuka dompet, mengambil uang dan membagikan uang itu kepada ketiga anaknya. Masing-masing menerima uang sendiri-sendiri.

"Ibu tadi membawa beras, minyak goreng, gula, dan bumbu-bumbu dapur, bisa kalian masak mulai besok, ya!" 

"Jadi anak yang nurut, jangan nakal!" Tijah banyak memberi pesan kepada ketiga anaknya.

"Ibu pergi dulu, ya." Tijah menciumi pipi anak-anaknya dengan bergantian.

"Bu, minggu depan aku ke tempat ibu!" Ucap Ayu, anak Tijah yang pertama.

"Iya."

Ketiga anaknya kembali bermain. Tijah dan Miftah naik mobil angkutan penumpang menuju ke kampung halamannya. 

***

Bulan Desember. Ada yang mengatakan Desember singkatan dari kata gedhe-gedhene sumber (besar-besarnya sumber air). Karena bulan Desember identik dengan musim hujan. Hampir setiap hari akan turun hujan bila di bulan Desember.

Bersamaan dengan kehamilan Tijah yang sudah menginjak usia sembilan bulan. Tinggal menunggu saatnya untuk melahirkan.

Sejak diusir Budiono, Tijah tidak lagi datang ke rumah sana. Tapi ketiga anaknya hampir setiap akhir pekan selalu datang mengunjunginya. Mereka datang hari Sabtu. Malam Minggu mereka semua tidur menginap di rumah Tijah. Jika sekolah libur pun anak-anak lebih memilih pergi ke tempat Tijah.

Melihat perut ibunya yang besar, dan tahu kalau ibunya hamil, anak-anak Tijah menanti dengan tidak sabar akan kehadiran adik bayinya. 

Walaupun hamil tanpa ditunggui suaminya, suami yang seharusnya memberi support, memberi dukungan untuk fisik maupun mentalnya, Tijah sudah tidak peduli dengan itu semua lagi. 

Ia mendapatkan support dan dukungan dari teman-teman dekatnya, dari saudaranya, dari anak-anaknya, ia sudah merasa sangat bersyukur.

Meski hamil Tijah selalu memiliki kesibukan. Tiada hari tanpa kesibukan. Di toko ia sibuk. Satu bulan lalu sawahnya yang digarap oleh tetangganya dengan sistem bagi hasil, sudah panen. Dua minggu lalu kelapa yang sudah tuai kebunnya juga dipetik, dan sebagiannya dijual. 

Dengan kesibukannya, Tijah mampu mengalihkan kemelut rumah tangganya dari pikirannya.

Dari usia hamilnya memasuki usia empat bulan, ia membuka pesanan catering. Makanya ia membuat rumah di samping rumah Simbok. Untuk memasak pesanan catering yang dikerjakan oleh orang-orang yang menjadi pegawainya.

Hari itu hujan ngrecih terus menerus. Walau tidak deras, tapi lama. Hujan dari subuh sampai menjelang maghrib. 

Tijah beraktifitas seperti biasa, meski perutnya besar ia selalu aktif bergerak.

"Jah, mbok diam kamu itu. Aku lihat kamu merasa sesak lho nafasku."

"Lha kenapa, Mbok?"

"Perutmu itu lho,"

Tijah menunduk, mengelus perutnya yang besar.

"Perutku nggak papa. Anakku pintar lho ini. Ngerti sama ibunya, jadi nggak pernah rewel."

Karena selama hamil Tijah tidak punya keluhan. Hanya hari pada trimester awal saja Tijah mengalami mual muntah, itu pun hanya beberapa hari saja.

Kehamilan sampai usia sembilan bulan, badannya selalu sehat dan segar, sehingga memancarkan aura di wajahnya.

Orang bilang Tijah tampak lebih cantik saat hamil ini.

"Anakmu perempuan, itu Jah!"

"Iya perempuan."

"Iya. Aku juga menduga itu perempuan!"

Orang-orang saling berkomentar. 

Tijah tersenyum saja mendengarnya.

Baginya laki-laki atau perempuan, ia akan menerimanya dengan senang hati.

