Bab 11.

"Dengan anak yang masih bayi?! Haruskah aku mengajaknya perjalanan jauh setiap saat?! Tidak!!! Pokoknya tidak! Aku belum bisa pulang ke sana sekarang! Aku akan pulang jika dia sudah mulai besar! Dan kamu mau menerima dan mengakui dia anakmu!"

Ternyata Budiono luluh juga setelah mau mendengarkan alasan yang Tijah ucapkan. Alasan yang masuk akal menurutnya.

"Baiklah! Terserah kamu saja." Ucap Budiono kemudian.

"Dia, Sekar Arum!" Budiono menyebut sebuah nama untuk bayi perempuannya itu.

"Sekar Arum." Tijah mengulang nama itu sambil tersenyum.

***

Malam hari sekitar pukul tujuh, acara selamatan sepasaran bayi dimulai. Budiono memberi nama bayi perempuannya "Sekar Arum" yang disaksikan oleh semua tamu undangan yang hadir.

"Uluh uluh Sekar Arum. Sekar Arum yang menik-menik? Hem?" 

"Kalau begitu dipanggil menik saja,"

"Menik,"

"Menik!"

"Menik!"

Celoteh para tetangga. Sampai akhirnya Sekar Arum terkenal dengan nama panggilan  Menik.

***

Usia dua tahun Menik diajak Ibu pergi ke pasar. Ibu membuka toko sembakonya, sedang Menik sibuk mengganggu para pedagang yang nebeng jualan di emperan toko ibunya.

"Empe! Empe!" Ucap Menik sambil menengadahkan kedua telapak tangannya dengan maksud untuk meminta sesuatu yang ia mau. 

Lama kelamaan orang-orang pun paham saja dengan ucapan Menik. 

Kemudian ia berlari berpindah ke tempat yang lain.

"Empe! Empe!" Ucap Menik yang sering mengganggu para pedagang itu.

Dan sungguh anehnya, setiap Menik minta mereka selalu memberinya. Kalau tidak, maka barang dagangan mereka tidak laku sampai pasar bubar. Bisa laku, tapi hanya sedikit, dan akan pulang dengan membawa sisa barang dagangan yang masih banyak.

Dan itu akhirnya dijadikan patokan orang-orang yang berjualan di pasar.

Jika Menik tidak muncul di pasar karena tidak diajak oleh Ibunya, maka orang-orang pasar itu pun mencarinya.

"Mbak Yu Jah, Menik mana?" Tanya salah seorang.

"Di rumah Bik. Ada kakaknya yang lagi libur sekolah mau menjaganya," jawab Tijah sambil menata dagangannya.

"Oalah Mbak Yu. Menik kok nggak diajak, padahal aku lagi butuh duit lho ini, untuk membayar angsuran kreditku. Kalau Menik nggak datang, bagaimana ini kalau dagangan nggak laris?"

Ucap seorang pedagang yang fanatik sampai mempercayakan jika dagangannya akan laris jika memberi sesuatu buat Menik.

"Bik, ya jangan begitu! Meminta itu ya kepada Yang Maha, Yang ada di atas sana! Ucap Tijah mengingatkan. Tijah tidak mau Menik anaknya dijadikan semacam untuk kepercayaan.

Menjelang siang, pasar sudah mulai sepi pengunjung. Beberapa teman pedagang mendatangi toko Tijah. 

"Yu Jah, jajanku masih sisa banyak ini.  Modalnya saja nggak kembali. Ini karena Menik nggak diajak ke pasar," keluh si penjual kue basah yang dagangannya memang masih banyak.

"Ya sekarang itu sisanya kamu berikan saja pada Menik saja  Bik, hahaha…. Jadi pas sampai rumah daganganmu sudah habis haaahaaa…." 

Sahut pedagang lainnya yang ikut jengkel mendengar setiap orang mengharapkan kedatangannya Menik. 

Seolah dengan datangnya Menik ke pasar membawa berkah buat mereka semua, karena mereka sebelum mulai jualan, mereka memberi sebungkus dari dagangan mereka untuk Menik. 

Padahal Menik sendiri tidak menyentuhnya, tidak memakannya dan bahkan tidak tahu apa pun. 

Kalau bingkisan berupa makanan, Tijah membagikannya kepada ke orang-orang, bisa teman sesama pedagangnya, bisa juga tetangganya yang dekat rumah, kalau kebetulan ke pasar dan berbelanja di tokonya. Sebagian juga di bawa pulang untuk dimakan bersama Simbok dan anak-anaknya.

"Ya nanti pas jalan pulang sambil dijual keliling, Bik. Siapa tahu laku ada yang beli  kan Bik?" Tijah memberikan solusi yang baik pada teman seperjuangannya  itu.