Pukul sepuluh malam hari, cuaca cukup sejuk setelah bumi pertiwi seharian diguyur oleh air hujan.

"Nduk, kamu belum tidur? Simbok sudah ngantuk lho!"

"Simbok kalau ngantuk tidur saja di kamar, aku belum ngantuk, Mbok."

Akhirnya simbok masuk ke kamarnya.

Tijah masih duduk di depan meja makan, setelah menidurkan Miftah di kamarnya sendiri tadi.

Perutnya terasa mules. 

"Makan apa tadi?" Tijah bertanya pada diri sendiri.

Ia biasa makan pedas, tapi tidak masalah.

Selanjutnya, rasa mules kembali datang.

Sebentar datang sebentar hilang rasa itu.

Satu jam kemudian, Tijah sudah tidak tahan dengan rasa itu. Datangnya semakin sering dan dalam jeda waktu yang singkat.

Ia beranjak dari duduknya, berjalan menuju pintu kamar Simbok.

"Tok tok! Mbok! Simbok!" Tijah mengetuk pintu kamar Simbok dan memanggil.

"Iya Jah!" Suara Simbok terdengar oleh Tijah.

Tijah membuka pintu kamar itu. Dan berjalan mendekati Simbok yang sudah duduk di tepi tempat tidur.

Merasa enak tidak enak Tijah terpaksa mengganggu tidurnya Simbok. Karena beliau satu-satunya orang dewasa yang satu rumah dengannya.

"Mbok, sepertinya aku mau melahirkan. Tolong jagain Miftah. Aku mau ke bidan."

"Ee jabang!" Simbok bangun terus berjalan menuju dapur.

Tijah ke kamarnya mengambil tas isi perlengkapan lahiran yang sudah disiapkan beberapa waktu lalu. 

"Nduk Jah. Minum ini!" Simbok menyodorkan segelas air putih.

Tijah menerima dan meminumnya.

"Sana cepat berangkat!" Dawuh Simbok.

***

Di kampung, tengah malam, hampir pukul dua belas, tidak ada kendaraan, tidak ada ojek online. Tijah berjalan kaki sendiri, mencangklong tas dan membawa senter untuk menerangi jalannya. Jalan yang becek dan ada beberapa jalan yang tergenang air hujan. 

Beberapa menit kemudian.

"Tok! Tok! Tok! Bu bidan, ini Tijah Bu! Dok! Dok! Dok!" Tijah memanggil Bidan sambil mengetok eh... agak menggedor-gedor pintu Bidan desa malah.

"Iya! Tunggu!" Bidan yang terbuai tidur, terganggu oleh suara gedoran dari arah pintu depan.

"Dok! Dok! Dok! Bu Bidan, ini Tijah! Buka pintunya, Bu!" Tijah yang tidak mendengar suara jawaban Bidan kembali menggedor-gedor pintu.

Sambil mata masih kriyip-kriyip karena bangun tidur, bu Bidan langsung membuka pintu.

"Lho Tijah!" Bu Bidan kaget melihat Tijah si wanita hamil besar berdiri sendiri di depan pintu rumahnya. 

"Iya Bu, saya Tijah!" Ucap Tijah sambil pringisan menahan sakit.

Bu Bidan yang usianya jauh lebih tua dari Tijah, sudah menganggap Tijah seperti anaknya sendiri. Karena Bu Bidan juga pelanggan di toko Tijah.

Bidan tahu Tijah sedang menahan rasa sakit.

"Iya. Sebentar! Sebentar!" Bidan matanya langsung terbuka lebar. Rasa kantuknya langsung hilang entah kemana. Ia berlari masuk mengambil kunci ruang prakteknya.

"Ayo Jah! Kita masuk sini!"

Bidan membimbing Tijah naik ke atas brankar dan memeriksa Tijah.

"Jabang bayi! Ini bukaannya sudah sempurna!" Bidan takjub bercampur kegirangan membantu Tijah mengeluarkan si jabang bayi.

"Oek oek oek!" Tengah malam yang sunyi itu dipecahkan suara bayi. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!