***

"Huah! Huah! Ibu huah!" Menik menunjuk warna putih lembut tidak keras, bentuknya persegi empat, yang biasa ditaruh di blek yang diisi air.

"Apa, Nduk?" Tanya Tijah.

"Huah! Huah!" Celoteh Menik ketika di depan toko.

"Adikmu minta apa, le? Ibu kok nggak ngerti?" Tanya Tijah pada Miftah yang bermain bersama Menik.

"Menik minta apa?" Miftah bertanya pada Menik, mencoba memahami apa yang diucapkan adiknya itu.

"Huah Te. Huah Te." Celoteh Menik.

"Yang mana?" Miftah dengan sabar menggandeng tangan Menik.

"Huah Te! Huah! Huuuuu….huuuu…."" Teriak Menik karena sudah tidak sabar. Karena sejak tadi dari tidak yang mengerti kemauannya. Akhir Menik menangis keras. Menghebohkan pasar.

"Mbak Yu, kenapa dengan Menik?" Tanya seorang pedagang.

"Te, nggak tahu huah itu apa?" Tanya Miftah.

"Adik minta apa, Le?" Tanya Tijah sambil mengangkat Menik untuk digendong.

"Dia bilang huah huah begitu, Bu. Aku nggak ngerti apa huah huah." Jawab Miftah.

"Kok seperti orang kepedasan, Menik haaahaaa…." Seseorang keceplosan bicara saking gemesnya melihat ulah Menik.

"Ayo diajak keliling saja, supaya tahu apa yang diinginkan Menik." Dawuh Ibu sambil menggendong Menik dan menggandeng tangan Miftah.

"Huah! Huah!" Menik kegirangan dan merosot turun dari gendongan Ibu.

"Tahu, Dek?" Tanya Miftah mengikuti apa yang ditunjuk Menik.

"Huah Te! Yey … yey … huah Te!" Menik kegirangan sambil lompat-lompat katak kecil hiihiii.

"Ya ampun, itu tahu Dek Menik! Tahu kenapa bilang huah? Capek deh!" Miftah memukul jidatnya sendiri dengan telapak tangan.

"Huah Te. Yeay…!" Menik masih lompat-lompat kegirangan.

"Bukan huah, tapi tahu. Coba bilang ta! hu!" Miftah mengajari Menik bicara.

"Ta huah huah!" Ucap Menik.

"Haaa...haaaa… Menik Menik. Kamu itu ada ada saja ulahmu itu! Haa… haa… tahu kok jadi huah. Siapa coba yang mengerti?!"

Lelucon Menik menjadi hiburan tersendiri bagi orang pasar.

Akhirnya Tijah membeli tahu. Sesuai permintaan Menik. Tapi penjual tahu tidak mau dibayar. Penjual tahu menolak uang yang diberikan Tijah. Padahal tahu sudah diterima oleh Tijah dan sebagian sudah dimakan oleh Menik. Tahu mentah langsung dimakan Menik. Dan dia akan menangis jika dilarang.

"Sudahlah Mbak Yu Jah. Buat penglaris daganganku." Ucap penjual tahu masih bersikukuh tidak mau menerima uang dari Tijah.

Membuat Tijah tidak enak hati jika terus-terusan seperti ini. Penjual buah, penjual kue, penjual nasi campur, dan masih ada banyak lagi yang lain. Mereka tidak ada yang mau menerima uang dari Tijah setiap kali Tijah membeli untuk Menik.

Setelah kejadian itu, beberapa menit kemudian, penjual tahu itu diserbu oleh banyak pembeli. Benar-benar dagangannya ludes habis tak tersisa sama sekali. Bahkan ada yang mau beli tapi sudah tidak kebagian.

"Mbak Yu Jah! Matur nuwun (terima kasih) daganganku sudah habis. Aku pulang duluan! Uhuy...! Deng! Deng! Deng!" 

Penjual tahu kegirangan senang. Hari ini ia pulang pagi. Saking senangnya ia memukul-mukul blek-blek tempat tahunya yang sudah kosong melompong. Sehingga mengundang perhatian dan membuat orang-orang melihat ke arahnya.

"Kamu itu kenapa?" Tanya seseorang mendatangi penjual tahu.

"Aku mau pulang, Lik. Tahuku sudah habis!" Jawab penjual tahu dengan berteriak dan girang.

Tijah pun menoleh dan melongo melihat ulah penjual tahu yang bikin heboh pasar.

Menik duduk diam di dalam kios ditemani Miftah sambil makan tahu mentah. Tahu Miftah masih mending ditaruh kecap manis. Tapi Menik sama sekali tidak tertarik dengan kecap. Cukup tahu mentah saja.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!